Thanks udah baca\(^o^)/ Btw, kemarin libur, sorry ya. Semoga suka. See u next part
Kasus antara Alex dan Jessica rupanya tak kunjung usai. Gosip tentang kehamilan Jessica masih membuat hidup Sheryl tidak tenang. Ia jadi lebih sering mengeluh, bahkan sampai datang ke kantor Bella hanya untuk makan siang sambil curhat. Bella mendengarkannya dengan sabar, meberi saran jika diminta, dan tak pernah menolak kehadiran Sheryl yang kini makin sering berada di sekitarnya.Terkadang, jika benar-benar sedang tak punya kegiatan, Sheryl ikut membantu pekerjaan Bella. Meski bantuannya tak seberapa, kehadiran Sheryl cukup membuat suasana kerja Bella jadi lebih ringan. Sheryl juga merasa lebih tenang di dekat Bella, apalagi sejak Regan pergi ke luar negeri. Ia tahu Bella sedang merasa kehilangan, meskipun tak pernah diucapkan secara langsung.Sahabat-sahabat Sheryl sedang sibuk dengan dunia barunya di perkuliahan. Beberapa bahkan sudah punya pacar dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan pasangan masing-masing. Sheryl pun hanya memiliki Bella sebagai tempat pelarian.Malam itu, s
Kalung. Kalung yang dulu ia lihat saat di rumah sakit. Tapi sekarang... kalung itu memancarkan cahaya samar yang menari di permukaan logamnya. Seolah memberi sinyal. Seolah memanggil sesuatu. Bella menelan ludah, tangannya gemetar saat hendak menyentuh kalung itu. Tapi sebelum jari-jarinya menyentuh liontinn tersebut, terdeangar suara ketukan ringan. Dan tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka. Regan masuk dengan langkah tergesa. "Bella, aku—" Ia tak sempat melanjutkan. Pandangan Bella membuat langkah Regan terhenti. Perempuan itu menatapnya seolah melihat hantu. Matanya membelalak, wajahnya pucat. Regan menyipitkan mata. "Kamu kenapa?" Bella masih menatapnya tanpa suara. Ia perlahan melirik ke arah laci, dan secepat ia membukanya... cahaya itu menghilang. Kalung itu kembali biasa. Tak ada cahaya. Tak ada pancaran aneh. Hanya logam diam yang tergeletak di tempatnya. Bella mengatupkan bibir, bingung harus berkata apa. Sesuatu dalam dirinya ingin menceritakan apa yang barusa
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai kamar Sheryl. Suasana masih sepi, bahkan terlalu tenang untuk dua hati yang semalam sempat dibanjiri emosi. Bella membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arah Sheryl yang duduk menyandar di kepala ranjang dengan wajah serius, seakan menyimpan sesuatu."Gue kepikiran, Bel," kata Sheryl pelan. "Soal obrolan kita semalam. Tentang cowok-cowok itu."Bella duduk tegak, menyimak. Meskipun masih mengantuk, ia masih bisa menangkap apa yang Sheryl katakan. Sheryl pun menoleh ke arahnya dan berkata dengan lebih mantap, "Situasiku mungkin iya. Gue datangnya setelah ada Jessica di hidup Alex. Tapi Om Regan beda. Om udah lebih dulu sama lo daripada gue sama Alex. Dan Alex udah lebih dulu sama Jessica."Bella mengelus tangan Sheryl pelan, seakan ingin menurunkan suhu emosi yang mulai naik. "Iya, gue tahu. Tapi Yola lebih penting buat bisnis Regan daripada gue. Lo mungkin kalah dari sisi waktu, tapi gue kalah dari sisi kasta."Sheryl terdiam, bibirny
Bella meminta izin ke toilet. Di dalam bilik, ia berdiri di depan cermin. Menghapus air mata. Mengatur napas. Menenangkan wajah agar tak terlihat kacau. Tangannya memeras tisu basah, membersihkan eyeliner yang luntur. Ia tidak boleh lemah. Tidak di depan mereka. Ia memakai make up lagi dengan secantik mungkin agar terlihat tak terjadi apa-apa sebelumnya. Ketika ia kembali, Sheryl mengajaknya makan. "Kebetulan Tante Yola ngajak makan bareng juga. Kita satu meja aja, ya?" Bella menoleh, ragu. Tapi sudah terlambat. Yola melambai riang dari meja restoran. Ingin rasanya menolak, ttapi ia masih mempertimbangkan perasaan Sheryl. Bagaimanapun Sheryl juga calon keponakan Yola yang harus menghormatinya. "Lu mau?" Sheryl berpikir sejenak, "gue gak masalah. Tapi kalo lo gak nyaman, kita makan di tempat lain." "Oke. Aku gak papa kok."Ia tak mau jadi orang egois, masalahnya dengan Yola bukan tanggungjawab Sheryl. Sheryl tak perlu menanggung bebannya hanya karena ia tak nyaman dengan Yo
Malam itu, Regan baru saja menelepon Bella, memberi tahu bahwa ia tak bisa menemuinya malam ini karena harus menjalani makan malam dan agenda jalan berdua dengan Yola, tunangannya. "Aku minta maaf, Bel. Ini bagian dari... kompromi kami. Dia minta malam ini jadi malam 'kita'. Aku harus pura-pura menjadi pasangan baik di depan umum." Bella terdiam di ujung telepon. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia menjawab, "Gak apa-apa. Dia tunangan kamu, dia lebih berhak." Kalimat itu mengiris hati Regan. "Jangan ngomong gitu. Kamu tahu aku—" "Aku cuma simpanan, Regan," potong Bella dengan suara yang terdengar lembut namun dingin. "Aku gak punya hak buat cemburu." Regan ingin membantah, tapi Bella buru-buru mengakhiri percakapan. Ia tahu, jika lanjut, suaranya mungkin akan bergetar. Ia tak ingin terdengar lemah. Tak lama setelah itu, Sheryl menghubunginya. "Bella, ayo temenin aku ke mall. Aku butuh keluar. Please, jangan nolak. Aku butuh temen sekarang." Bella sempat ragu. Tapi d
"Kenapa dia di sini?" tanya Gisella, nadanya masih datar, tapi matanya tajam. Regan menahan napas. Sheryl menoleh, tapi tidak bicara. Ia tahu ini bukan tempatnya ikut campur, meskipun ia jelas-jelas memihak Regan dan Bella dalam diam. "Dia cuma mampir karena ada Sheryl, Ma," jawab Regan pelan. "Sheryl yang nyuruh dia ke sini." Gisella menyilangkan tangan. "Mami harap kamu gak lupa posisimu sekarang. Kamu sudah tunangan, Regan. Kedekatanmu sama perempuan lain akan dianggap perselingkuhan, itu skandal." Regan mengangguk, tahu apa yang dimaksud ibunya iyu. "Aku ingat, Ma. Tapi aku juga ingat siapa yang dulu bantu Bella waktu dia dalam pelariannya. Mami bantu kabur dia, kan? Seniat itu Mami ngejauhin aku darinya." Pandangan Gisella mendingin, tapi hanya sedikit. "Mami bantu dia waktu itu karena dia butuh bantuan. Bukan berarti Mami setuju sama kalian yang terus-terusan ketemu diam-diam." Sheryl diam saja di sudut sofa, pura-pura fokus pada proyektor. Tapi ia mencuri pandang ke arah R