"Iya nih, aku mulai bosan di rumah. Apa aku cari kerja aja ya, Si? Lagian nggak enak juga ternyata jadi pengangguran. Aku tuh juga sebenarnya kasihan juga sama abangku, dia rela berangkat pagi ketemu pagi, rela nahan buat beli rokok, cuma buat aku. Kadang aku juga diam-diam sering nguping kalau dia ngeluh ke ibu aku. Wajar sih namanya juga manusia. Aku yakin sih kalau hidupnya juga tertekan menghidupi aku juga. Pasti dia merasa serba salah juga," curhat Leta.Saat ini dia sedang berkomunikasi dengan Sisi melalui telepon."Yang sabar aja. Lagian semua ini juga kemauan abang kamu. Dulu udah pernah aku ingetin loh, tapi dianya aja yang ngeyel.""Maksudnya diingetin gimana?" tanya Leta tak paham. Dia meringis pelan karena mendapat pergerakan kecil dari dalam perutnya."Aku udah tanya dia berkali-kali, emangnya sanggup biayain sendiri? Seumur hidup loh, terus yang dibiayain nggak cuma satu, tapi dua juga. Kenapa nggak disuruh tanggung jawab aja bapaknya? Eh malah dianya yang nyolot. Pokokn
"Kau sudah menyiapkan semuanya, David?""Sudah, Pak. Saya juga sudah bekerja sama dengan orang-orang yang ada di sana, mereka nantinya yang akan membantu berjalannya rencana, Pak."Langit tampak manggut-manggut. "Aku harap Leta tidak terkejut dengan kehadiranku."Pria itu tiba-tiba mendesah berat. "Kira-kira apa dia masih membenciku?""Mungkin, diawal pertemuan agak sedikit tidak berjalan sesuai rencana kita, Pak, tapi saya yakin kalau Anda selalu berusaha pasti Leta akan luluh juga.""Ya, kamu benar." Langit kembali manggut-manggut. "Tujuanku hanya untuk membangun kembali lagi kepercayaan Leta, urusan keluarganya itu belakangan.""Tapi, Pak, saya kurang setuju dengan kalimat yang Anda katakan barusan, karena pada intinya yang harus Anda luluhkan adalah abangnya. Dari awal abangnya yang selalu kekeh ingin memisahkan Anda dan juga Leta.""Ah, si pria berengsek itu," gerutu Langit. "Padahal dia sama berengseknya seperti diriku. Tapi mungkin dialah yang pantas disebut berengsek, karena r
"Kamu yakin sama keputusanmu itu, Let?" tanya Tika memastikan.Leta mengangguk dengan mantap. "Iya, Bu. Maaf kalau keputusanku membuat Ibu dan juga Abang kurang berkenan."Reaksi Tika sungguh berbeda dari Satria. Ibunya malah tersenyum tulus, seolah-olah memahami apa yang saat ini sedang Leta pikirkan."Ibu ngerti kok, ngerti banget kamu itu maunya gimana. Kita ini sama-sama wanita, jadi Ibu paham dengan apa yang kamu rasakan. Kamu ingin hidup mandiri, kan? Kamu nggak mau ngerepotin Ibu sama Abang, kan? Nggak apa-apa, Ibu ngerti. Malah bagus kalau kamu mikirnya seperti itu, itu artinya kamu mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi. Naluri Ibu untuk melindungi dan bertanggung jawab pada anak, sepertinya sudah tertanam di lubuk hati kamu. Ibu sih setuju-setuju aja dengan keputusan kamu, tapi ... ada tapinya loh ya, kalau kamu butuh sesuatu langsung hubungi Ibu kalah nggak hubungi Abang. Kehamilan kamu itu udah besar, Ibu khawatir kalau kamu kenapa-kenapa nggak ada yang nolongin. Namany
"Iya, Si. Ini aku lagi di jalan mau pergi cek kesehatan. Tumben nelepon, kenapa?"Ketika Leta sedang perjalanan menuju ke puskesmas, tiba-tiba saja ponselnya berdering, dan ternyata Sisi lah yang menghubunginya."Eh, begitu ya? Berarti aku ganggu kamu dong. Sorry ya, omong-omong kamu pergi naik apa, Let? Kok berisik banget?" tanya Sisi dari ujung sana."Naik ojek, Si. Nanti lagi kita sambung obrolannya ya, suara kamu nggak jelas, aku matiin teleponnya."Belum mendapat sahutan dari Sisi, Leta sudah memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak."Maaf ya, Pak," ujar Leta, meminta maaf pada tukang ojek itu, takutnya mengganggu konsentrasinya."Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja."Setelah itu tidak ada lagi obrolan di antara mereka berdua.Sementara di tempat lain, Langit tampak berjalan dengan mondar-mandir, pria itu terlihat begitu gelisah. Sepertinya tengah mencemaskan keadaan Leta."Kamu ini gimana sih, kenapa biarkan dia naik ojek? Nanti kalau dia kenapa-kenapa gimana?" omel pria itu p
"Apa adegan laki-laki menabrak Leta adalah skenario kamu?" tanya Langit sinis.David terdiam cukup lama, lebih tepatnya dia tercengang dengan pertanyaan Langit. Pasalnya, tiba-tiba saja pria itu membuka pintu mobil dan menutupnya begitu kencang, sudah bisa David pastikan kalau mood Langit sedang dalam keadaan buruk.Terbukti dari nada bicaranya yang sangat tidak enak didengar."Maksud Anda apa, Pak?" tanya David tak paham."Halah! Sudahlah!" sentak pria itu.David menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa telah terjadi sesuatu?"Pertanyaan lirih itu membuat mata Langit melotot."Tadi Leta dipeluk oleh seorang laki-laki, aku yakin pasti itu salah satu dari skenario kamu, kan?"David menggeleng dengan cepat."Saya tidak ada membuat rencana seperti itu, Pak," bantahnya."Lalu?""Saya tidak mengerti, bisa jadi itu di luar dugaan kita.""Omong kosong!" bentak Langit. "Gara-gara aku melihat itu, aku sudah tidak mood lagi untuk bertemu dengan Leta. Arggghhhh, sial! Harusnya itu adalah momen
"Kamu nggak percaya sama aku? Orang jelas-jelas dia ngomong kayak gitu sama aku kok. Baru aja dia matikan sambungan teleponnya."David menghela napas berat. Bukan karena dia tak percaya dengan apa yang Sisi ucapkan, tapi dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir yang Leta ambil.Kalau sampai dia memberitahu hal ini pada Langit, sudah pasti pria itu tidak akan terima. Namun, kalau dia tidak memberitahukan pada Langit, sangat disayangkan karena ini adalah informasi yang sangat penting."Kamu sudah tahu dia akan tinggal di mana?" tanya David dengan suara tenang."Nggak, soalnya belum nanya," sahut Sisi dari ujung sana dengan acuh."Kenapa nggak nanya?"David tampak kesal."Kamu sendiri nggak ada nyuruh," balas Sisi dengan sewot."Astaga!"Seandainya saja Sisi ada di hadapannya sekarang, mungkin sudah dia cekik leher wanita itu dari tadi."Apa? Kamu mau marah-marah lagi sama aku? Silahkan saja, setelah itu aku nggak mau lagi kerjasama sama kamu, aku nggak mau lagi kasih tahu ke k
"Kapan kamu akan pergi dari sini?" tanya Leta ketus.Langit menghela napas berat. "Beberapa bulan ini kita tidak bertemu, ternyata membuat kamu keras kepala ya? Tapi aku suka. Apapun pada dirimu tidak akan pernah membuat perasaanku luntur."Leta membuang pandangannya ke sembarang arah, jujur saja dia tidak suka dengan ucapan Langit yang begitu manis.Rasanya percuma saja, sedari tadi Leta mengusir Langit sampai mulutnya berbusa mengatakan pergi, tetap saja Langit bebal. Pria itu tidak mau pergi juga dari sini."Sebenarnya aku tuh bingung sama kamu. Dulu, kamu mengatakan tidak membutuhkan aku lagi, tapi sekarang kenapa nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba kamu datang kembali? Sebenarnya apa tujuan kamu? Apa kamu mau mengambil anak ini dari aku?" "Harus berapa kali sih aku bilang? Aku nggak pernah bicara kayak gitu. Semua itu hanya karangan abang kamu aja," sangkal Langit.Leta tersenyum remeh. "Kalau memang itu akal-akalan abangku, lalu kenapa kamu tidak membantah? Seolah-olah ka
"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m