"Perhatikan,"
Kami berempat mengikuti ucapan Rei yang terdengar misterius serta jahil. Aku tidak tahu apa yang akan anak itu perbuat tapi tampaknya ketiga orang lain yang duduk di meja yang sama denganku ini paham dengan apa yang akan Rei lakukan dengan membawa jus jeruk ku. Karena mereka bertiga cekikikan geli.
"Apa yang akan dia lakukan?" Tanyaku penasaran pada mereka.
Terry tersenyum miring, "Kau ikuti saja katanya. Dia kan menyuruh kita untuk memperhatikannya."
"Yang dikatakan Terry benar, Alana. Kau perhatikan saja tingkah anak tengil itu." Bianca menyambung ucapan Terry. Gadis itu bersidekap dan menatap serius Rei. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti apa kata mereka.
Rei berjalan di antara ramainya murid-murid yang sedang mengantri untuk membeli makanan di jadwal istirahat yang singkat ini. Dia tampak sedang menuju pada seseorang.
<
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai harus berbicara di sini?" Tembakku langsung saat kami sudah berada di atap, dimana tidak akan ada seorangpun yang akan mendengar percakapan kami. Bukan aku yang meminta untuk berbicara di sini, melainkan Lio. Garis wajah Lio mengeras dan membuatku yakin dia sekarang sedang menahan diri untuk tidak berteriak marah. "Kau berteman dengan anak itu?" Suara Lio terdengar dingin ketika memasuki gendang telingaku. Aku sempat gentar karena takut, tapi aku harus tetap terlihat kuat. Aku melipat tangan ku di depan dada, berpura-pura angkuh, "Memangnya ada masalah kalau aku berteman dengannya?" Lio tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan melainkan suara tawa yang terdengar begitu menghina, mengejek, serta merendahkan. "Jadi kau benar-benar b
"Kau mengenal Adelio?"Aku mengalihkan wajahku dari tatapan dinginnya yang menusuk.Panik mulai menyerang ku. Apa yang harus kujawab mengenai pertanyaannya yang terdengar mengintimidasi itu?Aku menarik dan menghembuskan nafasku berulang kali. Tidak, Alana. Di saat seperti ini kau harus tetap tenang.Perlahan kutolehkan wajahku dengan senyuman tipis padanya, "Apa maksudmu, Rei? Aku kan tidak mengingat apapun. Bagaimana bisa aku mengenali laki-laki itu?" Dalihku."Benarkah?"Rei masih tampak mencurigai ku. Tapi aku tidak boleh terlihat gugup."Tentu saja. Bukankah seharusnya aku yang bertanya mengapa kau menyebut-nyebut namaku saat bertengkar dengannya?" Balasku berusaha tenang. Aku sudah mengatur suaraku setenang mungkin, semoga dia tidak curiga. Untung saja aku mengingat itu untuk dijadikan alasa
Suara piring beradu dengan sendok mengisi kekosongan di antara aku dan Lio. Ah, tidak, maksudku di antara aku, Lio, dan Adnan. Ya! Adnan duduk di tengah-tengah kami! Tapi tak apa, aku tak merasa canggung. Malah aku merasa bersyukur karena Adnan ada di antara kami, jadi aku tidak perlu begitu canggung hanya duduk berdua dengan Lio. "Aku sudah selesai," ucap Lio canggung. Dalam hati aku menikmati momen ini. Ada bagusnya dia bersikap seperti ini ketika melihatku di sekolah, pasti dia akan menghindari ku karena terlalu canggung. Adnan masih menatap Lio tajam, mungkin karena itu Lio memalingkan matanya dari Adnan. "Kau mau langsung pulang?" Adnan bertanya dengan nada yang tidak bisa dikatakan ramah. Kalau Adnan bersikap begini, dia benar-benar terlihat seperti kakak yang baik. Hm, tidak cocok. Kuliha
Angin malam yang dingin menusuk kulitku yang hanya memakai kaus dan kardigan tipis. Awan hitam tampak jelas berkumpul menjadi satu di atas sana, pertanda bahwa sebentar lagi akan hujan yang membuatku kini berjalan dengan cepat.Aku mendongak kala mendapati setetes air jatuh dari langit yang mendarat mulus di dahi penuh jerawatku. Lalu disusul dengan tetesan-tetesan air lainnya.Aku memejamkan mata kesal. Ah! Seharusnya aku membawa payung seperti yang disuruh ibuku tadi.Aku berlari secepat mungkin sambil melindungi buku novel yang baru saja kubeli bersamaan dengan hujan yang mulai turun dengan derasnya. Yah, aku tak bisa menghindar jadi seluruh tubuhku dibasahi oleh air. Tapi aku bersyukur karena kini jarakku dengan rumah hanya tinggal sepuluh meter. Setelah sampai di depan pagar, aku menekan password rumahku dan buru-buru membuka pintu rumah.Tetapi aku terdiam di depan pintu. Tanganku yang tadi sudah bersiap untuk membuka pintu,
Ulangan harian yang sangat menguras otak itu telah berakhir.Kalian tahu pelajaran apa itu?Ya! Itu matematika!Rasanya kepalaku selalu berasap bila dihadapkan dengan rumus-rumus matematika yang memusingkan itu. Belum lagi guru yang mengajar di depan suaranya sangat lembek. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.Aku terkejut setengah mati ketika mendapati seseorang menggebrak mejaku. Jantungku berdetak kencang, aku terdiam karena shock. Pelan-pelan kuangkat wajahku dan melihat siapa si penggebrak meja.Aku sangat yakin wajahku semakin memucat mendapati wajah marah Riana sedang menatap tajam ke arah ku.Riana mendesis, “Kau tahu kan apa tugasmu dikelas ini?”Aku mengangguk takut-takut.Aku benar-benar ketakutan! Riana tidak pernah semarah ini sebelumnya, bahkan wajahnya saja sampai memerah menahan emosi. Kalau aku tidak membuat PR miliknya saja sudah dipermalukan, apala
Sesuatu yang terasa basah mengganggu tidurku. Sepertinya ada seseorang yang sedang mengelapku dengan kain basah. Aku membuka mataku perlahan-lahan, awalnya memang sangat berat untuk dibuka tapi tetap aku paksa. Spontan, aku melotot tak percaya melihat apa–maksudku, siapa–yang ada dihadapanku saat ini. Rasa sakit di sekujur tubuh terasa olehku begitu aku membuka mata, tapi tak kuhiraukan karena aku malah beranjak duduk dan menyeret tubuhku ke dinding. "Se-sebentar! Terlalu dekat!" Ujarku dengan panik. Bagaimana aku tidak panik kalau aku sedang berduaan dengan lelaki yang tak kukenal? Di kamarku pula? Yah, aku kenal sih, tapi dia memangnya kenal aku? “Hey, kenapa kau waspada seperti itu kepadaku?” tanya Adnan yang heran dengan tingkahku. "Bukan begitu..." Aku bergumam pelan, entah dia mendengarku atau tidak. &nbs
Bagiku Lio–nama panggilan Adelio–adalah titik balik di hidupku.Masih terbayang jelas di benakku ketika dia menatapku dengan sorot mata dingin, jijik, dan... Yah, intinya yang buruk-buruk."Aku membencimu!"Dan kalimat itu juga pasti akan selalu terputar di otakku ketika mendengar namanya. Bagai lagu yang tak sengaja terputar di radio rusak, berulang-ulang hingga aku ingin menghancurkan segalanya.Lio lah yang membuatku seperti ini. Membenci dan menyalahkan diriku sendiri tanpa sebab. Aku tidak tahu kami akan bertemu di dunia ini."Jawab aku! Kau benar Alana kan?" Lio berteriak membuat lamunanku buyar.Aku beringsut mundur, "Bukan! Aku tidak mengenalmu!"Lio tampak begitu menyedihkan sekarang. Dia seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu pasti, tapi kelihatannya dia tersesat di dunia
Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku.Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa."A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa.Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja."Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?""Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar."Maafkan kami, Alana. Kami minta