Nadia menangis, terduduk di kursi sofa berwarna coklat di ruang tamu. Ruang tamu yang dicat berwarna putih telah diisi oleh beberapa orang. Di sebelah kanan Nadia, duduk sepasang suami istri dewasa. Mereka adalah orang tua Nadia.
Ruang tamu yang bercat putih dengan dinding-dinding dihiasi oleh lukisan yang menarik, sangat mencekam saat ini. Sesekali terdengar suara isak tangis dari Nadia. Ketiga orang lainnya hanya terdiam. Di wajah mereka tersirat gambaran pikiran masing-masing.
Ayah dan Ibu Nadia terdiam. Wajah mereka berdua seakan bingung dengan kondisi saat itu. Mata mereka memperhatikan ke arah anak perempuannya yang menangis di sebelah kanan. Ibu Nadia berulang kali menelan ludah. Tak terlukis senyum di bibirnya. Sedangkan Ayah Nadia yang duduk di samping kanan istrinya, sesekali mengisap rokok. Mukanya sudah memperlihatkan ketidaknyamanan ketika berada di ruangan tamu. Sedari tadi, mereka mendengarkan penjelasan dari anak kandung dan menantunya. Mereka semakin bingung ketika mendengarkan perkataan dari mulut anak kandung dan menantu mereka.
Di seberang Nadia, dipisahkan oleh meja sofa yang berbentuk persegi panjang, duduk dengan sikap tegak seorang lelaki yang berusia sekitar 33 tahun. Kedua kaki bersilang. Paha kanan menimpa paha kiri yang berada di bawah. Paha kiri menjadi tumpuan. Kedua tangan berada di lengan sofa. Punggung lelaki itu tegak, bersandar di kursi sofa. Lelaki yang berdiri dengan punggung tegak, berpenampilan sangat menarik. Dengan baju kemeja kantoran yang terlihat licin dan klimis. Sangat rapi. Begitu juga dengan celana hitam yang dipakai. Terlihat jelas garis-garis setrikaan segaris di depan celana yang dikenakan.
"Aku tak tahu harus gimana lagi, Mas. Aku capek dengan semua ini." Perempuan yang memiliki rambut lurus dan panjang, berpakaian sederhana, meracau dengan cepat dibarengi dengan suara isakan. Matanya sedikit membesar ketika mengatakan kalimat pernyataan yang tak memerlukan jawaban. Menatap wajah lelaki di seberangnya dengan penuh kebencian.
"Kamu capek karena dirimu sendiri!" Lelaki yang duduk dengan sikap tegak, menjawab dengan ketus. Sikap lelaki yang memiliki bidang dada cukup lebar, tidak tegang tapi sangat tegas. Punggungnya yang bidang berdiri dengan tegak di balik punggung sofa. Tubuh rampingnya tak bergerak, walau seinchipun, masih di posisi seperti awal. Hanya kedua mata yang besar, semakin membesar sembari mengucapkan kalimat jawaban untuk perempuan di hadapannya. Wajah lelaki yang sangat maskulin, terlihat begitu berwibawa.
"Aku berusaha untuk menjadi lebih baik. Tapi kamu tidak pernah berubah, Mas." Kini Nadia memandang kembali lelaki yang berada tak jauh di depannya, setelah tadi menundukkan sedikit wajah ketika lelaki yang dipanggilnya dengan kata Mas, mengeluarkan kalimat ketus untuknya. Nadia berusaha mengusap air mata yang jatuh di pipi. Wajah putihnya terlihat penuh beban.
"Kamu pikir aku juga tidak capek dengan prilakumu yang terus menerus menguntit kegiatanku. Aku juga capek menjelaskan semuanya berulang-ulang. Permasalahan hanya berputar seperti lingkaran setan!" Kedua bola mata lelaki berambut sedikit ikal membesar kembali. Kulit wajah yang tergolong ke dalam kuning langsat, memerah.
"Seharusnya... kamu... Arkan, lebih menjaga perasaan istrimu." Wanita setengah baya yang duduk di samping Nadia, sekarang berbicara.
"Sudah, Ma. Biarkan hanya kami yang berbicara. Papa dan Mama cukup mendengarkan." Nadia menyela. Berusaha untuk berbicara dengan lembut walaupun masih terdengar suara isak tangis dari mulutnya. Kedua matanya masih memerah, karena tangis yang dikeluarkannya sedari tadi.
Arkan hanya melihat wanita yang duduk di sebelah suaminya. Dia tak ingin mengeluarkan kata - kata yang nanti akan menyakiti hati Ibu Mertua.
Seandainya aku bisa memaparkan semua dan membuat mereka mengerti keadaanku. Oh...Tuhan.
"Kamu mau pulang atau tidak? Setelah kakiku keluar dari rumah ini, kamu harus pulang sendirian tanpa aku jemput. Aku beri waktu 3 hari untukmu beristirahat di sini."
Arkan segera berdiri. Terdiam beberapa detik di depan istrinya. Melihat reaksi istri yang duduk beberapa jengkal di hadapannya. Wajahnya memperlihatkan sikap kedewasaan. Tegas dan memerintah dengan matanya yang besar.
Nadia terdiam. Menunduk. Tak berani menatap suami yang sedang berdiri di hadapannya, dipisahkan oleh meja sofa.
"Ya Tuhan. Aku bingung. Jika aku ikut pulang ke rumah dengannya, maka aku kalah."
"Oke! Aku beri waktu kamu tiga hari untuk berpikir! Silahkan kembali setelah otakmu merasa jernih!" Arkan mengeluarkan kata-kata itu dengan nada tinggi, seakan memanas setelah menunggu beberapa detik jawaban dari Nadia dan dia tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan. Lelaki yang berpostur terlihat lebih menarik lagi ketika berdiri, bergerak beberapa langkah menuju ke kanan. Menyalami kedua mertuanya.
"Maaf Ma, Pa. Ini harus terjadi. Arkan pulang lebih dahulu. Biarkan Nadia di sini, sampai pikirannya jernih," jelas Arkan. Dia berbicara dengan suara pelan. Wajahnya terlihat lembut, tak ada sikap tegang dan kasar terpasang di wajah yang terawat. Kemudian lelaki yang berpenampilan menarik, sedikit menunduk, menyalami dan mencium tangan mereka berdua. Tangan mertuanya.
Kedua mertuanya hanya terdiam. Ayah Mertuanya yang terlebih dahulu disalami Arkan, hanya mengendus kecil sebagai jawaban. Sedangkan Ibu Mertuanya tersenyum pahit.
Arkan mundur ke belakang beberapa langkah setelah menyalami mertuanya, membalikkan badan denagn pelan dan sopan. Etikanya sangat diacungi jempol. Kemudian berjalan beberapa langkah dengan tenang, berusaha keluar dari tengah barisan sofa di ruang tamu.
"Jadi, kamu lebih memilih lelaki itu daripada aku, istrimu ini!" Nadia berteriak dengan lantang, secara tiba-tiba. Dia tak terima dengan pembiaran Arkan terhadap dirinya saat ini.
Ibunya yang berada di samping dipisahkan oleh kursi sofa, terkejut sampai badannya sedikit terhentak.
Arkan berbalik. Berbalik dengan sikap wibawa. Tak buru-buru, tanpa emosi.
"Aku capek Nad... capek dengan pembahasan yang berulang-ulang. Pikiranmu tidak akan bisa dimasuki hal positif jika kamu masih mendengar omongan orang dan rasa cemburu membuat pikiranmu semakin tidak jernih." Lelaki bertubuh ramping, berbicara dengan pelan dan bernada lembut. Berulang kali sedikit menundukkan bahunya ketika mengucapkan kalimat itu. Wajahnya terlihat sedih. Tak ada sikap wibawa lagi dari gayanya berdiri. Memang terlihat sikap yang lelah menghadapi istrinya. Berbalik setelah mengucapkan kalimat terakhir, lelaki yang memakai kemeja putih berlengan panjang dengan bawahan hitam, berjalan menuju pintu keluar.
"Mirna, jaga Fariz dengan baik selama berada di sini." Beberapa langkah di depan, dia berpas-pasan dengan Baby Sitter-nya yang berdiri di pangkal anak tangga menuju ke lantai dua. Dia sudah melihat ke atas, ke lantai dua. Melihat anak laki-lakinya yang berumur satu tahun sedang tertidur lelap, sebelum mereka berempat berbicara tadi.
"Iya, Pak." Baby Sitter yang bernama Mirna sedikit menundukkan kepala. Tersirat wajah bingung di air mukanya.
Arkan melangkah menuju pintu keluar dengan pasti dan berbelok ke kanan. Hilang dari pandangan.
"Kurang ajar. Dia masih bersikap sok jagoan saat ini. Lihat saja, aku akan memberikan bukti yang cukup untuk membuka aibmu." Nadia menggeram di dalam hati.
- 3 Tahun sebelumnya. -Rumah Sakit Umum Daerah dr. MoewardiatauRSDM (Rumah Sakit Dr. Moewardi) adalah rumah sakit pemerintah provinsiJawa Tengah yang terletak diSurakarta, Indonesia. Selain menjadi Rumah Sakit Pemerintah, RSDM juga berfungsi sebagai Rumah Sakit Pendidikan, salah satu fakultas yang bekerja sama dengan rumah sakit ini adalah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Nama rumah sakit ini diambil dari namadr. Moewardi, seorang tokoh perjuangan Indonesia pada masa kolonial.Rumah Sakit Umum Daerah yang tak jauh dari Kota Solo, merupakan rumah sakit utama di kota tersebut. Klasifikasi A membuat rumah sakit ini sangat penting untuk melayani masyarakat.Nadia mempercepat langkah kakinya. Kedua kaki itu seakan maraton di lintasan lari di stadion olah raga. Padahal... dia masih terlambat lima menit untuk masuk ke kantor. Tapi baginya, itu hal yang sangat memalukan. Hentakan
Kedua gadis memakai baju dinas putih bercerita di meja cafetaria dengan ceria. Mereka cekikikan. Menceritakan beberapa hal yang penting dan juga hal tidak penting sama sekali. Makanan dan minuman yang mereka pesan sudah dilahap sampai tak bersisa.Cafe yang tak jauh dari tempat kerja mereka menjadi tempat alternatif untuk makan siang selain rumah makan padang yang ada di sebelah kantor mereka. Cafe yang menyajikan menu masakan nusantara yang cocok dengan lidah mereka, membuat mereka betah dan sering berkunjung ke cafe tersebut.Di saat jam makan siang seperti saat ini, pelanggan harus sabar menunggu pesanan mereka. Karena begitu banyak pelanggan yang antri di jam padat seperti siang ini.Kedua gadis yang bercengkrama tidak memedulikan begitu banyaknya orang di cafe tersebut. Mereka tetap bercerita dan bercanda dengan alur mereka sendiri. Jika bertemu, tak akan habis bahan yang menjadi obrolan bagi kedua gadis itu, tapi m
Cuaca sore hari yang cerah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Surakarta sangat tenang. Gedung dan lorong-lorong rumah sakit masih disibukkan oleh beberapa orang yang berlalu lalang, baik sebagai pasien ataupun sebagai staf dan pekerja di Rumah Sakit dr. Moewardi. Bau obat yang khas seperti Rumah Sakit pada umumnya, tercium sangat menyengat. Aura Rumah Sakit dengan dipenuhi oleh orang-orang yang berobat jalan ataupun sebagai pasien bermalam, terlihat jelas dari kondisi manusia yang lebih banyak pasien dibandingkan tenaga medis. Para pengunjung sebagai keluarga yang mengantar atau menjenguk pasien juga membuat Rumah Sakit Umum Daerah itu semakin ramai.Di keramik putih yang berlorong panjang, memiliki tiang-tiang penyanggah untuk atap yang menutupi lorong itu, Nadia berjalan pelan. Dia melewati lorong yang bertiang di kiri kanannya yang berjarak sekitar 1 meter setiap tiang. Tiang-tiang itu dicat berwarna abu-abu. Gadis yang memiliki kulit putih dan bertubuh ra
Mobil hitam Avanza menyusuri jalan komplek perumahan yang masih berbatu, belum beraspal hitam. Mobil itu berjalan dengan perlahan melalui barisan rumah-rumah kecil yang dilihat dari luar dapat dipastikan bahwa rumah itu adalah rumah tipe sederhana.Di sore hari ini, Nadia baru saja pulang dari Rumah Sakit Umum Daerah tempat dia bekerja. Rutinitas yang dilakukannya di hari kerja atau week day. Dengan santai Nadia menyetir menyusuri jalan tak beraspal. Beberapa kali dia melihat kaca spion di kanan untuk mengecek apakah ada kendaraan di belakang yang mengikuti atau akan menyalipnya. Dia waspada karena akan berbelok ke kanan, menuju jalan di depan rumahnya.Merasa aman, Nadia membanting stir ke kanan secara perlahan, kemudian mengendarai mobil hitam, melewati beberapa rumah dari pangkal jalan untuk menuju rumahnya. Rumahnya tepat berada di kanan jalan. Setelah melewati empat rumah setipe dengan rumahnya, Nadia berhenti di depan rumahnya. Turun dari mobil dan membuka pintu
"Iya, Mas. Saya baru saja pulang."Nadia berbicara di balik telepon. Dia sedang duduk bersandar di punggung tempat tidur. Dia berada di dalam kamar tidurnya. Menselonjorkan kakinya, rata dengan tempat tidur. Memanjakan dirinya dengan sikap santai di kamar yang tak terlalu lebar."Mas, sudah pulang kerja?" tanya gadis itu, tentu saja masih di jalur komunikasi elektronik. Ada sedikit nada manja terdengar dari suara Nadia."Oh. Iya... iya, Mas. Enak dong, siang sudah pulang, kan jadinya tidak diatur-atur orang lain karena punya usaha sendiri,” jelasnya lagi. Nadia berusaha mengungkapkan pendapatnya.Gadis berambut panjang itu mengambil bantal dan meletakkan di atas pahanya. Tangan kirinya tanpa sadar memutar-mutar ujung sarung bantal yang berada di paha, berwarna merah muda. Sesekali dia menekukkan batang lehernya bertingkah sedikit aneh, terlihat dari gerakannya. Wajahnya terlihat sumringah."Enggak boleh gitu, Mas. Pamalih, Mas Am sudah dikasi
Nadia menyetir mobilnya secara perlahan, berbelok ke kanan menuju pintu masuk utama rumah sakit. Mobil diberhentikan pas di bawah gapura utama bertuliskan RUMAH SAKIT Dr. OEN SOLO BARU dan dibawah ada tulisan berukuran kecil dibandingkan dengan tulisan di atas tadi yaitu SUKOHARJO.Mesin otomatis untuk parkir juga pas berada di bawah gapura itu. Nadia menghentikan mobil untuk mengambil kertas parkir. Gadis itu membuka kaca jendela dan menekan tombol warna hijau di mesin parkir otomatis, kemudian dia mengambil kertas parkir yang menyembul keluar dari satu bibir di mesin itu.Nadia kemudian kembali menutup kaca jendela mobil dengan menekan satu tombol sekali, menjalankan kendaraan itu dan mengambil ke kanan, mengarah ke lapangan parkir."Besar rumah sakitnya ya, Dek?"Seorang perempuan yang duduk di kursi tengah untuk penumpang tiba - tiba berkata. Dia sedang memeluk seorang anak laki - laki yang duduk
Lorong utama Rumah Sakit dr. Moewardi sangat ramai dikunjungi pasien setiap hari. Begitu juga dengan pagi ini. Berbagai macam manusia dengan tingkah, gaya dan bau beraneka ragam sudah berkumpul di lorong itu. Padahal matahari belum sampai sepenggalahan di hari ini. Tak tahu mengapa hari ini begitu banyak manusia yang berlalu lalang dan berdiri di lorong utama.Nadia berusaha berjalan di lorong utama menuju lobi dengan berhati-hati agar tidak berbenturan dengan orang lain. Sesekali dia menebarkan senyum kepada orang yang berselisih jalan dengannya, terutama dengan tenaga medis yang dikenalnya.Gadis yang memakai baju dinas berwarna putih, lebih menyerupai seperti jas, ingin menuju ke ruangan administrasi. Ada beberapa berkas yang ingin dilihat. Ketukan sepatunya terdengar cepat, dia berjalan seperti biasanya, lincah dan gesit. Kelincahan juga teruji dengan menghindari beberapa orang di lorong yang berjalan dengan seenaknya. Tak memedulikan or
"Kita ambil sampel darah Dek Rafi ya, Mba?" Arkan menoleh ke arah Ibu pasien setelah memeriksa tubuh anak laki-laki yang berumur sembilan tahun. Berdiri menghadap ke Ibu Pasien."Tidak ada hal yang serius kan, Mas Dokter?"Ibu pasien yang ternyata adalah Kakak Nadia menimpali pernyataan dr. Arkan dengan cemas."Mudah-mudahan tidak, saya hanya memastikan saja. Karena sudah seminggu dari pemeriksaan pertama, suhu tubuhnya kembali naik." Dokter Arkan memberi kode kepada perawat laki-laki yang berada di sebelahnya. Kode agar mengurus anak laki-laki yang sudah diperiksa olehnya.Perawat yang bertubuh tinggi dan ramping, langsung merapikan pakaian anak laki-laki yang sedang berbaring dalam keadaan sadar. Perawat laki-laki yang memiliki rambut lurus dipotong pendek, membantu Sang Pasien duduk di atas tempat tidur yang dibalut dengan kain berwarna biru muda, pada gerakan selanjutnya.Ibu pasien, berus