Lita sampai di rumahnya menjelang sore hari. Ia merasa lelah karena tiba-tiba terlibat masalah dengan orang yang baru dikenalnya.
Perempuan itu meraih ponsel miliknya lalu memeriksa semua pesan masuk. Beberapa temannya menanyakan tentang kejadian siang tadi.
“Sebaiknya aku tidak cerita tentang penawaran itu ke mereka,” gumam Lita pelan.
Tatapan matanya tampak sayu karena ia merasa lelah. ‘Apa bocah itu akan mencari ku begitu dia bangun?’ Dahi Lita mengernyit, ia tidak tahu kenapa masih saja memikirkan bocah yang baru dikenalnya.
Lamunannya buyar begitu ia mendengar ponselnya bergetar. Ada ajakan untuk berkumpul dari teman-teman terdekatnya.
Setelah membalas pesan, Lita segera mandi lalu bersiap. Ia tiba-tiba lupa dengan rasa lelahnya karena merasa bersemangat untuk bertemu teman-temannya. Ia ingin memaksimalkan waktu liburannya untuk bersenang-senang sebelum kembali ke kota tempat ia bekerja besok.
“Kamu baru aja pulang, mau kemana lagi sekarang?” tanya nenek Kinanti heran saat melihat cucunya sudah rapi dan wangi.
“Mau ketemu temen lagi, nek. Besok kan Lita sudah harus kembali ke Jakarta.”
“Memangnya kamu tidak capek bepergian terus?”
“Biarkan dia, bu. Lita kan jarang bertemu teman-temannya,” sahut kakek Karsam yang kemudian menyeruput kopinya.
Nenek Kinanti hanya menghela nafas panjang karena suaminya selalu membela sang cucu.
“Lita pamit dulu ya.”
Lita melangkah meninggalkan rumah tua itu dengan senyum merekah. Ia memesan ojek online menuju tempat teman-temannya yang sudah berkumpul.
Suasana kafe yang sering ia kunjungi dulu membuatnya merasa nostalgia dengan masa perkuliahan yang dipenuhi cerita dan kenangan.
“Lita!”
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu menoleh ke arah sumber suara. Ia tersenyum begitu melihat teman-temannya sudah berkumpul.
“Hai Lita,” sapa pria berambut coklat sambil tersenyum.
“Hai juga, eh emang kamu boleh disini? Nanti pacar mu ngamuk lagi,” balas Lita sambil tersenyum. Ia duduk di salah satu kursi kosong di samping Mira.
“Lagi marahan mereka,” sahut Rini sambil tertawa.
“Eh Lita, kamu tahu tidak mantan mu yang dulu, akan menikah tahun depan?” tanya Saras membuka suara.
Semua teman dekat Lita yang ada di sekeliling meja itu menatap ke arahnya. Mereka mencoba melihat reaksinya. “Benarkah? Kalau begitu bagus. Mira juga bukannya akan menikah tahun depan?”
Perempuan bernama Mira itu tersenyum. “Ya, tapi itu masih terhitung lama karena aku akan menikah di penghujung tahun.”
Obrolan itu berlanjut, semuanya berbicara tentang topik pernikahan yang biasa dibahas oleh laki-laki dan perempuan seusia mereka.
“Kamu kapan nyusul sama Rey?” tanya Iren penasaran.
“Rencananya tahun depan kami akan bertunangan,” jawab Lita sambil tersenyum. Ada semu merah di pipinya saat ia mengingat kekasihnya.
“Oh iya, ta. Tadi siang bocah yang manggil kamu mama itu siapa?” tanya Iren mengalihkan pembicaraan.
Pandangan Lita beralih ke Iren. Ia tidak mengerti kenapa temannya itu bertanya lagi padahal ia sudah menjelaskannya melalui pesan singkat.
“Aku juga tidak kenal… ,” jawab Lita sambil menghela nafas. Ia teringat lagi tatapan pria yang seolah mampu membuatnya membeku itu.
Teman-teman yang tidak melihat kejadian itu mengernyitkan keningnya. “Bocah?”
Lita mulai menceritakan kejadian tersebut. Ia hanya mengatakan sebagian dari apa yang dialaminya dan sama sekali tidak mengatakan tentang penawaran dari ayah bocah itu.
“Eh tapi kenapa dia manggil kamu mama, ta?” tanya Iren sambil mengernyitkan keningnya.
“Aku juga tidak tahu, sebenarnya aku ingin bertanya, tapi takut menyinggung… ,”
Semua teman Lita mengangguk mengerti meski sebagian di antara mereka merasa ada keanehan pada penjelasan perempuan itu.
Iren bahkan mulai menaruh rasa curiga karena ia mengetahui bahwa dulu Lita sempat menghilang selama satu tahun.
Perempuan berkacamata itu bergumam dalam hati, ‘tidak mungkin kan ada bocah yang tiba-tiba memanggil orang lain dengan sebutan mama? Apa jangan-jangan penyebab Lita yang dulu tidak ada kabarnya selama satu tahun itu karena–‘
“Oh iya, tadi di dekat tempat reuni ada aktris yang sekarang naik daun loh, aku sempat minta foto,” ucap Rini sambil memamerkan potret dirinya bersama seorang aktris cantik.
Melihat Rini menunjukkan potret bersama seorang aktris membuat Iren langsung mengeluarkan ponselnya dan memamerkan hal yang sama.
Lita tampak kaget saat melihat layar ponsel Rini. Ia yakin betul bahwa wanita yang menemui Ardan adalah aktris cantik itu.
Saat teman-temannya sedang membicarakan aktris tersebut, Lita hanya terdiam di tempatnya. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak nyaman di hatinya.
***
Waktu berlalu cepat, Lita telah kembali ke Jakarta setelah menghabiskan waktu cuti di kota kelahirannya. Ia sudah kembali ke rutinitas awal yang membosankan sejak beberapa hari lalu. Pergi pagi, pulang sore lalu mengulangi hal tersebut setiap hari.
“Bagaimana Tara liburannya?” tanya seorang laki-laki berkacamata yang disebut paling tampan di ruangan itu.
Perempuan itu memiliki nama lengkap Litara Diany. Teman kerja di lingkungan Jakarta memang terbiasa memanggil ia dengan nama Tara, karena itu adalah nama yang ia sebutkan mulai awal masuk perusahaan tersebut.
Sejak mengalami hal buruk beberapa tahun lalu, Lita menjadi lebih waspada terhadap banyak hal. Ia bahkan memperkenalkan diri dengan nama panggilan berbeda dari tempat asalnya agar merasa lebih aman.
“Tentu saja senang karena bisa bertemu teman-teman lama,” jawab Lita sambil memeriksa pekerjaan yang harus ia lakukan hari itu. Ia enggan membahas kejadian menyebalkan yang sempat menimpanya.
“Pengen liburan juga,” sahut Lina sambil memainkan bolpoin di tangannya.
“Jatah cuti mu tahun ini habis kan?”
“Ya mau bagimana lagi? kakak ku saat itu menikah dan aku diminta pulang kampung cepat.”
“Tenang, beberapa bulan lagi sudah ganti tahun, kita bisa libur semua.” Kali ini pria berkacamata kotak itu mencoba menghibur.
Lita hanya geleng-geleng kepala karena pergantian tahun yang dimaksud editor pelaksana itu masih sekitar empat bulan lagi.
“Oh iya, kita hari ini bakal kedatangan anggota tim baru.”
“Ada anggota baru? Pantas saja ada meja baru di seberang Lita,” sahut Nia yang langsung bersemangat.
“Dia pindahan dari H Media yang ada di Semarang, karena kinerjanya bagus jadi sekarang dia ditempatkan di pusat,” ucap Angga menjelaskan.
Belum sempat berbicara lagi, seorang perempuan datang bersama dengan laki-laki tampan dengan kacamata bundar.
“Pak Angga, pak Gio sudah sampai.”
“Nah, udah datang. Thanks ya.”
Perempuan itu mengangguk lalu berlalu pergi. Angga langsung memperkenalkan Gio ke semua tim editor yang beranggotakan empat orang itu.
Pria itu memakai kemeja navy lengan panjang. Rambutnya bergelombang dengan model fluffy yang tampak serasi dengan kacamata bulatnya.
Wajahnya bersih tapi kumis tipis yang dibiarkan begitu saja membuat ia terlihat seperti pria yang sudah berumur. Badannya tegap, hal itu menunjukkan jelas bahwa pria tersebut berolahraga secara teratur.
“Ini anggota baru kita, Gio, silakan berkenalan.”
Pria bernama Gio itu memandang ke arah Lita, dia tersenyum lalu kemudian baru melihat ke seluruh anggota lainnya.
*****
“Perkenalkan, saya Gio, mohon bantuannya dan semoga saya bisa berteman baik dengan kalian semua.” Perkenalan tersebut berlangsung cepat karena Angga tiba-tiba mendapat telepon. Semua menyambut ramah Gio, tapi Lita merasa sedikit terganggu ketika mendengar tempat asal Gio yang disebut dari Semarang. ‘Apa aku jadi mudah mencurigai orang karena lagi-lagi aku teringat kejadian itu?’ gumam Lita dalam hati. “Tara, kamu jelaskan ke Gio ya tugasnya apa aja, sekalian bawa dia keliling kantor supaya tahu semua lokasi kantin dan lainnya,” ucap Angga terburu-buru. “Memangnya bos mau kemana?” tanya Lita yang penasaran dengan sikap Angga yang tampak panik. “Ada rapat mendadak, udah ya semuanya aku nitip kantor.” Setelah mengucapkan itu, Angga langsung pergi begitu saja. “Ehmm, jadi darimana saya harus memulai, Lita?” tanya Gio dengan senyum ramah. Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Sejauh yang ia ingat, teman-temannya memanggilnya Tar
“Siapa?”Gio mengangkat bahunya lalu kembali fokus membereskan barangnya. Ekspresi Lita berubah begitu menyadari sesuatu. Ia langsung memeriksa ponselnya lalu segera berkemas.“Aku pulang duluan ya.”Semuanya hanya melambaikan tangannya. Lita langsung melangkah cepat dan keluar dari tempat ia bekerja.“Rey!”Seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku taman depan kantor H&U Media itu menoleh ke arah sumber suara.Pria itu memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, rambutnya hitam lurus. Potongan rambut mullet yang merupakan padu padan shaggy dengan surai sejajar alis tampak serasi dengan wajah oval yang dimilikinya.Orang yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira ia seorang model atau aktor karena penampilannya yang menawan. Hidung mancungnya dengan tatapan mata yang teduh membuat Lita tidak pernah bosan memandangi pria itu.“Lita,” panggil Rey sambi
“Litara?” Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. “Oh? Gio? Aku hampir tidak mengenali karena kamu tidak pakai kacamata.” Penampilan pria itu memang berbanding terbalik saat di kantor yang terkesan lebih elegan. Kaos yang basah oleh keringat yang dipakainya saat ini membuatnya terlihat segar dan maskulin. Tatapan mata Gio beralih ke kotak bekal. Satu kotak berwarna biru berisi sushi tampak sudah dimakan sebagian. “Kamu kesini sambil bawa bekal?” “Sebenarnya tadi aku mau jalan-jalan tapi tidak jadi, karena udah terlanjur ku siapkan, jadi yaudah ku bawa kesini.” “Oh begitu? Aku boleh minta bekalnya?” “Kalau mau bawa aja semua.” “Wah boleh? Makasih loh.” Gio segera menggeser kotak bekal tersebut mendekat ke tempat ia duduk. Pandangan Lita kembali fokus menatap anak kecil yang sedang bermain di kejauhan. Gio menoleh ke arah perempuan itu melihat. “Kangen anak mu?” Tatapan Lita langsung beralih ke pria di
“Ada apa Gio?” “Tidak, bukan apa-apa… .” “Kenapa tidak diangkat?” “Ehmm, bukan sesuatu yang penting.” Lita memandang Gio dengan ekspresi heran. Ia sempat melihat sekilas nama kontak dari seseorang yang menelepon Gio. ‘Yang menelepon itu bosnya yang lain ya? Apa dia jadi gugup karena sedang di kantor?’ gumam Lita dalam hati. “Aku akan pura-pura tidak dengar, kamu angkat saja sepertinya penting, dari bos mu yang lain kan?” Gio tiba-tiba terlihat semakin gugup setelah mendengar ucapan Lita.“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dahi Lita mengernyit, ia tidak mengerti kenapa Gio tampak begitu gugup. ‘Apa pekerjaan lainnya dia itu berkaitan dengan hal rahasia jadi dia takut begitu?’ /Tok..tok../ “Ya silakan masuk.” Seorang perempuan berkacamata bundar muncul dari balik pintu. Ia adalah editor eksekutif baru yang akan sering bekerja dengan Lita secara langsung. Perempuan tersebut menyampaikan
Suara dingin dari pria di seberang telepon itu membuat Gio langsung meletakkan sendoknya. Ekspresi Gio berubah tapi ia masih belum mengatakan apa pun.“Aku meminta mu pindah untuk mengawasinya bukan untuk mendekati perempuan itu,” ucap pria di seberang telepon itu lagi.Pandangan Gio beralih ke arah lain setelah mendengar ucapan itu, mencoba mencari seseorang yang mungkin sedang mengamatinya. Namun ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.“Apa kamu perlu diingatkan tugas mu?”“Saya ingat…,” jawab Gio pelan.“Jangan melewati batas, perempuan itu milik ku!”“Saya mengerti… .”/klik…/“Ada apa?” tanya Lita yang bingung saat melihat wajah Gio menjadi pucat.“Tidak, saya lupa mengerjakan pekerjaan dari bos saya yang lain, jadi saya sedikit diingatkan.”Lita hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi meski merasa aneh
Gerimis masih turun, tapi Lita tetap menunggu ojek online di depan gedung tempat kekasihnya bekerja. Ekspresi perempuan itu tampak buruk. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan mendalam di hatinya. “Waduh neng, saya tidak bawa jas hujan tambahan,” ucap bapak ojek online. “Tidak apa-apa pak, dekat kok hanya lima menit dari sini.,” jawab Lita dengan suara parau. Bapak ojek online itu mengangguk dan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Lita bisa merasakan dinginnya air hujan yang turun rintik-rintik. Ia bisa merasakan hatinya ikut merasa kedinginan. Namun ia tetap mengatakan berulang kali dalam kepalanya bahwa semua akan segera membaik. Setelah sampai di tempat ia bekerja, Lita segera bergegas masuk untuk berganti pakaian. Ia memang menyediakan pakaian ganti di lokernya untuk persiapan jika tiba-tiba perlu berganti saat ada acara mendadak dan hal itu sangat berguna sekarang. Gio tampak bingung saat melihat Lita melangkah cep
Lita tetap bekerja seperti biasa meski suasana hatinya tidak seceria sebelumnya. Ia tetap bisa bersikap profesional dan tersenyum ramah kepada orang lain. Kedatangannya ke tempat kerja Rey pada hari itu tidak dikatakan kepada kekasihnya karena Lita tahu, hal itu tidak akan memperbaiki keadaan dan justru bisa memperburuk. Ia tetap bersikap biasa dan berusaha menanyakan kabar Rey lebih dulu. Walaupun terkadang pikiran buruknya muncul, Lita tetap bertahan dan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Setelah kembalinya Rey dari luar kota, pria itu menemui Lita sekali dan mengatakan hal yang sama. Ia masih belum bisa sering menemui Lita dengan alasan pekerjaan yang masih menumpuk. Hari berlalu tapi hubungan yang sudah terlanjur renggang itu tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Janji yang diucapkan Rey hampir semuanya dibatalkan begitu saja dengan alasan yang sama. Namun Lita tetap menunggu dan mencoba mengerti kesibukan kekasihnya yang
“Kamu bercanda?” Rey menatap ke arah lain, tapi tatapan matanya tampak sayu. “Tidak… .” “Sebenarnya ada apa Rey? Bukannya kamu janji mau membicarakan semua dengan ku? Apa yang salah? Beritahu aku supaya bisa ku perbaiki…,” ucap Lita memohon. Impian tentang pertunangannya yang akan dilakukan pada tahun berikutnya padam begitu saja. “Aku tidak bisa lagi… .” “Tapi kenapa Rey? Aku nggak bisa menerima ini.” Pria di hadapan Lita terdiam sejenak dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia menatap Lita selama beberapa waktu. “Kita sudah tidak sejalan… .” Ingatan Lita kembali membawanya pada saat pertama kali ia melihat ekspresi Rey yang seperti itu. Ia ingat saat pria itu menanyakan tentang sesuatu yang tidak dipahami olehnya. “Beritahu aku bagian mana dariku yang tidak sejalan lagi dengan mu? Kita kan sudah berjanji untuk terbuka dalam komunikasi.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku tidak bisa lagi bersama