LOGINRegan sudah berangkat ke kantor keesokan harinya, sementara semalam, Bella tentu tidak mengizinkan Regan tidur sekamar dengannya.
Sekarang Bella sedang merencanakan pergi dari sana, mempelajari identitas Bella asli, tempat kuliah, dan kehidupannya yang lain. Saat ia sudah yakin dengan itu, ia kemudian menata semua pakaiannya yang tidak seksi, lalu memasukkannya ke dalam koper, dan semua barang yang sekiranya penting. Planning pertama, ia akan mencari kos-kosan murah di lokasi yang sama seperti tempat tinggalnya di dunia nyata. Ia berjalan menyusuri gang setelah turun dari Taxi, dan menyeret kopernya mencari lokasi tempatnya tinggal di dunia nyata. Namun sayang, ia tak menemukan itu. Di dunia fiksi itu, Jakarta sudah seperti masa depan. Lingkungan kumuhnya seperti lingkungan kumuh di Jepang atau Korea, tidak penuh dengan sampah atau got berwarna hitam yang mengaliri selokan-selokan kecil, dan aromanya yang bikin orang kaya mual saat lewat. Sepertinya, itulah salah satu yang bisa ia syukuri sekarang. Penampilannya sekarang, ia menyanggul rambutnya, memakai kemeja putih, celana training hitam bergaris putih, sepatu flat putih, topi hitam dan masker hitam. Ia agak kesulitan beraktivitas karena kuku extension milik Bella, karena Mila bahkan tak pernah memakai hal yang mempersulit dirinya sendiri sebagai rakyat jelata. Jadi sekarang, ia agak kesulitan memencet tombol-tombol di HP-nya yang harganya hampir 50 juta. Di HP itu, Bella memiliki saldo 600 juta, yang bahkan seorang Milla tidak pernah membayangkan bisa memiliki uang sebanyak itu. Ia lalu masuk ke salah satu gedung apartemen, menyewa satu kamar selama tiga bulan dengan harga sewa Rp 1.700.000 perbulan. Setelah ia mendapat kamar, ia merapihkan barang-barangnya dan berpikir untuk mencari pekerjaan, lalu memutus hubungannya dengan Regan. Kalau diingat-ingat, ia hanya tau kalau Regan itu pria kaya karena di novel tidak ditulis secara rinci. Wajahnya cukup awet muda untuk ukuran bule sebenarnya, ia kira masih berusia 27 tahun, ternyata 37 tahun. Saat ia selesai bersih-bersih, termasuk melepas semua extension-extension yang ada di tubuh Bella, ia mendapat chat dari teman Bella asli. Di sana temannya yang bernama Kelly memberitahunya kalau ada Kuis besok, itu bocoran darinya karena Kelly adalah Sugar Baby dari dosen mata kuliah tersebut. Bella merasa jijik dengan Bella asli, bagaimana bisa circle-nya Setan semua? Apalagi Dosennya itu sudah beristri dan beranak. Pantas saja Bella asli seperti itu, circle-nya berisi wanita gatal. Dalam cerita asli, kenapa tokoh utama wanita alias Sheryl tak menyukainya, karena Bella tidak tahu diri. Sudahlah Sugar Baby alias peliharaan Pamannya, tapi Bella sangat percaya diri seolah ia adalah istri dari Regan, makanya Sheryl ingin menyingkirkannya. Terlepas dari itu, sepertinya Bella harus memperbaiki hidup Bella asli. Ia tak ingin terus-terusan jadi wanita murahan, bodoh dan isinya cuma bersenang-senang dengan uang panas. Masalah berikutnya, Bella asli masuk jurusan kuliah berbeda dari Mila. Bella masuk ke Ekonomi Bisnis, dan Mila masuk ke Jurusan IT. Kesenjangan Jurusan yang sangat jauh. Namun sebagai anak IT, ia setidaknya punya satu kelebihan, yakni agak pintar dengan IQ 108, termasuk normal. Tidak seperti Bella yang punya IQ hanya 80. Perbedaan yang sangat jauh sekali, pantas Bella asli hanya tau caranya membuka kaki untuk digauli pria kaya, daripada berpikir untuk mencari uang dengan jalur yang baik dan cerdas dalam bertahan hidup. Detik berikutnya, saat ia sedang membuka modul mata kuliah milik Bella asli, Regan menelponnya. Tentu tidak ia angkat, ia sedang kabur. Dan sebelum ia mematikan HP-nya, Regan mengirim pesan suara. "Kenapa kamu pergi dari apartemen?" tanya Regan di Voice Note. Ia ingin menutup HP-nya lagi, tapi pesan suara kembali masuk. "Aku kasih waktu kamu buat sendirian selama seminggu, setelah itu jangan berulah lagi. Ingat, kita masih punya kontrak." Kata-kata terakhir jelas menghantam pikiran Bella, itu fakta dan ia tak bisa kabur karenanya. "Mampus!" . Di sisi lain, Regan duduk di salah satu sofa yang ada di Diskotik. Setelah meeting di cafe sebelah, ia dan teman bisnisnya itu pindah ke Diskotik--tempat nongkrongnya bersama gengnya. Ronald yang habis meeting dengannya itu menatap sahabatnya dengan malas. "Udahlah, ngapain lo mikirin peliharaan lo yang jelas-jelas gak guna lagi?" tanyanya. Sudah biasa bagi para orang tanir melintir memiliki simpanan, baik yang sudah menikah ataupun belum. Baik yang perempuan maupun laki-laki, sepertinya sudah bukan rahasia lagi. Apalagi yang laki-laki, sangat biasa mereka punya beberapa peliharaan. Jadi pembicaraan soal simpanan adalah hal remeh bagi mereka, dan mereka menikmati hal itu sebagai mainan saja. "Gue cariin yang baru, mau? Yang persis dan lebih seksi dari dia, dijamin ori, belum jebol!" lanjut Ronald. Regan tersenyum tipis, "Terserah lo." Ia dan Bella sudah menjalin hubungan kontrak itu selama setahun lebih 7 bulan, dan masih memiliki kontrak selama 5 bulan. Harusnya mencari yang baru, bukan masalah bagi Regan, jadi ia menurut saja saat temannya menawari yang lain. Namun, masalah lain muncul saat ia akan menyentuh perempuan yang ditawarkan oleh Ronald. Ia tak bisa menyentuhnya, otaknya diisi oleh bayangan tentang Bella yang menangis tadi pagi. "Gak mungkin kan, gue suka sama dia?" ••• Regan tak tahan, ia memerintahkan orang untuk menangkap Bella dan membawanya kembali ke Apartemen. Ia tak bisa tidak melihat Bella di dalam jangkauannya, bisa saha Bella benar-benar pegi jauh kalau dibiarkan di luar. Bella sendiri sudah pasrah, ia membiarkan dirinya dibawa kembali ke apartemen. Memberontak pun tidak akan mengubah apapun. Ia sudah terjebak di situasi ini sejak awal.Jangan lupa masukin ke dalam perpustakaan ya, biar dapet notifikasi update buku ini♡´・ᴗ・`♡
Pagi itu, desa kecil tempat tinggal Mila berubah menjadi lautan putih. Tenda sederhana dipasang di halaman rumahnya, dihiasi bunga melati dan mawar yang dipetik dari kebun tetangga. Semua orang sibuk, para ibu-ibu desa menyiapkan hidangan, bapak-bapak mengatur kursi, dan anak-anak berlarian bermain dengan gembira. Mila duduk di kamar dengan kebaya putih sederhana, wajahnya dihiasi riasan tipis. Ia terlihat cantik sekali, tapi matanya terus berkaca-kaca. “Tenang, Nak. Jangan gemetar begitu. Semua akan baik-baik saja,” kata ibunya sambil menggenggam tangan Mila. Di luar, Deva sudah siap dengan beskap putih dan peci hitam. Jantungnya berdebar kencang. Ia melihat wali dari Mila--paman dari pihak ayah sudah menyiapkan kursi dan meja akad. Warga desa pun sudah berkumpul, penuh rasa penasaran. Akhirnya, prosesi dimulai. Penghulu membuka acara dengan suara khidmat. Deva duduk di kursi akad, di sampingnya ada Paman Agus--wali Mila. “Ijab kabul akan segera dilakukan. Saudara Deva Arkan
"Pih, izinkan aku menikahi Mila." Hari itu, Deva berdiri tegap di hadapan ayahnya. Jantungnya berdebar, seakan setiap detik berjalan lambat. Mila di sampingnya, terlihat menunduk dengan tangan yang dingin. Ia memegang erat jemari Deva, seakan itu satu-satunya kekuatan yang bisa membuatnya tidak goyah. Deva yakin hari ini akan menjadi hari paling berat dalam hidupnya. Ia sudah membayangkan wajah sang ayah, Teo, yang penuh amarah, penuh gengsi, menolak mentah-mentah permintaannya untuk menikahi Mila. Namun, siapa sangka jawaban yang datang justru mengejutkannya. Teo duduk di kursi empuk ruang kerjanya, menyilangkan kaki, tatapannya tajam namun tenang. “Papi tidak menolak hubungan kalian.” Deva menahan napas. Mila pun langsung mengangkat wajahnya dengan mata membesar. “Tapi…” lanjut Teo, suaranya berat. “Kalau kamu benar-benar ingin menikahi gadis ini, dia harus siap menjadi pendampingmu. Tidak hanya sekadar istri yang duduk manis di rumah.” Deva merasakan dadanya menegang.
Deva berdiri mematung di lorong rumah. Punggungnya merapat pada dinding dingin, napasnya memburu. Kata-kata ibunya masih terlintas jelas di telinganya. "Kamu kira kamu beda jauh dari Deva? Bahkan saat kamu sudah punya aku sebagai istri, kamu tetap mengejar wanita yang kamu cintai kan? Jangan sok suci! Biarkan Deva memilih, daripada menikahi orang yang tidak ia cintai, lalu mencampakkannya seperti kamu padaku." Deg. Itu adalah kali pertama Deva mendengar Imelda benar-benar melawan Teo. Selama ini, yang ia tahu, ibunya hanyalah sosok anggun, kalem, dan selalu menjaga kehormatan keluarga. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan bahwa wanita yang ia kagumi itu menyimpan luka begitu dalam. Suara ibunya bergetar, penuh luka. “Hampir empat puluh tahun kita bersama, dan aku hidup denganmu hanya sebagai pajangan. Kamu tidak pernah menanyakan perasaanku saat kamu bahagia dengan wanita lain, sementara aku kesepian sampai akhir. Saat ini aku sudah tidak peduli lagi, tapi tolong jangan ego
Udara siang itu terasa berbeda bagi Deva. Tidak hanya karena sinar lampu sorot yang menyorot tajam di atas panggung kecil, tapi juga karena beratnya keputusan yang sebentar lagi ia dan Keyla akan umumkan. Di aula besar perusahaan baru yang akan diluncurkan hari itu, tamu undangan sudah ramai berdatangan. Wajah-wajah familiar dari para rekan bisnis, pejabat daerah, hingga media memenuhi ruangan. Balon-balon silver dan putih menghiasi dinding, sementara pita merah besar terbentang di depan pintu masuk kantor pusat perusahaan baru mereka. Deva menatap Keyla di sampingnya. Mereka masih terlihat serasi, sama-sama mengenakan pakaian formal elegan. Senyum profesional terpampang di wajah mereka, seakan semua baik-baik saja. Mereka bahkan bergandengan tangan—seperti pasangan idaman yang hendak meresmikan kerja keras mereka. Namun hanya mereka berdua yang tahu, genggaman itu bukanlah genggaman cinta. Itu genggaman terakhir sebelum mereka melepaskan peran yang selama ini mereka mainkan. "
Ruang rawat itu terlalu putih, terlalu hening, dan terlalu mengintimidasi bagi Mila. Aroma obat-obatan menyeruak tajam begitu ia melangkah masuk bersama Edric. Langkahnya tertahan di ambang pintu, jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena cemas dengan keadaan Deva, melainkan juga karena seseorang yang berdiri tak jauh dari ranjang rumah sakit itu. Wanita itu. Imelda. Ia tampak anggun seperti biasa, mengenakan blus putih sederhana namun berkelas, rambutnya disanggul rapi, dan senyumnya terjaga seolah dunia ini baik-baik saja. Padahal Mila tahu betul, di balik senyum itu tersimpan ancaman yang masih menancap dalam kepalanya. Ancaman agar ia menjauh dari Deva. Ancaman yang membuat Mila beberapa kali menangis sendirian. Langkah Mila melemah, hampir tak mampu mengangkat kakinya untuk masuk lebih jauh. “Masuklah,” bisik Edric, mencoba memberi dorongan halus. Ia sendiri menatap Imelda dengan sorot mata penuh kehati-hatian. Namun berbeda dari perkiraan Mila, Imelda sama sek
Malam itu, angin Jakarta berhembus lembut. Lampu-lampu jalan menyala, menyoroti wajah Mila yang masih tegang. Ia duduk berhadapan dengan Edric di sebuah café kecil dekat kantor. Tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua dan beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Edric diam cukup lama. Tangannya memainkan gelas kopi yang sudah dingin, seakan mencari kata-kata yang tepat. Mila menatapnya dengan waspada, hatinya diliputi rasa penasaran sekaligus cemas. “Jadi… kamu serius waktu itu? Soal Leon?” suara Mila pecah dalam keheningan. Edric menghela napas panjang. Ia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Mila dengan tatapan yang dalam, tak lagi dengan senyum liciknya seperti biasanya. “Aku nggak bercanda, Mila.” ia berhenti sebentar. “Aku memang Leon.” Darah Mila seakan berhenti mengalir. Bibirnya terkatup rapat, jantungnya berdegup keras. “Aku… Leon di dunia novel itu?” ia berbisik, masih berusaha mencerna. Edric—atau Leon—mengangguk pelan. “Aku sendiri baru sadar







