Share

BAB 5: "Kakak Menyebalkan"

Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku. 

Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa. 

"A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa. 

Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja. 

"Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?" 

"Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar. 

"Maafkan kami, Alana. Kami minta maaf. Tolong bertahan sebentar lagi." Ibu kembali menangis sambil mengelus wajahku dengan lembut. 

Nafasku yang tinggal satu-satu membuatku semakin lama semakin kehilangan kesadaran. Aku kembali mendengar suara ibu yang berteriak memanggil namaku. 

Aku tidak tahu, yang kutahu hanya rasa sakit yang ada di sekujur tubuhku ini. Rasanya aku tidak sanggup menahan semua rasa sakit ini. Aku hanya ingin tidur saja. 

"Alana?" 

Kubuka mataku saat mendengar panggilan bernada pelan itu. Saat kutolehkan kepalaku dengan cepat, tampaklah wajah Adnan yang cemas sedang menatapku.

"Kakak?" 

Adnan mengangguk, "Ya, ini aku. Apa kau bermimpi buruk?" Tanyanya khawatir. 

Mimpi? 

Aku mendudukkan tubuhku dengan cepat. Saat kugerak-gerakkan tanganku, tidak ada rasa sakit sama sekali seperti tadi. Alat bantu pernapasan juga tidak ada. Apa benar tadi hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya sangat nyata? 

Aku juga melihat ayah dan ibuku. 

"Sepertinya kau bermimpi buruk." Adnan mengambil buah-buahan yang sudah dipotong dan mengarahkannya padaku, "Lebih baik kau makan saja ini." 

Aku tersenyum sungkan, "Aku akan mengambilnya sendiri saat aku ingin, kak." 

Tapi tampaknya Adnan itu orang yang keras kepala. Dia terus mengulurkan tangannya yang memegang buah itu ke mulutku. 

"Makanlah! Aku sudah repot-repot mau menyuapi mu. Bukankah aku terlihat seperti kakak yang baik?" 

Em... Apa semua kakak memang seperti ini? Entah mengapa dia cukup terlihat menyebalkan. Wajah tampannya ternyata tidak bisa menyelamatkan kepribadiannya itu.

"Baiklah..." Dan mau tak mau aku memakan potongan buah apel yang dia suapi padaku. 

Kalau dipikir-pikir kami tidak pernah berbicara semenjak aku masuk rumah sakit ini. Kukira akan sangat canggung bila tinggal berdua dengannya, tapi ternyata tidak begitu.

Disaat aku sibuk mengunyah, Adnan menatapku dengan serius sambil berdehem beberapa kali. 

"A-apa?" Tanyaku sambil menatapnya aneh. 

"Itu... Kau tau kan," Adnan membuka dan menutup mulutnya berulang kali. Dia tampak ragu untuk mengatakan hal yang ingin dia katakan.

Dahiku mengernyit karena bingung sekaligus emosi yang perlahan-lahan datang, "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau belum mengatakannya?" 

"Sifat pemarah mu kembali lagi. Padahal tadi pagi kau menjadi adik yang sangat manis." 

Tanpa dapat kutahan decakan kesal pun keluar dari bibirku, "Kak, tolong langsung saja ke intinya." 

"Kau sangat pemarah untuk ukuran orang sakit." 

Mendengar itu, aku jadi terdiam. Kalau kupikir-pikir, seorang Alana itu marah bisa dihitung dengan jari. Kenapa aku jadi marah-marah seperti ini? Apa sudah waktunya tamu bulanan ku datang? Makanya aku jadi sensitif begini? 

"Jadi ada apa? Apa yang ingin kakak tanyakan?" 

"Kau kenapa bisa pingsan bersama laki-laki tadi?" 

Adnan bertanya dengan nada curiga yang berusaha dia tutupi, tapi percuma, aku tahu kalau dia sedang curiga dan itu membuatku gugup. Kugenggam erat selimutku untuk menyalurkan rasa gugup ini. Aku harus jawab apa?

"B-bagaimana aku bisa tahu? Aku kan lupa ingatan." 

Mata Adnan memicing menatapku, "Tapi agak aneh karena posisi terjatuhmu dan anak itu seperti seolah kalian sudah berbicara sebelum kalian pingsan." 

"Tidak mungkin kalian tidak saling kenal." Lanjutnya lagi dengan nada serius, yang mana itu membuat suasana menjadi tegang. 

"Lagipula jawaban apa yang kakak harapkan dari orang yang lupa ingatan?" 

Aku terdiam sebentar setelah mengatakan kalimat yang meluncur sendirinya dari mulutku. Apa aku memang selalu bisa menjawab begini? 

"Ha! Aku jadi sangsi kalau kau hilang ingatan. Kau bahkan bisa menjawabku dengan lancar. Mana ada orang hilang ingatan bisa berdebat selancar ini." Sarkasnya tajam. 

Aku menggelengkan kepalaku tak habis pikir. Sepertinya dari aku bangun tidur tadi pagi sampai sekarang pria ini selalu mengajakku adu mulut yang tidak berguna. 

Hah... Adnan benar-benar menghancurkan ekspektasi ku tentang seorang kakak. Kukira memiliki seorang kakak–apalagi kakak laki-laki–akan melindungiku dan selalu bersamaku agar aku tidak kesepian. Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau memiliki seorang kakak bisa semenyebalkan ini?!

"Kenapa kau diam saja? Jawab pertanyaan ku tadi, siapa anak laki-laki itu?" 

Dengusan pelan aku keluarkan, "Kenapa kakak sangat penasaran? Aku sendiri saja tidak tahu dia siapa." 

"Kau tahu kan kalau kau tidak akan pernah bisa membohongiku?" 

Kenapa tiba-tiba dia menjadi mengancam ku seperti ini? 

Wajah Adnan berubah menjadi sedikit masam. Dia bersidekap dan menatapku dengan matanya yang tajam itu. 

"Apa kau sudah tahu kalau anak itu mencari dirimu di seluruh rumah sakit ini seperti orang gila?" 

"A-apa?" 

"Dan anak gila itu sudah ada di depan pintu kamar inap mu. Dia menunggu di sana berjam-jam!" 

"T-tapi aku tidak mendengar apapun..." 

"Tentu saja! Karena aku yang menyuruhnya untuk berada di luar." 

Pikiranku mendadak kosong. Lio ada di luar? Mau apa dia? Kalau dia masuk, aku harus berkata apa? Pura-pura tidak kenal dan menyuruhnya agar tidak mengusik ku? Atau katakan saja kami kenal tapi aku ingin hidup masing-masing dan berpura-pura tidak saling kenal? 

Argh! Yang mana pun itu aku tidak ingin berhadapan dengan laki-laki itu sekarang! 

"Hey, Alana? Kenapa wajahmu semakin pucat?" 

Aku menolehkan kepalaku dan menatap Adnan yang juga menatapku khawatir. 

"Tidak apa-apa," 

"Tidak apa-apa apanya?! Suaramu bahkan menjadi lemah." 

Kepalaku yang tadinya sudah membaik kini mendadak kembali berat dan berdenyut nyeri. Ah, sialan. Kalau mendengar nama Lio disebut pasti ini akan terjadi padaku. Apalagi ingatan-ingatan yang sudah lama ku kubur dalam-dalam juga kembali mengapung, memaksaku untuk mengingatnya. Padahal itu adalah kenangan yang menyakitkan.

Aku tidak ingin dihantui bayang-bayang masa lalu seperti ini, aku lelah! 

"Alana! Bertahanlah aku akan memanggil dokter untuk mu." 

Tanganku terulur pada ujung kemeja Adnan, dan itu membuatnya berhenti berjalan keluar kamar.

"Aku..." Tidak apa-apa, aku melakukan ini demi diriku sendiri, "Aku ingin berbicara dengan laki-laki itu." 

Adnan tampak tak setuju. Dia membalikkan tubuhnya dan meletakkan kedua telapak tangannya yang besar itu di samping pipiku, "Tidak, kau tak tampak baik-baik saja. Kita akan menemui dokter terlebih dahulu." 

"Kumohon, kak. Kali ini saja. Tolong turuti aku." 

Helaan nafas panjang Adnan hembuskan. Dia tampak berpikir keras, sampai-sampai ada kerutan di dahinya.

"Baiklah, aku akan mengizinkannya masuk." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status