Share

Terjebak Takdir Suami
Terjebak Takdir Suami
Author: Romansa Universe

Bab 1 Isu

Nadia menangis, terduduk di kursi sofa berwarna coklat di ruang tamu. Ruang tamu yang dicat berwarna putih telah diisi oleh beberapa orang. Di sebelah kanan Nadia, duduk sepasang suami istri dewasa. Mereka adalah orang tua Nadia.

Ruang tamu yang bercat putih dengan dinding-dinding dihiasi oleh lukisan yang menarik, sangat mencekam saat ini. Sesekali terdengar suara isak tangis dari Nadia. Ketiga orang lainnya hanya terdiam. Di wajah mereka tersirat gambaran pikiran masing-masing.

Ayah dan Ibu Nadia terdiam. Wajah mereka berdua seakan bingung dengan kondisi saat itu. Mata mereka memperhatikan ke arah anak perempuannya yang menangis di sebelah kanan. Ibu Nadia berulang kali menelan ludah. Tak terlukis senyum di bibirnya. Sedangkan Ayah Nadia yang duduk di samping kanan istrinya, sesekali mengisap rokok. Mukanya sudah memperlihatkan ketidaknyamanan ketika berada di ruangan tamu. Sedari tadi, mereka mendengarkan penjelasan dari anak kandung dan menantunya. Mereka semakin bingung ketika mendengarkan perkataan dari mulut anak kandung dan menantu mereka.

Di seberang Nadia, dipisahkan oleh meja sofa yang berbentuk persegi panjang, duduk dengan sikap tegak seorang lelaki yang berusia sekitar 33 tahun. Kedua kaki bersilang. Paha kanan menimpa paha kiri yang berada di bawah. Paha kiri menjadi tumpuan. Kedua tangan berada di lengan sofa. Punggung lelaki itu tegak, bersandar di kursi sofa. Lelaki yang berdiri dengan punggung tegak, berpenampilan sangat menarik. Dengan baju kemeja kantoran yang terlihat licin dan klimis. Sangat rapi. Begitu juga dengan celana hitam yang dipakai. Terlihat jelas garis-garis setrikaan segaris di depan celana yang dikenakan.

"Aku tak tahu harus gimana lagi, Mas. Aku capek dengan semua ini." Perempuan yang memiliki rambut lurus dan panjang, berpakaian sederhana, meracau dengan cepat dibarengi dengan suara isakan. Matanya sedikit membesar ketika mengatakan kalimat pernyataan yang tak memerlukan jawaban. Menatap wajah lelaki di seberangnya dengan penuh kebencian.

"Kamu capek karena dirimu sendiri!" Lelaki yang duduk dengan sikap tegak, menjawab dengan ketus. Sikap lelaki yang memiliki bidang dada cukup lebar, tidak tegang tapi sangat tegas. Punggungnya yang bidang berdiri dengan tegak di balik punggung sofa. Tubuh rampingnya tak bergerak, walau seinchipun, masih di posisi seperti awal. Hanya kedua mata yang besar, semakin membesar sembari mengucapkan kalimat jawaban untuk perempuan di hadapannya. Wajah lelaki yang sangat maskulin, terlihat begitu berwibawa.

"Aku berusaha untuk menjadi lebih baik. Tapi kamu tidak pernah berubah, Mas." Kini Nadia memandang kembali lelaki yang berada tak jauh di depannya, setelah tadi menundukkan sedikit wajah ketika lelaki yang dipanggilnya dengan kata Mas, mengeluarkan kalimat ketus untuknya. Nadia berusaha mengusap air mata yang jatuh di pipi. Wajah putihnya terlihat penuh beban.

"Kamu pikir aku juga tidak capek dengan prilakumu yang terus menerus menguntit kegiatanku. Aku juga capek menjelaskan semuanya berulang-ulang. Permasalahan hanya berputar seperti lingkaran setan!" Kedua bola mata lelaki berambut sedikit ikal membesar kembali. Kulit wajah yang tergolong ke dalam kuning langsat, memerah.

"Seharusnya... kamu... Arkan, lebih menjaga perasaan istrimu." Wanita setengah baya yang duduk di samping Nadia, sekarang berbicara.

"Sudah, Ma. Biarkan hanya kami yang berbicara. Papa dan Mama cukup mendengarkan." Nadia menyela. Berusaha untuk berbicara dengan lembut walaupun masih terdengar suara isak tangis dari mulutnya. Kedua matanya masih memerah, karena tangis yang dikeluarkannya sedari tadi.

Arkan hanya melihat wanita yang duduk di sebelah suaminya. Dia tak ingin mengeluarkan kata - kata yang nanti akan menyakiti hati Ibu Mertua.

Seandainya aku bisa memaparkan semua dan membuat mereka mengerti keadaanku. Oh...Tuhan.

"Kamu mau pulang atau tidak? Setelah kakiku keluar dari rumah ini, kamu harus pulang sendirian tanpa aku jemput. Aku beri waktu 3 hari untukmu beristirahat di sini."

Arkan segera berdiri. Terdiam beberapa detik di depan istrinya. Melihat reaksi istri yang duduk beberapa jengkal di hadapannya. Wajahnya memperlihatkan sikap kedewasaan. Tegas dan memerintah dengan matanya yang besar.

Nadia terdiam. Menunduk. Tak berani menatap suami yang sedang berdiri di hadapannya, dipisahkan oleh meja sofa.

"Ya Tuhan. Aku bingung. Jika aku ikut pulang ke rumah dengannya, maka aku kalah."

"Oke! Aku beri waktu kamu tiga hari untuk berpikir! Silahkan kembali setelah otakmu merasa jernih!" Arkan mengeluarkan kata-kata itu dengan nada tinggi, seakan memanas setelah menunggu beberapa detik jawaban dari Nadia dan dia tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan. Lelaki yang berpostur terlihat lebih menarik lagi ketika berdiri,  bergerak beberapa langkah menuju ke kanan. Menyalami kedua mertuanya.

"Maaf Ma, Pa. Ini harus terjadi. Arkan pulang lebih dahulu. Biarkan Nadia di sini, sampai pikirannya jernih," jelas Arkan. Dia berbicara dengan suara pelan. Wajahnya terlihat lembut, tak ada sikap tegang dan kasar terpasang di wajah yang terawat. Kemudian lelaki yang berpenampilan menarik, sedikit menunduk, menyalami dan mencium tangan mereka berdua. Tangan mertuanya.

Kedua mertuanya hanya terdiam. Ayah Mertuanya yang terlebih dahulu disalami Arkan, hanya mengendus kecil sebagai jawaban. Sedangkan Ibu Mertuanya tersenyum pahit.

Arkan mundur ke belakang beberapa langkah setelah menyalami mertuanya, membalikkan badan denagn pelan dan sopan. Etikanya sangat diacungi jempol. Kemudian berjalan beberapa langkah dengan tenang, berusaha keluar dari tengah barisan sofa di ruang tamu.

"Jadi, kamu lebih memilih lelaki itu daripada aku, istrimu ini!" Nadia berteriak dengan lantang, secara tiba-tiba. Dia tak terima dengan pembiaran Arkan terhadap dirinya saat ini.

Ibunya yang berada di samping dipisahkan oleh kursi sofa, terkejut sampai badannya sedikit terhentak.

Arkan berbalik. Berbalik dengan sikap wibawa. Tak buru-buru, tanpa emosi.

"Aku capek Nad... capek dengan pembahasan yang berulang-ulang. Pikiranmu tidak akan bisa dimasuki hal positif jika kamu masih mendengar omongan orang dan rasa cemburu membuat pikiranmu semakin tidak jernih." Lelaki bertubuh ramping, berbicara dengan pelan dan bernada lembut. Berulang kali sedikit menundukkan bahunya ketika mengucapkan kalimat itu. Wajahnya terlihat sedih. Tak ada sikap wibawa lagi dari gayanya berdiri. Memang terlihat sikap yang lelah menghadapi istrinya. Berbalik setelah mengucapkan kalimat terakhir, lelaki yang memakai kemeja putih berlengan panjang dengan bawahan hitam, berjalan menuju pintu keluar.

"Mirna, jaga Fariz dengan baik selama berada di sini." Beberapa langkah di depan, dia berpas-pasan dengan Baby Sitter-nya yang berdiri di pangkal anak tangga menuju ke lantai dua. Dia sudah melihat ke atas, ke lantai dua. Melihat anak laki-lakinya yang berumur satu tahun sedang tertidur lelap, sebelum mereka berempat berbicara tadi.

"Iya, Pak." Baby Sitter yang bernama Mirna sedikit menundukkan kepala. Tersirat wajah bingung di air mukanya.

Arkan melangkah menuju pintu keluar dengan pasti dan berbelok ke kanan. Hilang dari pandangan.

"Kurang ajar. Dia masih bersikap sok jagoan saat ini. Lihat saja, aku akan memberikan bukti yang cukup untuk membuka aibmu." Nadia menggeram di dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status