"Bella!"
Regan memanggil Bella saat baru sampai di apartemen milik Sugar Baby-nya itu, tetapi tidak ada yang menjawab. Saat ia bertanya pada pembantu, karanya Bella belum keluar dari kamarnya sejak pulang kuliah. Ia bahkan yang mengntarkan makanan ke dalam kamar. "Memang dia ngapain aja sih?" "Belajar, Tuan." "Belajar? Bella?" Barulah ketika Regan sampai di kamar Bella, ia melihat perempuan itu sedang tidur dengan kepala diletakkan di atas meja belajarnya. Itu pemandangan yang sangat langka baginya, melihat seorang Bella belajar sampai ketidura. Akan tetapi, mungkin akan menjadi pemandangan yang wajar selanjutnya. Ketika ia mendekat dan berusaha untuk memahami situasinya, Bella langsung terbangun dan menatapnya dengan kaget. Biasanya sih, Bela sendiri yang meminta untuk melakukan seks dengan perilakunya yang genit, sangat mudah membangkitkan gairah Regan. Akan tetapi kali ini berbeda, didekati saja sudah seperti ketakutan. Bagaimana mungkin Regan mengajaknya bercinta. "Sayang, tidurnya di kasur ya. Besok leher kamu sakit kalau tidur kayak gitu," ujarnya. Bella terlihat mencoba memahami situasi, kemudian berkata. "Oh maaf." Ia langsung berdiri dan akan menuju kasur, tatkala tangannya ditahan oleh Regan. "Sayang...." Tatapan Regan jelas menggambarkan hal yang mengancam pertahanan Bella, jadi ia segera melepaskan tangannya dan kabur ke luar kamar. "No!" Regan menghela napas berat, "Apa sih yang terjadi padanya?" ••• Cup! "Aku kerja dulu Sayang, tunggu aku pulang ya!" Bella diam saja, ia sangat risih dengan aktivitas physical touch dengan Regan yang dikit-dikit cium bibir. Ia tau kalau Regan bule, tapi kan ia tak terbiasa. Atau saat bersama Bella dulu, seperti itu? Tapi kalau dipikir-pikir profesi Bella sekarang, jelas ciuman bibir hanyalah cemilan saja bagi mereka. Itu Bella, bukan Mila! 'Bagaimana caranya agar aku bisa pergi dari kehidupan Bella yang kotor ini?' batin Bella. Ia menatap kepergian Regan yang terlihat penuh senyum ceria, padahal seingatnya dalam deskripsi novel Sheryl & Alex, Regan adalah pria dominan yang dingin. Sekarang, Bella benar-benar dilarang pergi dari apartemen kecuali kuliah atau hangout bersama temannya. Saat ia beralasan ingin mengambil barang-barangnya di kos-kosan, malah barang-barangnya sudah diantar ke apartemen, semuanya tanpa sisa. Kemudian alasan kuliah pun tak bisa karena Regan sudah tau jadwal kuliah dan bimbingannya. Bagaimana Regan tau jadwal bimbingannya? Ia bahkan menyuap 2 dosen pembimbingnya agar menginformasikan padanya setiap kali mereka janjian bimbingan. Rasanya sekarang, Bella dipenjara dalam sangkar emas yang mewah ini. Ia bisa memiliki apapun tapi tidak dengan kebebasannya. Sampai akhirnya ia duduk di sofa sambil nonton TV, tetapi tidak sedang menonton, ia menangis. Ia merasa kotor tak berdaya. "Tolong...." Ia takut, ia takut kalau Regan memaksanya berhubungan badan, padahal ia sama sekali tak rela. Kontrak itu tak bisa ia hindari, karena tubuh Bella yang asli adalah miliknya sekarang. "Kamu ke mana sih, Bella? Aku gak mau nempatin kehidupanmu yang seperti ini, hiks...." Ia terus meracau, sampai lelah dan tertidur. Tak lama kemudian, Bi Yeyen yang merupakan pembantu di apartemen itu keluar dari persembunyiannya. Ia dengar dari Tuannya kalau Bella bertingkah aneh, jadi Regan memintanya untuk mengawasi perempuan yang ia pelihara itu. Mendengar apa yang Bella katakan, Bi Yeyen measa prihatin dengan fakta itu. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Nak?" gumamnya. Selama setahun lebih ini, Bella hampir tidak pernah berinteraksi di luar kepentingan dengannya. Seolah membatasi dan mungkin karena kesayangan Tuan di tempat itu, Bella agak arogan. Namun, beberapa hari ini memang sikap Bella aneh, ia bahkan menyapa, mengobrol, dan sesekali masak makanan sendiri, membuat kue atau cemilan sendiri alih-alih beli. Sudah biasa bagi Bi Yeyen melihat perempuan itu pulang dengan belanjaan yang banyak dan ruang tamu yang berantakan karena bungkus-bungkus belanjaan yang berserakan, tapi sekarang tidak. Bahkan pakaiannya yang biasanya super seksi, sekarang menjadi lebih sopan. Terkadang, hanya ada paket yang datang, saat dibaca informasinya, itu pakaian seperti rok selutut--karena Bi Yeyen mencari tahun nama modelnya-- dan beberapa pakaian sopan lain yang kini dipakainya. Bahkan interaksi Bella dengan Regan yang biasanya sampai melakukannya di ruang makan, kini tidak pernah terlihat semesra dulu. Bella seolah menolak, dan Regan hanya menciumnya. Entah apa yang terjadi, tapi setaunya selama ini, Regan hanya ke apartemen itu di malam hari, lalu pergi di pagi hari. Seperti orang yang hanya menikmati layanan ranjang tiap malam, tapi tidak kali ini. Regan bahkan pulang ke apartemen itu setiap hari, meminta Bodyguard untuk menjaga pintu agar memastikan Bella tidak keluar, lalu memintanya mengawasinya dan menelponnya setiap sehari tiga kali untuk menanyakan apa yang dilakukan Bella. Meski sudah ada CCTV, harusnya ia bisa melihat sendiri, tapi entah apa yang dipikirkan Regan, ia seolah terlalu takut tentang apa yang terjadi pada perempuan itu.Suasana di tepi pantai itu mendadak hening. Angin berembus lembut, hanya debur ombak yang terdengar bersahutan. Mila menatap Winona, masih dengan mata sembab setelah menangis.“Jadi… kita bertiga sama-sama sadar?” suara Mila bergetar, masih sulit percaya dengan kenyataan yang baru saja terbuka.Winona mengangguk pelan, lalu menatap laut dengan pandangan kosong. “Iya, Mil. Kita sama-sama pernah… terjebak di dunia novel itu. Bedanya, aku udah tahu sejak awal kalau semua itu bukan mimpi. Dan sejak aku balik ke dunia nyata, aku sadar satu hal, meski kita di sini, faktanya nggak ada yang berubah.”Mila menelan ludah. “Maksud kamu…?”“Baik aku maupun Bang Deva…” Winona menoleh sekilas pada Deva, lalu kembali ke arah Mila, “…kami berdua tetap dijodohkan. Sama persis kayak pola yang ada di novel. Hanya saja perannya beda. Regan dan Sheryl nggak ada lagi, tapi nama kami di dunia nyata masih terikat hal yang sama, perjodohan itu.”Deva hanya menghela napas berat, seolah tak ingin membahas lebih
Sepeninggal Andin, Mila duduk termenung. Hatinya tidak benar-benar tenang. Kata-kata perempuan itu terus menggema, tapi lebih dari itu, suara teman-teman sekamarnya pun masih mengiris-iris pikirannya. Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Mila menatap laut biru di kejauhan, matanya sayu. Sejak awal ia hanya ingin bekerja dengan baik, menikmati momen gathering, dan mungkin… membiarkan hatinya sedikit terbuka pada Edric. Namun kenyataannya, setiap kali ia mencoba merasakan kebahagiaan, selalu ada bahaya yang menimpa. Apa memang salahku kalau aku merasa nyaman dengan Edric? Kenapa seolah-olah seluruh dunia menolak kebahagiaan itu? Di tengah kebimbangannya, pesan masuk dari Jihan, sahabatnya yang bekerja di divisi berbeda. “Mil, aku tau ini berat, tapi aku harus kasih tau kamu sesuatu. Hati-hati banget sama salah satu teman sekamar kamu. Ada gosip di kantor, dia anak salah satu pemilik saham. Katanya dulu pernah terlibat kasus kriminal. Bukan cuma bully… tapi sampai menghila
Mila mengalami keseleo sehingga tidak bisa berjalan. Meski kata dokter hanya cedera ringan dan tidak sampai patah tulang, tetap saja itu cukup mengganggu. Setiap kali menapak, rasa nyeri menjalar ke pergelangan kakinya. Hal itu membuat Edric terus berada di sisinya, membantu setiap langkah kecil yang ia coba lakukan. Mila sendiri masih tidak percaya dengan apa yang barusan menimpanya. Ia tidak ingin langsung menuduh, tetapi ada sesuatu yang aneh. Tadi, saat terjatuh, ia jelas merasakan ada kaki yang “menghalangi” jalannya. Namun, siapa pemilik kaki itu? Ia tidak bisa memastikan. Yang paling dekat dengannya justru adalah teman satu timnya—orang yang seharusnya mendukung, bukan menjatuhkan. Mila menelan ludah. Hatinya masih diliputi rasa tak percaya. Kenapa mereka tega? ••• Setelah acara lomba selesai dan Mila dibawa ke kamar untuk istirahat, malamnya ia terbangun karena suara bisikan dari teman-teman sekamarnya. “Akhirnya dia cedera juga,” suara itu terdengar jelas di telinga Mil
Lapangan hijau di Ubud sudah dipenuhi suara riuh. Semua karyawan bersemangat mengikuti rangkaian lomba. Panitia sudah menyiapkan berbagai perlombaan khas tujuhbelasan, mulai dari lomba bakiak, joget balon, kelereng, lomba karung, hingga lomba memasukkan paku ke dalam botol. Udara pagi yang sejuk membuat semangat mereka semakin membara. “Baik, lomba pertama adalah Joget Balon!” seru MC. Edric maju ke depan bersama pasangan lombanya, salah satu staf HRD. Mereka harus menahan balon di antara dahi sambil berjoget mengikuti irama dangdut remix. Suasana pecah. Semua orang bersorak melihat Edric yang biasanya sangat cool, kini harus menggoyang pinggulnya dengan ekspresi kaku. Wajahnya sudah memerah karena malu. “Hahaha! Pak Edric, jangan tegang begitu!” teriak salah satu peserta dari pinggir lapangan. MC juga meledek Edric yang hari ini terlihat berbeda, harus menurunkan wibawanya. Banak karyawan yang tak mau melewatkan moment itu dan mengambil video agar bisa dijadikan kenang-kenangan
Malam makin larut, Mila merasa tertekan di kamar. Benar saja, kedekatannya dengan Edric membawa bencana. Meski tidak secara langsung, mereka menyindirnya dengan cara halus. Katanya ia masih baru tapi dapet tangkapan bagus. "Mila!" panggil seseorang mengagetkan Mila dari lamunan. Mila langsung menoleh dan menemukan Deva yang keluar dengan outher rajut, kaos putih polos, dan celana tidur yang santai. "Jangan ngelamun di tepi kolam, nanti kecebur," ujarnya bercanda. Deva terkekeh, "Hehe... iya, Pak."Mereka saling diam sejenak, tapi Mila perlahan munudur. Deva pun mengajak Mila duduk di kursi pantai yang ada di tepi kolam. Di sekitar sana juga masih banyak yang lalu-lalang bersantai."Kenapa, susah tidur?" tanya Deva mengulurkan botol air putih pada Mila. Mila menerimanya dengan kedua tangan sopan. Ia masih canggung di dekat Deva, tentu saja itu wajar karena Deva atasannya. "Makasih, Pak. Saya memang agak kesulitan tidur, akhir-akhir ini kayak sering insomnia.""Hem... pake terapi m
Jetski itu melaju kencang membelah ombak, membuat Mila berpegangan erat di belakang punggung Edric. Suaranya bercampur antara tawa gugup dan teriakan kecil setiap kali mereka menghantam gelombang.“Pak… pelan sedikit dong!” teriak Mila sambil memejamkan mata.Edric tertawa pelan, tapi bukannya memperlambat, ia justru sedikit memutar gas. “Kalau pelan, nggak seru. Tenang aja, saya nggak akan bikin kamu jatuh.”“Ya ampun, saya bisa jantungan, Pak!” Mila spontan memukul pelan bahu Edric, tapi tangannya tetap erat memeluk pinggang pria itu.Edric tersenyum lebar, seolah puas melihat ekspresi Mila yang campur aduk. “Kalau takut, pegangan yang kenceng. Nanti malah saya yang jatuh gara-gara kamu longgarin tangan.”Mila mendengus, wajahnya panas entah karena matahari atau karena malu. “Bapak nyebelin.”“Nyebelin tapi bikin kamu ketawa kan?” Edric menoleh sedikit, dan benar saja—Mila tidak bisa menahan tawa.Suasana itu… hangat, jauh lebih hangat daripada sekadar bos dan karyawan.•••Dari keja