Pria itu mengubah ekspresi wajahnya sesaat, menghela napas sebelum kemudian memberikan Lizzie sebuah senyuman penuh arti. “Itu bukan kisah yang bagus, sebenarnya. Aku tidak ingin mengubah suasananya.”“Aku tidak secengeng itu untuk langsung menangis hanya karena mendengar kisah sedih, Pak tua.”Daxon tiba-tiba mengambil garpu milik Lizzie, menusuk sepotong daging lalu menyuapi. Lizzie tidak keberatan atas aksi itu dan malah menikmati perhatian kecil darinya. “Kau dan mulut besarmu kadang perlu didisiplinkan sesekali,” sahut Daxon terkekeh.Lalu kemudian cerita meluncur dari mulut si pria. Kisahnya tentang Armant dan bagaimana hubungan mereka. Situasinya kurang lebih sama seperti yang Armant sempat ceritakan. Tapi kemudian ketika Daxon menyebutkan satu nama, kisah itu jadi sedikit lebih berat dari pada yang Lizzie sangka.“Pria itu adalah pria paling buruk untuk menjadi seorang wali bagi seorang anak,” ungkap Daxon sambil menyesap wine miliknya. Tatapan mata pria itu agak berkelana se
Lizzie dapat merasakan tubuh Daxon mendadak kaku saat perempuan itu menyebut namanya.“Petra, senang melihatmu. Kau juga Aleandro.”Sunyi senyap. Hanya ada suara gema dari pengunjung restoran di latar belakang. Suara perbincangan, tawa, denting alat makan, bercampur baur dengan suara biola yang sedang dimainkan oleh sang musisi di dalam sana. Memang masih ada kebisingan, tapi suasana diantara mereka berempat jelas sangat aneh dan terlalu sunyi untuk dihadapi.“Yah, senang melihat kalian berdua. Kuharap kalian menikmati makanannya malam ini,” ujar Daxon sekali lagi meski terkesan agak sedikit tajam. Perempuan itu menganggukan kepala, matanya tertunduk tanpa berani menatap Daxon.“Terima kasih, dan kuharap kau juga menikmati ….” Kata-kata yang terujar memang makin memudar dan lebih terdengar sebagai gumaman alih-alih jawaban tegas. Apalagi Lizzie bersumpah perempuan itu melirik padanya, sebelum melanjutkan perkataannya. “Malammu,” tutup perempuan itu pada akhirnya setelah puas menatap L
Kenapa dia malah reflek menyebut nama Levin dan membuat alasan yang menyedihkan seperti itu?Lizzie tahu bahwa Armant bisa melihat ke dalam dirinya, tapi dia akan terus mencoba untuk mempertahankan argumentasi sebaik mungkin. “Itu bukan urusanmu.” Hanya itu yang bisa Lizzie katakan, dia tidak siap untuk jujur bahwa dia bersama dengan seorang pria yang kurang lebih seperti paman bagi Armant dan terlibat hubungan ranjang dengannya. Tentu saja itu hanya akan menyebabkan sebuah pertengkaran yang tidak diinginkan. Gadis itu menggigit bibirnya, Lizzie jelas sadar bahwa dalam situasi ini dia sudah berada dalam perangkap.“Ayolah Armant, ini tidak seperti kita masih dibawah umur. Aku sudah dewasa bukankah waktu itu kau bilang begitu? Aku hanya bersama seorang teman, Armant. Itu saja.”“Lizzie, kenapa kau enggan tidak mau memberitahuku dengan siapa kau pergi tadi?” tekan Armant lagi.“Aku bersama dengan temanku, oke? Kami bertemu di kelas seni dan mulai dekat karena dia pernah mentraktirku mak
Lizzie mengetuk rumah Daxon, dan menunggu dengan sabar sampai si pemilik rumah mempersilahkan dia masuk. Hari itu pertengah minggu, Lizzie berada diantara kesibukan bekerja dan kelas. Normalnya demikian. Namun kali ini, Daxon tiba-tiba memintanya untuk menanggalkan shift kerjanya, dan dia bahkan memberikan embel-embel dua kali lipat pembayaran kepada Lizzie bila dia mau datang padanya saat itu juga. Untungnya Annie tidak keberatan menukar jam-nya, karena Lizzie pernah mengisi shift-nya pula saat dia punya kencan dengan Armant di beberapa kesempatan dulu. Maka hari itu menjadi sebuah transaksi yang nyaman dan cepat tanpa perlu tawar menawar lebih dulu. Pintu terbuka dan Daxon berdiri menyambutnya diambang pintu. Ekspresi kompleks yang menggambarkan antara kelelahan dan gairah bersatu padu pada air mukanya. Dia segera mendekati Lizzie, membawanya masuk ke dalam rumah dengan cara yang tidak biasa. Dia menggendong Lizzie dengan gaya bridal style, Lizzie sempat terkejut tapi selebihnya di
Daxon merasa bahwa dia baru saja ditampar dengan sesuatu yang tak kasat mata. Lizzie menggigit bibir bawahnya sambil menggelengkan kepala, mengindahkan air mata yang jatuh ke pipi. Daxon menghela napas dan mengulurkan tangan, mencoba menyentuh bahu Lizzie yang gemetaran dengan jarinya.Terjadi lagi, tiap kali Daxon mencoba meraihnya Lizzie menjauh dan menjaga jarak seolah menegaskan bahwa dia enggan disentuh oleh Daxon. Bahkan kali ini dia memaki pada udara kosong tentang seberapa besar rasa marah yang dia miliki yang bersatu padu dengan kesedihan murni. Bahkan Lizzie lepas kendali dengan merusak salah satu vas yang tidak jauh dari posisinya. Menyebabkan suara gema pecahan kaca yang membuat suasana makin tidak enak diantara mereka.Lizzie tersentak atas apa yang baru saja dia perbuat, ini bukan studio seninya. Ini rumah oranglain dan Lizzie baru saja melampiaskan kemarahannya pada benda milik oranglain. Dia melirik ke arah Daxon yang menutup kedua matanya sambil menghela napas lelah.
Lizzie tidak begitu menyadari sejak kapan tepatnya dia tertidur. Namun yang pasti kepalanya sekarang berada dalam posisi nyaman dipangkuan Daxon. Sebagian besar dari teh yang berada di cangkir pria itu dibiarkan tak tersentuh di atas meja. Jadi tatkala kedua mata Lizzie terbuka, dia merasa lega begitu merasakan tangan Daxon yang berstagnasi dirambutnya. Diatasnya, Daxon menurunan kertas yang sedang dibacanya. Bunyi gemersik alami tersebut membuat Lizzie mendongak padanya dengan penuh rasa penasaran dan kemudian dia mendapati senyum dari si pria. “Sudah merasa lebih baik, gadis nakal?” Lizzie mengangguk. “Hmm.” Erangan kecilnya mendapatkan sambutan kecil berupa usapan di kepala dari si pria. Lizzie langsung berguling dan mendorong wajahnya sehingga terantuk pada perut pria itu. Daxon sepertinya baru selesai mandi, sebab Lizzie bisa mencium adanya aroma sabun yang tertinggal di bajunya juga dia bisa merasakan beberapa bagian yang masih lembab dan belum dikeringkan sepenuhnya. Ruang
Lizzie merasa gugup. Dia tidak terlalu suka gagasan soal Armant dan Mina yang diundang untuk datang makan malam bersama orangtuanya. Tapi Lizzie tidak kuasa menolak lantaran ibunya merengek lewat telepon dan Mina juga mendapatkan terror yang sama darinya. Bahkan setelah menerima telepon darinya saja ibunya masih pula membombardir banyak pesan ke ponsel Lizzie.IbuAku tidak bisa mempercayai kata ‘iya’ darimu Lizzie. Aku tahu kau pasti akan memberitahu Mina dan Armant soal undanganku. Jadi Aku sudah menelepon Mina juga untuk memastikan kalian bertiga datang malam ini. Datanglah dengan mobilnya Mina atau Armant. Aku tidak mau kau membawa motormu.Begitulah isi pesan wanita itu, memang sangat berlebihan tapi bagaimana pun juga Lizzie hanya bisa menghela napas lelah dan mengelus dada. Terkadang sikap ibunya bisa jadi sangat menganggu di waktu tertentu. Dia benci datang bersama mereka untuk makan malam selama ayahnya ada disana.Dan beginilah sekarang, mereka datang dengan mobil Mina, sesu
Lizzie melirik ke arah pria itu dari balik sofa yang dia tempati. Rasanya seperti menjadi tak kasat mata dan tidak anggap padahal mereka berdua saling berpandangan meski beberapa detik. Perutnya terasa menegang dan banyak ketakutan yang tiba-tiba saja merangsek masuk tanpa diundang.“Ada acara kumpul kecil-kecilan rupanya,” komentar Dion dengan tenang mendekati Elliza dan mencium keningnya sebagai salam, Elliza tersenyum.“Hanya anak-anak. Aku pikir kau akan lembur seperti kemarin, karena tidak mau sendirian aku mengundang mereka semua kemari,” kata Elliza menyahuti perkataan suaminya. “Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Mau aku panaskan?”Dion menggelengkan kepala. “Tidak, aku akan makan malam nanti. Aku tidak ingin merusak moment-mu bersama anak-anak. Selamat bersenang-senang.”Pria itu bahkan tidak menyapa putrinya, sama seperti kedatangannya yang tidak terdeteksi pria itu kini telah pergi tanpa merasa perlu mengatakan apa-apa lagi. Lizzie merasakan tenggorokannya tercekat,