Share

Bab 7 Rencana

“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.

“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.

“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”

“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.

“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”

Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.

“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”

“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”

Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. “Masalahnya Alex tuh bukannya cinta sama gue. Cuma ngebet buat nidurin gue,” bisikku cepat.

“Ah sok tau lo. Kalau gak cinta, ngapain dia nempelin lo terus. Bersikap lembut. Padahal setahu gue Alex dan teman-temannya tipe memaksa. Mereka bakal lakuin apa aja demi mendapatkan apa yang mereka mau. Nah sama lo, Alex sabar banget buat ngedapetin lo.”

“Cuma modus.”

“Ck, serah lo deh, Ra. Gue doain lo jodoh sama dia. Kan, lumayan punya suami tajir dan keren kayak Alex. Gak perlu susah-susah cari duit.”

“Apaan? Belum juga lulus sekolah udah mikirin nikah aja.”

Sarah terkekeh geli menyadari kekonyolan barusan.

“Ya udah, gue ke kantin dulu. Noh Alex udah duduk manis.”

Aku melirik ke arah yang ditunjukkan Sarah. Benar saja, pemuda itu sudah berada di sana dengan earphone yang menempel di telinganya.

“Makan dulu, gue gak mau lo ngeluh pusing lagi kayak kemarin.” Alex menyodorkan kotak makan fast food bertuliskan brand terkenal yang menyajikan makanan dari negeri sakura.

Dasar orang kaya, ada kantin malah pesan makan dari luar. Eh, memang bisa, ya, pesan makan dari luar?

Aku melongo begitu membuka kotak makan tersebut. Ada nasi, udang dibalut tepung. Saus. Salad.  Potongan daging dicampur irisan bawang Bombay dan paprika.

Hhhmm! Aku langsung menelan ludah melihat makanan yang tampak lezat itu. Jujur, seumur-umur belum pernah makan makanan seperti ini. Entah rasanya enak atau tidak.

Tanpa sadar, Alex juga sudah membuka kotak makan miliknya. Pemuda itu juga membukakan sumpit milikku.

Huft. Kalau saja kami berpacaran, pasti aku sudah melayang karena semua sikap manisnya. Tapi sayangnya,i pemuda ini baik karenamkarena ada maunya.

Alex menaikkan alis saat aku terus saja memperhatikannya.

“Memang bakal kenyang, ya, kalau liatin gue terus?” godanya dengan senyum jahil.

Idiiiiiih! Kepedean. Aku mencibir ke arahnya. Baru akan menyuap sepotong daging, tiba-tiba aku teringat Ridho dan Rani.  

Ya Tuhan, mereka hanya bisa jajan gorengan dan teh kemasan seribuan. Sementara aku makan enak dan lengkap seperti ini. Aku meletakkan kembali potongan daging, mengurungkan niat menyantap makan siang ini dan membungkusnya kembali.

“Kenapa? Gak suka? Mau makan yang lain aja?” Alex menatap heran.

“Belum lapar.”

“Serius? Ini udah jam satu lho.”

“Dua rius,” jawabku malas.

“Ridho sama Rani udah gue beliin juga. Dikirim ke rumah lo. Jam segini mereka udah pulang, kan?”

Aku menatap tidak percaya. Dengan cuek, pemuda itu melahap makanannya. Bahkan Alex menyodorkan sepotong daging untukku. Bodohnya, aku menurut saja dan menerima suapannya.

Hmmm, ini lezat. Gurih. Manis dan beraroma wijen.

“Enak, kan?” tanyanya dengan mulut penuh.

Aku mengangguk, kemudian mengerjap menyadari pernyataan tadi. Alex membelikan makanan yang sama untuk kedua adikku.

“Seriusan lo kirim makanan yang sama ke rumah?” tanyaku untuk meyakinkan.

Pemuda itu merogoh kantongnya dan memperlihatkan secarik kertas. Di sana tertulis alamat lengkap rumahku sebagai alamat penerima dua porsi makanan dari gerai yang sama.

“Sekarang lo udah bisa makan. Atau sengaja minta gue suapin? Belum jadi pengantin udah mau suap-suapan melulu.”

Aku berdecak melihat Alex yang tersenyum geli. Dia senang sekali menggodaku. Matanya terus saja menatapku dalam. Membuat pipi mulai menghangat karena terus saja diperhatikan.

“Enak,” gumamku setelah menyuapkan daging beraroma wijen tersebut. Udang tepungnya pun lezat. Gurih. Empuk di dalam dan renyah di luar. Benar-benar perpaduan yang pas.

“Ini namanya Beef Yakiniku, dan ini Ebi Furai. Next time gue ajak langsung ke tempatnya.”

“Bareng Ridho sama Rani?”

“Iya, sama adik-adik lo.”

Aku tersenyum tipis membayangkan Ridho dan Rani yang semringah ketika diajak ke tempat itu. Mereka pasti sangat antusias dan senang.

Hei. Kenapa obrolan kami jadi hangat seperti ini. Aku dan Alex seperti sepasang kekasih yang sedang membahas libur akhir pekan.

Aku mengangkat bahu. Tidak peduli dengan hubungan apa yang sedang aku dan Alex jalani. Selama pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, aku santai saja kalau harus berduaan seperti ini.

Dalam waktu beberapa menit, semua makanan tandas. Teh kemasan kotak dingin menjadi penutup makan siang kali ini. Punya teman orang kaya ternyata menyenangkan. Bisa makan lengkap dan lezat.

Baru saja membereskan bekas makan, aku dibuat terkejut dengan kelakuan Alex. Pemuda ini mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibirku. “Lo kayak anak kecil, makan aja belepotan gini,” ujarnya lembut.

Astaga! Jantungku langsung berdetak kencang. Kata-kata ketus yang selalu keluar sebagai tanda protes, kini menghilang entah ke mana.

“Suka sama makan siangnya?” tanya Alex. Lagi-lagi aku bertingkah seperti orang linglung, hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

“Tiap istirahat gue bakal beliin buat lo. Kita makan sama-sama di sini.”

Aku hanya bisa melongo mendengar pernyataannya.

Ha! Yang benar saja? Makan makanan ini setiap hari. Dan gue yakin dia juga bakal belikan juga buat kedua adikku. Serius? Memang uang jajan Alex berapa banyak?

“Gue punya usaha sendiri, Ra. Jadi lo gak usah khawatir.” Jawaban Alex seperti tahu kegelisahanku.

“Gak perlu tiap hari, nanti gue kaget makan enak terus. Ya udah makasih buat makan siangnya. Udah beres, kan, gue balik ke kelas, ya,” ujarku dengan suara lembut.

“Tunggu dulu.” Tangan Alex mencekal lenganku.

“Apa? Lo gak mau minta bayaran, kan, untuk makan spesial kali ini,” ujarku panik. Alex, kan, begitu. Kebaikannya sering kali terselubung.

Pemuda itu tertawa lepas. Dia sampai menggeleng pelan.

“Kali ini gratis, Ra. Gue gak akan pungut biaya atau bunga buat makan siang ini. Utang lo udah cukup banyak. Gue gak tega kalau yang ini juga dimasukkan ke bon.”

Sialan. Aku melemparkan tatapan tajam.

“Terus apa lagi? Jangan bilang minta kita jalan bareng sampe kelas sambil gandengan tangan. Ewh. Gak banget. Gue gak mau seluruh kelas menganggap kita pacaran.”

“Memang kenapa kalau mereka tau hubungan kita? Cewek lain ngincer gue loh, Ra. Mereka bahkan rela gue jadiin perempuan satu malam.”

“Itu dia, gue gak mau cari musuh.”

“Lagian telat juga. Lo kira dari tadi kita gak jadi bahan pembicaraan yang lain.” Alex menunjuk dengan dagunya. Aku mendesah pelan saat menyadari siswa di kantin yang saat ini sedang memperhatikan kami.

“Ya udah cepetan mau ngomong apa?”

“Duduk dulu.” Alex kembali menarikku untuk duduk di sebelahnya.

“Gue udah nemu jadwal pernikahan kita. Dua Minggu lagi. Gue udah siapin penghulu dan saksi. Gue butuh saksi dari lo. Jadi, kalau ada apa-apa, ada pihak lo yang tau tentang pernikahan kita.”

Tubuhku menegang seketika. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Pernikahan? Dua Minggu lagi?

Ya Tuhan. Alex serius degan ucapannya yang mau menikahiku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status