Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku.
Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa.
"A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa.
Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja.
"Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?"
"Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar.
"Maafkan kami, Alana. Kami minta maaf. Tolong bertahan sebentar lagi." Ibu kembali menangis sambil mengelus wajahku dengan lembut.
Nafasku yang tinggal satu-satu membuatku semakin lama semakin kehilangan kesadaran. Aku kembali mendengar suara ibu yang berteriak memanggil namaku.
Aku tidak tahu, yang kutahu hanya rasa sakit yang ada di sekujur tubuhku ini. Rasanya aku tidak sanggup menahan semua rasa sakit ini. Aku hanya ingin tidur saja.
"Alana?"
Kubuka mataku saat mendengar panggilan bernada pelan itu. Saat kutolehkan kepalaku dengan cepat, tampaklah wajah Adnan yang cemas sedang menatapku.
"Kakak?"
Adnan mengangguk, "Ya, ini aku. Apa kau bermimpi buruk?" Tanyanya khawatir.
Mimpi?
Aku mendudukkan tubuhku dengan cepat. Saat kugerak-gerakkan tanganku, tidak ada rasa sakit sama sekali seperti tadi. Alat bantu pernapasan juga tidak ada. Apa benar tadi hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya sangat nyata?
Aku juga melihat ayah dan ibuku.
"Sepertinya kau bermimpi buruk." Adnan mengambil buah-buahan yang sudah dipotong dan mengarahkannya padaku, "Lebih baik kau makan saja ini."
Aku tersenyum sungkan, "Aku akan mengambilnya sendiri saat aku ingin, kak."
Tapi tampaknya Adnan itu orang yang keras kepala. Dia terus mengulurkan tangannya yang memegang buah itu ke mulutku.
"Makanlah! Aku sudah repot-repot mau menyuapi mu. Bukankah aku terlihat seperti kakak yang baik?"
Em... Apa semua kakak memang seperti ini? Entah mengapa dia cukup terlihat menyebalkan. Wajah tampannya ternyata tidak bisa menyelamatkan kepribadiannya itu.
"Baiklah..." Dan mau tak mau aku memakan potongan buah apel yang dia suapi padaku.
Kalau dipikir-pikir kami tidak pernah berbicara semenjak aku masuk rumah sakit ini. Kukira akan sangat canggung bila tinggal berdua dengannya, tapi ternyata tidak begitu.
Disaat aku sibuk mengunyah, Adnan menatapku dengan serius sambil berdehem beberapa kali.
"A-apa?" Tanyaku sambil menatapnya aneh.
"Itu... Kau tau kan," Adnan membuka dan menutup mulutnya berulang kali. Dia tampak ragu untuk mengatakan hal yang ingin dia katakan.
Dahiku mengernyit karena bingung sekaligus emosi yang perlahan-lahan datang, "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau belum mengatakannya?"
"Sifat pemarah mu kembali lagi. Padahal tadi pagi kau menjadi adik yang sangat manis."
Tanpa dapat kutahan decakan kesal pun keluar dari bibirku, "Kak, tolong langsung saja ke intinya."
"Kau sangat pemarah untuk ukuran orang sakit."
Mendengar itu, aku jadi terdiam. Kalau kupikir-pikir, seorang Alana itu marah bisa dihitung dengan jari. Kenapa aku jadi marah-marah seperti ini? Apa sudah waktunya tamu bulanan ku datang? Makanya aku jadi sensitif begini?
"Jadi ada apa? Apa yang ingin kakak tanyakan?"
"Kau kenapa bisa pingsan bersama laki-laki tadi?"
Adnan bertanya dengan nada curiga yang berusaha dia tutupi, tapi percuma, aku tahu kalau dia sedang curiga dan itu membuatku gugup. Kugenggam erat selimutku untuk menyalurkan rasa gugup ini. Aku harus jawab apa?
"B-bagaimana aku bisa tahu? Aku kan lupa ingatan."
Mata Adnan memicing menatapku, "Tapi agak aneh karena posisi terjatuhmu dan anak itu seperti seolah kalian sudah berbicara sebelum kalian pingsan."
"Tidak mungkin kalian tidak saling kenal." Lanjutnya lagi dengan nada serius, yang mana itu membuat suasana menjadi tegang.
"Lagipula jawaban apa yang kakak harapkan dari orang yang lupa ingatan?"
Aku terdiam sebentar setelah mengatakan kalimat yang meluncur sendirinya dari mulutku. Apa aku memang selalu bisa menjawab begini?
"Ha! Aku jadi sangsi kalau kau hilang ingatan. Kau bahkan bisa menjawabku dengan lancar. Mana ada orang hilang ingatan bisa berdebat selancar ini." Sarkasnya tajam.
Aku menggelengkan kepalaku tak habis pikir. Sepertinya dari aku bangun tidur tadi pagi sampai sekarang pria ini selalu mengajakku adu mulut yang tidak berguna.
Hah... Adnan benar-benar menghancurkan ekspektasi ku tentang seorang kakak. Kukira memiliki seorang kakak–apalagi kakak laki-laki–akan melindungiku dan selalu bersamaku agar aku tidak kesepian. Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau memiliki seorang kakak bisa semenyebalkan ini?!
"Kenapa kau diam saja? Jawab pertanyaan ku tadi, siapa anak laki-laki itu?"
Dengusan pelan aku keluarkan, "Kenapa kakak sangat penasaran? Aku sendiri saja tidak tahu dia siapa."
"Kau tahu kan kalau kau tidak akan pernah bisa membohongiku?"
Kenapa tiba-tiba dia menjadi mengancam ku seperti ini?
Wajah Adnan berubah menjadi sedikit masam. Dia bersidekap dan menatapku dengan matanya yang tajam itu.
"Apa kau sudah tahu kalau anak itu mencari dirimu di seluruh rumah sakit ini seperti orang gila?"
"A-apa?"
"Dan anak gila itu sudah ada di depan pintu kamar inap mu. Dia menunggu di sana berjam-jam!"
"T-tapi aku tidak mendengar apapun..."
"Tentu saja! Karena aku yang menyuruhnya untuk berada di luar."
Pikiranku mendadak kosong. Lio ada di luar? Mau apa dia? Kalau dia masuk, aku harus berkata apa? Pura-pura tidak kenal dan menyuruhnya agar tidak mengusik ku? Atau katakan saja kami kenal tapi aku ingin hidup masing-masing dan berpura-pura tidak saling kenal?
Argh! Yang mana pun itu aku tidak ingin berhadapan dengan laki-laki itu sekarang!
"Hey, Alana? Kenapa wajahmu semakin pucat?"
Aku menolehkan kepalaku dan menatap Adnan yang juga menatapku khawatir.
"Tidak apa-apa,"
"Tidak apa-apa apanya?! Suaramu bahkan menjadi lemah."
Kepalaku yang tadinya sudah membaik kini mendadak kembali berat dan berdenyut nyeri. Ah, sialan. Kalau mendengar nama Lio disebut pasti ini akan terjadi padaku. Apalagi ingatan-ingatan yang sudah lama ku kubur dalam-dalam juga kembali mengapung, memaksaku untuk mengingatnya. Padahal itu adalah kenangan yang menyakitkan.
Aku tidak ingin dihantui bayang-bayang masa lalu seperti ini, aku lelah!
"Alana! Bertahanlah aku akan memanggil dokter untuk mu."
Tanganku terulur pada ujung kemeja Adnan, dan itu membuatnya berhenti berjalan keluar kamar.
"Aku..." Tidak apa-apa, aku melakukan ini demi diriku sendiri, "Aku ingin berbicara dengan laki-laki itu."
Adnan tampak tak setuju. Dia membalikkan tubuhnya dan meletakkan kedua telapak tangannya yang besar itu di samping pipiku, "Tidak, kau tak tampak baik-baik saja. Kita akan menemui dokter terlebih dahulu."
"Kumohon, kak. Kali ini saja. Tolong turuti aku."
Helaan nafas panjang Adnan hembuskan. Dia tampak berpikir keras, sampai-sampai ada kerutan di dahinya.
"Baiklah, aku akan mengizinkannya masuk."
Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar."Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?!"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan.Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku?Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.
Adnan tidak kembali ke kamar inap ku, bahkan ketika malam sudah berganti menjadi pagi. Apa dia semarah itu kepadaku?Ya, suasana di kamar inap ini semakin sepi tanpa ada dirinya. Karena dia yang selalu mengoceh di antara canggungnya suasana keluarga ini karena aku."Kau bertengkar ya dengan kakakmu?"Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu dari ibu–maksudku bibi, membuatku terkejut. Pantas saja sedari tadi dia menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan dan penasaran, ternyata ada yang ingin dia tanyakan."Tidak, kok!" Elak ku dengan cepat.Ibu, ah maksudku bibi–ini karena aku terbiasa memanggilnya ibu, tapi kalau aku memanggilnya bibi pasti dia akan langsung murung–tersenyum miring, "Kalian bertengkar karena apa?""Kubilang kami tidak bertengkar." Kurasa inilah yang dimaksud dengan insting tajam seorang ibu, meskipun aku bukan an
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia
Aku tidak bisa fokus selama proses pembelajaran. Bukan hanya karena banyak pelajaran yang harus kukejar, tetapi juga Lio yang ternyata sekelas denganku.Helaan nafas panjang kuhembuskan. Cobaan macam apa lagi ini? Tak ku sangka kehidupan ku sebagai Alana dari dalam novel sebercanda ini."Alana? Kenapa kau melamun?"Aku mengerjapkan mataku cepat dan langsung menoleh ke sumber suara, "Ah? Maaf. Kau bilang apa?"Hah... Lagi-lagi aku melamun."Kau ingin makan apa? Biar aku pesankan dan kau yang menjaga meja." Yunna mengulang ucapannya sambil menunjuk pintu kantin.Kami berdua sedang berjalan menuju kantin, karena memang sudah waktunya untuk istirahat pertama."Aku ingin minum jus jeruk saja." Kataku kemudian menyerahkan uang pada Yunna.Yunna mengangguk mengerti, "Baiklah, t
"Perhatikan,"Kami berempat mengikuti ucapan Rei yang terdengar misterius serta jahil. Aku tidak tahu apa yang akan anak itu perbuat tapi tampaknya ketiga orang lain yang duduk di meja yang sama denganku ini paham dengan apa yang akan Rei lakukan dengan membawa jus jeruk ku. Karena mereka bertiga cekikikan geli."Apa yang akan dia lakukan?" Tanyaku penasaran pada mereka.Terry tersenyum miring, "Kau ikuti saja katanya. Dia kan menyuruh kita untuk memperhatikannya.""Yang dikatakan Terry benar, Alana. Kau perhatikan saja tingkah anak tengil itu." Bianca menyambung ucapan Terry. Gadis itu bersidekap dan menatap serius Rei. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti apa kata mereka.Rei berjalan di antara ramainya murid-murid yang sedang mengantri untuk membeli makanan di jadwal istirahat yang singkat ini. Dia tampak sedang menuju pada seseorang.