Share

Bab 6 Tak Bisa Menolak

“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.” 

“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.” 

“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.

“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—” 

Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar. 

“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?” 

Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.

“Sebagai hukuman, sekarang lo suapin gue.” 

“Apaan! Kayak anak bayi aja.”

“Pakai tangan kamu langsung, gak usah pakai sendok.” Alex tidak memedulikan protesku sedikit pun. Tak ingin membantah, aku beranjak ke belakang untuk mencuci tangan. Kali ini aku tidak ingin membuatnya marah lagi. Hatiku ciut melihat tatapan dinginnya saat menyambutku tadi.

Tangan sedikit bergetar saat menyuapkan makanan ke mulutnya. Herannya pemuda itu tampak santai.  

“Seharusnya lo gak bertingkah seperti tadi. Lo tau, betapa kecewanya adik-adik lo saat membuka pintu dan ngelihat gue yang datang, bukan lo. Pasti mereka udah kelaparan. Memang lo gak pernah masak sampe harus nungguin nasi pemberian dari warung.” 

“Masak, tapi hanya cukup buat sarapan.” 

“Ck, gue gak nyangka kalau lo semiskin itu. Utang banyak, makan susah, tapi sok-sokan jual mahal.” 

Aku melotot tajam. Perasaan bersalah yang tadi sempat hinggap kini berganti kesal. Dasar sombong! Mentang-mentang anak orang kaya seenaknya saja menghina. 

“Gak semua orang dilahirkan dengan keberuntungan seperti lo. Banyak uang, bisa makan makanan mewah. Jalan sana-sini. Gak perlu kerja dulu hanya demi sesuap nasi. Tinggal minta, semua langsung diberikan orang tua.” 

“Gue emang bisa minta sama nyokap, tapi perlu lo tau, uang yang gue pake buat bayar utang lo semua murni uang gue. Dari usaha gue sendiri.”

Aku tercengang. Tidak percaya dengan penuturan pemuda di depanku. Seratus juta? Dari mana Alex mendapat uang sebanyak itu kalau bukan minta dari orang tuanya. 

“Aaa, lo juga harus makan. Lo bilang tadi pusing, kan?” Alex menyodorkan tangannya yang sudah berisi nasi yang diambilnya dari piring di pangkuanku.

Aku menggeleng. Risih harus menerima suapannya. Kenapa tingkahnya jadi kayak pengantin baru seperti ini. Makan sepiring berdua. Suap-suapan. Uuuunch banget. 

“Ra, buka mulutnya,” ujarnya lembut. Matanya menatap hangat seolah membujukku untuk menurut. Ragu-ragu aku pun membuka mulut. Alex tersenyum tipis saat tangannya sukses menyuapkan nasi. Tanpa bisa dicegah, pipiku terasa hangat oleh sikap manisnya. 

Astaga. Kenapa aku jadi gugup seperti ini? 

Cepat-cepat aku menundukkan wajah untuk menghindari tatapan Alex. 

“Lo gak akan bisa nyuapin kalau nunduk terus gitu.” 

“Ish, lagian lo manja banget makan aja minta suapin!” seruku sambil meletakkan piring ke pangkuannya.

“Hahahahahaha, lagian gue tadi Cuma iseng, eeeh lo-nya nurut aja.” Aku mencubit kesal lengannya. Saat akan beranjak pergi, Alex menahan pergelangan tanganku. 

“Sini dulu, biar gue suapin lo. Tadi katanya pusing, setelah makan baru minum obat.”

Ajaib. Kata-kata Alex seperti hipnotis membuatku kembali duduk dan menerima suapannya begitu saja. Pemuda ini menyuapkan makanan silih berganti untuk diriku dan juga dirinya sendiri. Sampai nasi di piring habis, Alex kembali membuka bungkus nasi yang masih utuh. 

“Cukup, gue kenyang.” Aku menggeleng saat Alex akan menyuapkan kembali makanan.

“Sekali lagi, Ra. Nih tanggung.” 

Aku menghela napas dan kembali membuka mulut. Begitu habis, Alex menyodorkan botol air mineral yang masih penuh. 

“Udah beres makannya, pulang sana!” 

“Gue masih mau di sini.” Pemuda melangkah ke dapur. Tingkahnya seperti tuan rumah. Berjalan ke sana sini seenak jidatnya. 

“Gue mau ke warung, Lex. Lagian lo aneh banget. Enakkan pulang ke rumah lo. Lebih nyaman. Ber-AC. Dan segala fasilitas ada.” 

“Berisik. Lo kalau mau kerja, kerja aja. Gue di rumah sama adek-adek lo.”

Mataku menyipit. Mencoba menebak apa yang direncanakan pemuda di hadapanku ini. 

“Gue gak akan macam-macam.” 

“Yakin, sikap baik lo mencurigakan. Dateng bawa makanan. Bersikap manis sama adek-adek gue. Jangan aneh-aneh Lex. Gue gak mau lo melibatkan Ridho dan Rani.” 

“Berisik lo, udah sana kerja. Gue numpang tidur di kamar lo.” 

Aku mengikuti langkah Alex yang memasuki kamar. Benar saja, pemuda langsung menjatuhkan badannya di kasur tipis yang sama sekali tidak empuk. 

“Napa? Lo berubah pikiran? Mau kita lakuin itu sekarang?” Alex menyeringai dan kembali bangkit. 

“Ish, apaan sih? Ogah. Gue gak mau tidur sama lo. Besok gue datengin Juragan Jaka buat balikin uangnya ke lo.” 

“Lo pikir tua bangka itu lebih tertarik sama lo dibanding uang.” Alek tertawa mengejek. 

“Tentu saja. Kita lihat besok. Juragan Jaka pasti mengembalikan uangnya.”

“Brengsek! Lo mau bermain-main sama gue, Ra?” Alex merangsek dan merengkuh pinggangku dengan kasar. 

“Gue gak sudi jadi budak seks, lo. Jadi istri kedua Juragan Jaka jauh lebih terhormat.”

Wajah Alex mengeras. Matanya menatap tajam seolah ingin menerkamku. 

“Tapi gue lebih menghargai jika lo menjual diri dari pada lo hadir ditengah-tengah rumah tangga orang lain.” 

Braaaak! 

Aku tersentak oleh gerakan Alex yang tiba-tiba. Tangannya meninju pintu lemari yang tertempel cermin. Dada berdebar kencang melihat darah mengucur dari buku-buku jarinya. 

“Teteh, gak apa-apa?” Ridho dan Rani berebut masuk ke kamar. Wajah mereka sudah memucat. Pasti mereka takut mendengar keributan yang ditimbulkan Alex barusan. 

Aku menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibir. Meminta kedua adik untuk tidak khawatir dan membiarkanku berdua dengan Alex. 

“Lo bikin adik-adik gue ketakutan, Lex. Lo kenapa, sih? Salah kalau gue memilih jalan hidup gue sendiri?”Aku menarik paksa Alex untuk duduk di tepi ranjang. Emosi pemuda ini sering kali berubah-ubah. Entah apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya. Kalau memang mau membantuku kenapa meminta imbalan. Tapi, kalau memang tidak peduli padaku, kenapa justru muncul di saat-saat aku membutuhkan bantuan. 

Alex meringis saat aku mulai membersihkan darah dan membubuhkan obat merah di tangannya. Dia menurut saat aku memintanya untuk tetap diam selama memasangkan perban di lukanya.

“Jangan jadi istri kedua Juragan Jaka, please!”

Akumengerjap. Untuk sesaat tersentuh oleh tatapan matanya yang sendu. Alex terlihat rapuh, terluka dan menyimpan begitu banyak misteri. Kesan angkuh dan arogan yang biasa ada di wajahnya, kini menghilang entah ke mana.

“Gue gak mau kayak Sarah.” 

“Lo gak perlu jadi seperti Sarah, cukup lakuin itu sama gue.” 

“Gak bisa, Lex. Arwah kedua orang tua gue gak akan tenang jika tau anaknya menjual diri.” 

“Ya udah, kita nikah aja.” 

Hah! Nikah? 

Aku melotot tajam.

Apa tidak salah dengar? 

Ada apa dengan Alex? Dia suka sekali mengucapkan hal-hal di luar nalar. 

“Jangan ngaco deh. Lo kira ini maen-maen.” 

“Siapa yang maen-maen. Gue butuh tubuh lo, sementara lo ingin terbebas dari utang. Impas, kan?” 

“Bukan seperti itu konsep pernikahan, memang lo gak takut masa depan lo ancur karena nikah muda. Kita maaih sekolah. Dan yang paling penting ... gue gak cinta sama lo.”

“Kenapa jadi ngomongin cinta? Lo juga gak cinta sama Juragan Jaka, tapi lo memilih nikah sama dia. Gue gak mau hidup bebas dan sering gonta-ganti cewek. Gue rasa pernikahan jadi solusi tepat.” 

Aku menatap lekat pemuda di hadapanku. Tidak ada keraguan atau pun bercanda di sorort matanya sendu. Alex seperti mengungkapkan kebenaran di hatinya. 

“Mending lo pulang deh. Jangan berpikir macem-macem. Gue minta maaf selalu bikin lo repot. Tapi jangan paksa gue lakuin apa yang lo mau.” 

Aku beranjak dari tempat tidur. Meninggalkan Alex yang masih duduk terpaku. Aku bersiap untuk pergi ke warung. Bu Jamilah pasti sudah menunggu sejak tadi. Semoga tidak ada banyak pelanggan dan membuat wanita itu kerepotan sendiri. 

Namun, baru saja akan berpamitan dengan Ridho dan Rani, Alex kembali menarikku untuk masuk kamar. 

“Keputusan sudah bulat, kita nikah siri, tidak perlu ada yang tau. Cukup aku, kamu, saksi dan juga penghulu yang tau tentang ini.” 

“Hah!” Aku memukul lengan Alex, “Jangan gila, Lex!” 

Cup. 

Alex mengecup bibirku sekilas. “Gue bakal beneran gila kalau biarin lo nikah sama Juragan Jaka. Besok kita bahas ini, gue pulang dulu.” 

Cup.

Lagi, Alex seenaknya mengecup bibirku. Pemuda itu pergi meninggalkanku yang masih berusaha mencerna semua kata-katanya. 

Menikah siri dengan Alexander Wiguna. 

Astaga! Keputusan macam apa ini? 

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status