Seorang gadis yang telah menikah dengan pria tampan dan mapan yang hanya berkenalan dengannya dalam masa satu tahun, merupakan wanita yang mandiri dan berprofesi sebagai dokter. Setelah pernikahan dijalani, ternyata kehidupan pernikahan tak seindah yang dibayangkan. Kepribadian Sang Suami yang terkena isu sebagai penyuka sesama jenis, berusaha dibongkar olehnya. Dia berusaha mencari dan menggali informasi apakah isu yang beredar itu benar atau hanya permainan hati yang membuat dia terlalu percaya dengan isu, bukan kenyataan. Sang Suami memiliki seorang sahabat yang sangat dekat dengan dirinya, juga menambah isu itu semakin merebak. Seorang pria berprofesi sebagai perawat yang seumuran dengan gadis itu selalu menjadi momok baginya. Cerita ini akan mengupas tentang perjalanan hidup seorang gadis yang bergelut dengan rumor Sang Suami. Apakah rumor itu fakta atau hanya sekedar rumor? Terkadang, manusia harus lebih berhati - hati dengan bisikan manusia lain. Bisikan yang membuat kehidupan semakin memburuk dikarenakan tidak memiliki prinsip dalam kehidupan.
View MoreNadia menangis, terduduk di kursi sofa berwarna coklat di ruang tamu. Ruang tamu yang dicat berwarna putih telah diisi oleh beberapa orang. Di sebelah kanan Nadia, duduk sepasang suami istri dewasa. Mereka adalah orang tua Nadia.
Ruang tamu yang bercat putih dengan dinding-dinding dihiasi oleh lukisan yang menarik, sangat mencekam saat ini. Sesekali terdengar suara isak tangis dari Nadia. Ketiga orang lainnya hanya terdiam. Di wajah mereka tersirat gambaran pikiran masing-masing.
Ayah dan Ibu Nadia terdiam. Wajah mereka berdua seakan bingung dengan kondisi saat itu. Mata mereka memperhatikan ke arah anak perempuannya yang menangis di sebelah kanan. Ibu Nadia berulang kali menelan ludah. Tak terlukis senyum di bibirnya. Sedangkan Ayah Nadia yang duduk di samping kanan istrinya, sesekali mengisap rokok. Mukanya sudah memperlihatkan ketidaknyamanan ketika berada di ruangan tamu. Sedari tadi, mereka mendengarkan penjelasan dari anak kandung dan menantunya. Mereka semakin bingung ketika mendengarkan perkataan dari mulut anak kandung dan menantu mereka.
Di seberang Nadia, dipisahkan oleh meja sofa yang berbentuk persegi panjang, duduk dengan sikap tegak seorang lelaki yang berusia sekitar 33 tahun. Kedua kaki bersilang. Paha kanan menimpa paha kiri yang berada di bawah. Paha kiri menjadi tumpuan. Kedua tangan berada di lengan sofa. Punggung lelaki itu tegak, bersandar di kursi sofa. Lelaki yang berdiri dengan punggung tegak, berpenampilan sangat menarik. Dengan baju kemeja kantoran yang terlihat licin dan klimis. Sangat rapi. Begitu juga dengan celana hitam yang dipakai. Terlihat jelas garis-garis setrikaan segaris di depan celana yang dikenakan.
"Aku tak tahu harus gimana lagi, Mas. Aku capek dengan semua ini." Perempuan yang memiliki rambut lurus dan panjang, berpakaian sederhana, meracau dengan cepat dibarengi dengan suara isakan. Matanya sedikit membesar ketika mengatakan kalimat pernyataan yang tak memerlukan jawaban. Menatap wajah lelaki di seberangnya dengan penuh kebencian.
"Kamu capek karena dirimu sendiri!" Lelaki yang duduk dengan sikap tegak, menjawab dengan ketus. Sikap lelaki yang memiliki bidang dada cukup lebar, tidak tegang tapi sangat tegas. Punggungnya yang bidang berdiri dengan tegak di balik punggung sofa. Tubuh rampingnya tak bergerak, walau seinchipun, masih di posisi seperti awal. Hanya kedua mata yang besar, semakin membesar sembari mengucapkan kalimat jawaban untuk perempuan di hadapannya. Wajah lelaki yang sangat maskulin, terlihat begitu berwibawa.
"Aku berusaha untuk menjadi lebih baik. Tapi kamu tidak pernah berubah, Mas." Kini Nadia memandang kembali lelaki yang berada tak jauh di depannya, setelah tadi menundukkan sedikit wajah ketika lelaki yang dipanggilnya dengan kata Mas, mengeluarkan kalimat ketus untuknya. Nadia berusaha mengusap air mata yang jatuh di pipi. Wajah putihnya terlihat penuh beban.
"Kamu pikir aku juga tidak capek dengan prilakumu yang terus menerus menguntit kegiatanku. Aku juga capek menjelaskan semuanya berulang-ulang. Permasalahan hanya berputar seperti lingkaran setan!" Kedua bola mata lelaki berambut sedikit ikal membesar kembali. Kulit wajah yang tergolong ke dalam kuning langsat, memerah.
"Seharusnya... kamu... Arkan, lebih menjaga perasaan istrimu." Wanita setengah baya yang duduk di samping Nadia, sekarang berbicara.
"Sudah, Ma. Biarkan hanya kami yang berbicara. Papa dan Mama cukup mendengarkan." Nadia menyela. Berusaha untuk berbicara dengan lembut walaupun masih terdengar suara isak tangis dari mulutnya. Kedua matanya masih memerah, karena tangis yang dikeluarkannya sedari tadi.
Arkan hanya melihat wanita yang duduk di sebelah suaminya. Dia tak ingin mengeluarkan kata - kata yang nanti akan menyakiti hati Ibu Mertua.
Seandainya aku bisa memaparkan semua dan membuat mereka mengerti keadaanku. Oh...Tuhan.
"Kamu mau pulang atau tidak? Setelah kakiku keluar dari rumah ini, kamu harus pulang sendirian tanpa aku jemput. Aku beri waktu 3 hari untukmu beristirahat di sini."
Arkan segera berdiri. Terdiam beberapa detik di depan istrinya. Melihat reaksi istri yang duduk beberapa jengkal di hadapannya. Wajahnya memperlihatkan sikap kedewasaan. Tegas dan memerintah dengan matanya yang besar.
Nadia terdiam. Menunduk. Tak berani menatap suami yang sedang berdiri di hadapannya, dipisahkan oleh meja sofa.
"Ya Tuhan. Aku bingung. Jika aku ikut pulang ke rumah dengannya, maka aku kalah."
"Oke! Aku beri waktu kamu tiga hari untuk berpikir! Silahkan kembali setelah otakmu merasa jernih!" Arkan mengeluarkan kata-kata itu dengan nada tinggi, seakan memanas setelah menunggu beberapa detik jawaban dari Nadia dan dia tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan. Lelaki yang berpostur terlihat lebih menarik lagi ketika berdiri, bergerak beberapa langkah menuju ke kanan. Menyalami kedua mertuanya.
"Maaf Ma, Pa. Ini harus terjadi. Arkan pulang lebih dahulu. Biarkan Nadia di sini, sampai pikirannya jernih," jelas Arkan. Dia berbicara dengan suara pelan. Wajahnya terlihat lembut, tak ada sikap tegang dan kasar terpasang di wajah yang terawat. Kemudian lelaki yang berpenampilan menarik, sedikit menunduk, menyalami dan mencium tangan mereka berdua. Tangan mertuanya.
Kedua mertuanya hanya terdiam. Ayah Mertuanya yang terlebih dahulu disalami Arkan, hanya mengendus kecil sebagai jawaban. Sedangkan Ibu Mertuanya tersenyum pahit.
Arkan mundur ke belakang beberapa langkah setelah menyalami mertuanya, membalikkan badan denagn pelan dan sopan. Etikanya sangat diacungi jempol. Kemudian berjalan beberapa langkah dengan tenang, berusaha keluar dari tengah barisan sofa di ruang tamu.
"Jadi, kamu lebih memilih lelaki itu daripada aku, istrimu ini!" Nadia berteriak dengan lantang, secara tiba-tiba. Dia tak terima dengan pembiaran Arkan terhadap dirinya saat ini.
Ibunya yang berada di samping dipisahkan oleh kursi sofa, terkejut sampai badannya sedikit terhentak.
Arkan berbalik. Berbalik dengan sikap wibawa. Tak buru-buru, tanpa emosi.
"Aku capek Nad... capek dengan pembahasan yang berulang-ulang. Pikiranmu tidak akan bisa dimasuki hal positif jika kamu masih mendengar omongan orang dan rasa cemburu membuat pikiranmu semakin tidak jernih." Lelaki bertubuh ramping, berbicara dengan pelan dan bernada lembut. Berulang kali sedikit menundukkan bahunya ketika mengucapkan kalimat itu. Wajahnya terlihat sedih. Tak ada sikap wibawa lagi dari gayanya berdiri. Memang terlihat sikap yang lelah menghadapi istrinya. Berbalik setelah mengucapkan kalimat terakhir, lelaki yang memakai kemeja putih berlengan panjang dengan bawahan hitam, berjalan menuju pintu keluar.
"Mirna, jaga Fariz dengan baik selama berada di sini." Beberapa langkah di depan, dia berpas-pasan dengan Baby Sitter-nya yang berdiri di pangkal anak tangga menuju ke lantai dua. Dia sudah melihat ke atas, ke lantai dua. Melihat anak laki-lakinya yang berumur satu tahun sedang tertidur lelap, sebelum mereka berempat berbicara tadi.
"Iya, Pak." Baby Sitter yang bernama Mirna sedikit menundukkan kepala. Tersirat wajah bingung di air mukanya.
Arkan melangkah menuju pintu keluar dengan pasti dan berbelok ke kanan. Hilang dari pandangan.
"Kurang ajar. Dia masih bersikap sok jagoan saat ini. Lihat saja, aku akan memberikan bukti yang cukup untuk membuka aibmu." Nadia menggeram di dalam hati.
"Aku akan menikahimu, Nad... tapi aku ingin kita tunangan terlebih dahulu, setelah beberapa bulan dan saling mengenal, baru kita menikah...."Arkan mengucapkan kalimat itu dengan jelas dan lugas. Lelaki yang sedang memakai baju kemeja berwarna salem, duduk dengan menegakkan punggung dan menatap lurus ke arah gadis yang di hadapannya. Dia sangat berwibawa dan sopan."Ya... Tuhaaaan...! Apakah ini mimpi...!" jerit Nadia di dalam hati. Hatinya seakan berhenti berdetak sesaat. Kedua matanya menatap ke arah lelaki yang duduk di hadapannya tanpa berkedip.Akhirnya, cerita dongeng yang diharapkan menjadi kenyataan. Seseorang pangeran yang muncul tiba-tiba --dikenal tanpa sengaja-- datang ke rumahnya tanpa janji palsu dan akhirnya akan melamar dia di depan kedua orang tua secara jantan. Nyata. Drama yang sangat diinginkan berlaku di dalam kehidupannya, bukan sebuah skenario yang dibuat oleh manusia.
"Bagaimana dengan, Fandi?" "Apa tuh yang bagaimana?" "Fandi sangat dekat dengan Mas Arkan. Apa dia tidak kangen dengan ayahnya?" Nadia mengambil potongan Sushi dengan garpu. Dia menyucuk ujung garpu ke satu sushi yang terlihat menggugah selera. "Dari kecil, Fandi sudah tinggal bersama kami. Abang iparku, Ayah Fandi... kerja melaut. Tempat dia bekerja di salah satu BUMN terbesar di Indonesia. Jadi kakakku dan Fandi sering ditinggal. Setahun sekali ayah Fandi baru pulang. Jadi... dia tidak terlalu dekat dengan ayahnya." Arkan menyeruput minuman Strawberry Shake yang ada dihadapannya. "Kasian dia ya, Mas. Masih kecil sudah ditinggal ibunya." Nadia berseru pelan. Memang terlihat kesedihan di wajah Nadia ketika mengatakan itu. "Ya. Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang lebih kepada Fandi. Agar nanti... ketika besar... dia tidak minde
Arkan menjemput Nadia dari rumah sakit dr. Moewardi sore ini. Lelaki yang dikenal Nadia, genap 2 bulan ini, menelponnya tadi pagi. Arkan memberitahu ke Nadia bahwa sore akan dijemput dari tempat kerja dan pergi ke suatu tempat. Ada yang ingin dibicarakan oleh lelaki tampan itu. Karena itulah, tadi pagi Nadia menggunakan taksi online untuk pergi bekerja. Tidak membawa mobil.Saat ini, mereka berdua duduk di restoran yang menyediakan beberapa menu masakan Jepang. Sushi yang beraneka ragam sudah ada di meja mereka saat ini.Arkan yang mengenakan baju kemeja, mempermainkan sumpit di tangan kanan seolah-olah bingung akan memilih makanan yang mana. Sedangkan Nadia melihat menu di meja dengan kening sedikit berkerut."Kamu sudah ketemu dengan orang-orang yang dekat denganku... aku sengaja melakukan itu agar kamu mengerti keadaanku, Nad."Arkan mengambil sepotong sushi yang ber
"Arkan...? Arkan Wiguna...?""Iya, Mba. Kenapa, Mba?"Nadia bertanya penuh rasa penasaran kepada perempuan yang bertubuh gemuk di depannya.Perempuan yang memakai jilbab berpakaian baju PNS berwarna coklat, terdiam. Dia menyibukkan diri dengan makanan yang ada di hadapannya."Kenapa, Mba?" tanya Nadia. Dia semakin penasaran ketika melihat gelagat perempuan itu."Dia teman aku di SMA dulu. Kalian sudah pacaran?" tanya perempuan yang sekarang sedang menyeruput Jus Alpukat di hadapannya. Dia makan dan minum dengan lahap. Wajar saja badannya sangat berisi."Gimana ya? Dibilang pacaran sih, dia belum ada mengungkapkan perasaannya, tapi sikapnya sudah menganggap aku pacarnya. Dia sudah datang ke rumah beberapa kali dan mengajak aku keluar," jelas Nadia. Wajahnya masih sangat penasaran.Nadia tidak tahu kemana arah pembicaraan pere
Tugu... dengan desain patung di atasnya yang berwarna coklat keemasan terlihat di depan stadion bola. Di tugu terlihat 2 patung berdiri di atas cawan. Di depan terlihat patung perempuan berpakaian adat Jawa yang sedang merentangkan busur panah ke arah kiri dengan kepala yang berpaling ke kiri juga. Patung kedua, berada pas di belakang patung perempuan tadi, juga menggunakan pakaian adat Jawa, terlihat seorang pria yang sedang memalingkan kepala ke kiri, melihat sasaran panah yang akan dipanah oleh perempuan di depannya. Tugu ini adalah ciri khas dari Stadion Manahan di kota Solo. Tugu ini terletak di pintu halaman depan sebagai pelambang selamat datang bagi para pengunjung.Arkan memarkirkan mobil mercy hitam di depan Stadion Manahan. Dia memarkirkan mobil tepat di posisi sesuai garis putih. Mematikan mesin dan berusaha untuk membuka pintu mobil, digerakkan selanjutnya."Ayo."Arkan menarik handle pintu, membuk
Dengan canggung, Nadia masuk ke dalam rumah yang lumayan besar. Setelah melalui taman depan rumah yang lumayan luas, Nadia masuk ke ruang tamu dari pintu utama.Ruang tamu yang bercat dominan putih sangat rapi dan teratur. Ada dua set sofa di ruang tamu. Satu set sofa berwarna abu-abu dan yang satunya lagi berwarna putih bersih. Di sofa berwarna putih --di sebelah kanan ruang tamu-- telah duduk seorang wanita yang sudah berumur, sedang mengaji. Wanita yang berusia mendekati 70 tahun ini masih terlihat segar dan sehat. Wanita tua yang masih menggunakan mukena, tertunduk, membaca buku yang ada hadapannya.Jantung Nadia berdetak sangat hebat ketika melihat satu sosok yang entah mengapa sangat ditakutinya saat ini. Bukan takut karena seram, tapi takut jika dia berbuat salah dengan sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan wanita ini."Assalamu'alaikum, Umi."Arkan membuka kata setelah masuk ke dalam ruangan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments