Baru kali ini rasanya Kamila membawa uang jajan senilai 10 juta. Selama ini, sebagai pekerja buruh di pabrik, dia harus menunggu selama 3 bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Uang gajinya tak pernah tersisa. Bahkan selalu saja kurang. Kamila selalu mencari pekerjaan tambahan, untuk memenuhi sisa-sisa kebutuhan. Menikah dengan Daffa membuatnya terpaksa harus berhenti menjadi pekerja buruh pabrik. Tapi jika boleh memilih, Kamila lebih baik menjadi pekerja buruh daripada harus terpaksa menikah dengan Daffa—pria dingin yang penuh misteri. Tapi ya sudah. Semua telah terjadi, Kamila harus belajar menghadapi setiap tantangan baru dalam hidupnya. Ketika mentari mulai turun ke ufuk Barat, Kamila sudah berada di depan sebuah kantor showroom mobil. Gadis berkulit putih itu akan menemui Galang di sana. "Galang!" Kamila memanggil kekasihnya. Ia segera mendekati Galang yang mulai menjauh saat menyadari kedatangannya. "Tunggu, Galang!" Akan tetapi, Galang malah mempercepat langkahnya m
"Apa yang kamu lakukan? ini sudah larut malam? Ngapain kamu teriak-teriak?" Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa tak langsung membuat Kamila tersadar. Wanita itu terlihat linglung.Kamila malah terlihat menelaah Daffa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyatanya, Daffa masih duduk di kursi roda. Kedua kakinya masih tak mampu untuk berjalan. "Kamu bohong ya? Bukannya tadi kamu bisa berjalan?" Kamila malah berbalik tanya kepada Daffa. Melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Apa yang kamu pikirkan, Kamila? Kalau aku bisa berjalan, tak mungkin kekasihku pergi meninggalkanku. Teriakanmu telah mengganggu tidurku!" sentak Daffa.Kamila mematung. Dia melihat Daffa memutar kursi rodanya, kembali ke tempat tidur.Kursi roda Daffa memang terlihat otomatis. Bisa diatur melalui remote control. Kamila melihat, dapat kembali tidur di atas kasur empuknya. Sementara dia masih saja mematung sambil menepuk pelan kedua pipinya. "Jadi aku hanya mimpi?" Kamila bertanya pada dirinya sendi
Apa!Kamila terkejut. Bersamaan dengan itu, air mata yang sempat dibendung akhirnya merembes, membasahi pipinya yang mulus."Tolong ampuni. Aku benar-benar belum siap. Kita tidak saling mengenal, aku tidak bisa melakukan—" kalimat Kamila tersendat. Bibirnya gemetar, tak sanggup menyelesaikan ucapannya."Memangnya kamu pikir kita akan melakukan apa?" potong Daffa.Kamila mendongak. "Malam pertama adalah HB (hubungan badan) 'kan?" tanyanya sambil terisak.Daffa terlihat memutar bola mata, mendendengus kesal. "Kamu pikir Aku mau melakukan HB denganmu? Menjijikan!" "Memangnya apalagi selain itu?" Kamila menjadi tak paham. "Tugas seorang istri bukan hanya sekedar HB bersama suaminya. Tugas istri adalah, melayani keinginan suaminya. Mengurus suaminya. Tapi aku tidak ingin HB denganmu. Aku tidak akan pernah berhubungan badan dengan wanita yang tak aku cintai, termasuk kamu!" tegas Daffa.Kamila menyeringai. Nafasnya yang sempat tersengal di tenggorokan seketika menjadi lancar. Ia segera me
"Jangan menangis! Kau pikir ini keinginanku?!" Pria di sebelah Kamila membentak. Dia adalah Daffa Azriel, terlihat melayangkan tatapan dingin kepada Kamila.Kamila segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. Ia segera menelan rasa sakit di dalam dada. Segera mengatur nafas yang tersengal di tenggorokan."Kalau bukan karena gara-gara kamu, kekasihku tidak akan pernah pergi meninggalkanku!" Daffa Azriel kembali membentak.Sontak Kamila mendongak terkejut. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Apa! Gara-gara aku?" Dia bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada pria di sampingnya. "Jangan pura-pura tidak paham. Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu!"Kamila menghela nafas berat. Dia memang tidak paham dengan ucapan pria yang kini telah menjadi suaminya itu.Hingga pada malam tiba. Kamila yang kini duduk di meja rias, segera mencopot semua pernak-pernik yang menempel di kepala. Gaun pengantin yang melilit tubuh indahnya, segera diganti dengan setelan kaos dan celana j
Pukul 03.00 sore. Kamila Adelia baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja sebagai buruh di pabrik makanan. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sore ini sebelum maghrib tiba, Kamila ada janji bertemu dengan calon tunangannya di alun-alun kota. Tapi ketika baru saja dia keluar dari kamar mandi, Kamila mendengar suara tangisan dari kamar sang adik tiri. "Huaaa..." Suara tangisan dari kamar adik tiri Kamila semakin keras terdengar di telinga. Kamila penasaran. Wanita berambut pendek itu segera menempelkan telinganya pada pintu kamar. "Aku tidak mau menikah dengan orang itu, Ma. Aku 'kan tidak sengaja menabraknya. Aku tidak bersalah." Suara Melia Agustin terisak dari dalam kamar. "Tenang saja, semua pasti akan baik-baik saja." Ibu Melia terdengar menenangkan. Sementara Kamila, telinganya masih saja menempel pada pintu. Di waktu yang bersamaan, pintu dibuka dari dalam, Kamila hilang keseimbangan sehingga tubuhnya terdorong masuk ke da