LOGINCahaya matahari pagi yang mulai meninggi terasa menyengat di kulit Pram, kontras dengan hawa dingin yang merayap di koridor rumah sakit.Pram duduk setengah tegak, berusaha mempertahankan martabatnya meski wajahnya sepucat kertas dan napasnya masih terasa pendek-pendek.Dokter masuk dengan langkah tenang, membolak-balik berkas medis yang terdengar seperti bunyi parang di telinga Pram."Rusuk Anda memar hebat," ujar Dokter tanpa menatapnya lama. "Beruntung tidak ada retakan pada tulang. Kondisi Anda sudah stabil secara klinis. Anda diizinkan pulang hari ini."Pram hanya mengangguk. Tidak ada binar lega di matanya. Hanya sebuah kekosongan yang dingin."Tapi ingat, Pak Pram," Dokter memberi penekanan, "Tubuh Anda bukan mesin. Istirahat total. Jangan ada aktivitas berat, atau memar itu akan menjadi masalah panjang.""Baik," jawab Pram singkat, suaranya parau.Begitu pintu tertutup, Pram segera menekan bel pemanggil. Bukan karena butuh bantuan medis, tapi karena ia tidak tahan berada di da
“Mas Gara.”Panggilan itu membelah keheningan yang menyesakkan. Suara Samudra terdengar dari lantai atas, sekali, lalu dua kali, dengan nada yang mulai dibungkus kecemasan.Gara tersentak. Sensasi itu seperti ditarik paksa kembali ke dalam raga setelah jiwanya sempat melayang ke tempat gelap. Ia menoleh ke arah tangga, lalu perlahan beralih pada Mita yang rupanya sejak tadi sedang mengulitinya dengan tatapan penuh selidik.“Gar! Kamu nggak apa-apa? Ayo sarapan,” ujar Mita. Suaranya datar, tapi ada upaya menormalkan udara yang sempat terlalu rapat.Gara hanya mengangguk kaku. Ia menarik kursi, mendudukinya seolah itu adalah kursi pesakitan.Tak lama, Samudra turun dengan seragam yang rapi dan rambut yang masih lembap oleh sisa air mandi. Wajah remaja itu segar, kontras dengan kekeruhan yang baru saja menyelimuti mata Gara.“Mas Gara nggak apa-apa?” Pertanyaan yang sama Samudra lontarkan.Remaja itu langsung menghampiri, raut khawatirnya tak bisa disembunyikan. “Sakit?”Gara memaksakan
Mita tersadar lebih dulu. Dengan gerakan yang sedikit gemetar, ia merapatkan jubah satinnya, kain tipis yang mendadak terasa seperti perlindungan yang terlalu rapuh.Jemari lentik Mita merapikan lipatan kain dengan canggung, seolah-olah dengan merapikan pakaian, ia bisa merapikan kekacauan yang baru saja meledak di dadanya."Kamu..." suara Mita nyaris tak keluar, parau oleh sisa kantuk dan debar jantung. "Ada apa pagi-pagi begini?"Ia tetap berdiri di ambang pintu. Tidak bergeser. Seolah pintu itu satu-satunya batas yang masih aman.Gara menelan ludah, jakunnya bergerak naik-turun. Pandangannya merayap naik, mengunci manik mata Mita. Di sana, di antara mereka, ada keheningan yang berisik, penuh dengan tanya yang tak terucap dan keinginan yang seharusnya dikubur.“Sam sudah bangun?” tanya balik Gara, dengan suaranya yang berat, sebuah upaya payah untuk menetralkan badai gairah yang berkecamuk di balik kemeja rapinya.Mita mengangguk kecil. "Sudah."Helaan napas Gara terdengar berat. Ja
Tidak banyak barang yang Mita bawa. Satu koper kecil yang berisi beberapa helai pakaian kerja, dan dokumen penting. Dia menyiapkan sepasang sepatu yang akan menjadi andalan dalam segala acara.Mita meninggalkan sisanya. Lemari kayu jati yang penuh gaun malam, meja rias yang mahal, hingga koleksi tas desainer. Ia tidak butuh itu semua. Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia tahu persis, ia akan kembali untuk mengambil haknya.Ini bukan pelarian."Akhirnya," bisik Mita. Suaranya serak, tenggelam dalam kesunyian kamar yang terasa mencekam setelah tengah malam.Tatapan Mita menyapu seisi ruangan. Matanya yang lelah namun tajam seolah sedang memetakan kemenangan. Rumah ini, seisinya, dan yang paling utama hak asuh Samudra adalah target yang sudah dikunci.Smua itu bukan hanya anggan Mita semata. Tapi sudah melalui perhitungan yang mantap. Pengacaranya telah menjanjikan skenario terbaik. Saat palu hakim mengetuk nanti, Mita tidak hanya akan keluar sebagai janda, tapi sebagai pemenang yang
Mita tersenyum canggung. Ia membiarkan tatapannya jatuh ke layar ponsel sebentar, lalu naik lagi.Perhatian yang gara berikan sebenarnya sangat sederhana. hanya sebuah tanya, sebuah upaya untuk memastikan.Namun, bagi Mita, kesederhanaan itu terasa menyesakkan. Hal-hal kecil seperti ini dulu ia emis dari Pram, namun suaminya itu selalu punya cara untuk datang terlambat, atau bahkan tidak datang sama sekali.Ironi itu terasa seperti empedu di lidah, kenyamanan yang ia dambakan selama bertahun-tahun justru diberikan oleh sosok yang paling tidak mungkin.Asisten pribadinya.Anak dari perempuan yang merusak rumah tangganya.“Kami aman,” suara Mita akhirnya pecah, nyaris berbisik. Ia mengangguk pelan, bukan untuk Gara, melainkan untuk meyakinkan detak jantungnya sendiri yang mulai tidak beraturan. “Aku dan Sam baik-baik saja.”“Syukurlah,” jawab Gara singkat.Suaranya berat, membawa getaran yang entah mengapa membuat Mita merasa terlindungi sekaligus terancam.Mita menarik napas panjang, m
Erang pelan lolos dari bibir Pram yang pecah-pecah, namun suara itu segera tertelan oleh dengung monoton monitor jantung, sebuah ritme mekanis yang seolah mengejek detak jantungnya yang tak beraturan.Ruang rawat VVIP ini terasa terlalu luas, terlalu asing untuk satu tubuh yang biasanya menguasai ruang rapat. Kini, ia hanya seonggok daging yang dikhianati oleh tulangnya sendiri.Pram mencoba menggeser pinggulnya. Sial. Sebuah kesalahan fatal.Rasa nyeri menusuk tajam dari rusuk yang retak, merambat seperti kawat berduri ke ulu hati. Napasnya tersendat, tercekat di tenggorokan yang kering. Secara naluriah, jemarinya meraba sisi ranjang, mencari kehangatan tangan yang biasanya ada di sana.Dulu, dalam setiap sakit yang ia anggap remeh, Mita akan duduk di sana, tenang menyediakan air hangat dengan suhu yang pas, menyodorkan obat tepat di detik jarum jam berdentang, dan membisikkan kalimat pendek yang menenangkan.“Kamu fokus sembuh,” suara lembut itu menggema, memantul di dinding otaknya







