"Nisya, makan yuk!" Arsena menghampiriku saat jam istirahat tiba, dengan membawa dua buah kotak bekal tup***ware. Yang aku tahu pasti dari siapa pengirimnya.
"Dikirim lagi?"
Dia mengangguk, "Iya, pokoknya sebelum aku maafin, pasti dia bakal kirim terus. Dia tau banget kalau aku lemah sama makanan buatannya. Cuma disogok ginian aja udah bikin aku luluh, murahan banget ini perut."
"Kali ini gara-gara apa lagi?"
"Biasa, nggak usah ditanya," ketusnya sambil cemberut.
Sena lantas duduk di depanku dan menata bekal yang dibawanya di atas meja. Dengan aku yang lebih dulu menyingkirkan tumpukan kertas berukut menggeser laptop ke samping.
"Sekali-kali ngalah Sen, masak mau rebutan sama anak SMA, malu tuh sama anak didikmu."
"Kamu nggak tau aja Nis, betapa ngeselinya keponakannya itu, kelaminnya doang cowok tapi mulutnya subhanallah ngalah-ngalahin si Angel anak IPA 1 itu."
Sepertinya dia lagi ngambek lagi sama pacarnya, terbukti sudah dua hari ini kulihat dia dikirim makanan oleh Samudra Biru, pacarnya yang memang punya hobby memasak. Masalahnya cukup lucu sih menurutku pasti karena berebut perhatian sama keponakannya Mas Biru.
Dari cerita Sena kalau keponakan Mas Biru itu sering banget mengganggu waktu kencan dia, ada saja yang dilakukan anak itu demi untuk membuat Sena jengkel, seperti sudah jadi hobi dia buat mengganggu Sena.
Aku akui, ini makanan emang enak banget, apalagi sushi buatannya, best banget sumpah ngalah-ngalahin sushi**i Surabaya. Keenakan Sena kalau dapat ginian tiap hari. Aku juga mau sih sebenarnya, sayang hanya saja aku tidak akan pernah mendapatkannya. Berharap Mas Ryan akan melakukannya sama saja dengan mengharapkan bulan jatuh ke panhkuanku yang sangat mustahil.
Lagi asyik-asyiknya makan ponselku kembali berdering, lagi-lagi nama yang sama tapi kali ini bukan pesan yang dia kirim, melainkan telepon langsung. Sehingga tanpa sadar aku mengembuskan napas kesal, aku masih kesal saat ingat kejadian pagi tadi.
"iya, Mas?" jawabku setelah menggeser icon hijau di layar ponselku.
"Sudah makan?"
"Ini lagi makan."
"Sama apa?"
"Sushi, Sena yang bawa. Mas sendiri?"
"Belum, ya sudah selamat makan jangan lupa hubungin mas kalau sudah selesai ngajarnya."
Ini cuma begini doang? Fix Mas Ryan kurang kerjaan banget, pesan yang tadi pagi saja kubiarkan karena bingung mau bales apa, dan ini nggak biasanya dia telepon pas jam istirahat gini.
"Mas Ryan?" tanya Sena.
Aku hanya mengangguk, "Aneh banget sih, akhir-akhir ini sepertinya dia mulai gencar menunjukkan kedekatanya padaku."
"Ya bagus dong Nis, itu artinya dia sudah mau berusaha buat ngambil hatimu, kamu aja yang kurang peka."
"Entahlah, aku bingung Sen. Aku takut jika nanti malah membuatnya kecewa kalau tau aku yang sebenarnya."
"Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan Nis, emang kamu kenapa? Mulai sekarang belajarlah untuk menerima semua perhatian Mas Ryan, aku yakin kalau nantinya kalian akan bahagia jika waktunya tiba."
"Nggak segampang yang kamu ucapkan, Sen."
"Mudah, asal kamunya mau berusaha, beda lagi kalau kamu sudah apatis seperti ini."
Apa memang semudah itu? Ah, aku saja masih bingung mengenai perasaanku sendiri.
"Aku nggak nyuruh kamu buat lupain 'dia', bagaimanapun dia punya tempat tersendiri di sudut hatimu, tapi sekarang situasinya sudah beda Nisya. Ada Mas Ryan dan juga Alshad yang sudah siap untuk bahagia bersama kamu. Yang lalu biarlah berlalu, cukup kamu kenang sebagai pengalaman hidup, sudah selesai. Jangan kamu bawa lagi kemasa yang sekarang karena hasilnya kamu akan stuck di sini aja, dan nggak akan bisa maju."
"Andai saja bisa semudah Sena, selama ini aku sudah mencoba untuk menerimanya. Tapi hasilnya masih tetap sama, Sen. Bahkan setiap kali aku paksa untuk menerima dan menyingkirkan bayang-bayang masa lalu keadaan malah berbalik menyerangku. Lalu aku harus bagaimana?"
"Ikhlas! Kamu hanya perlu ikhlaskan dia yang sudah bahagia. Dan sekarang giliran kamu yang harus bahagia juga."
"Apa aku bisa, Sen."
"Sangat bisa, aku yakin itu."
Ada benarnya sama apa yang dibilang Sena, mungkin ini sudah saatnya buat aku membuka diri kepada Mas Ryan, "Thanks Sen."
"your Wellcome, " ucapnya dengan sedikit memberi remasan dijemariku sebagai bentuk dukungannya.
"Dimulai dari telepon Mas Ryan mungkin, bukanya kamu sudah nggak ada kelas, ya? Tadi Mas Ryan suruh hubungin dia kan, kalau sudah selesai?"
"Ck, kamu nguping?"
"Mana ada, aku cuma enggak sengaja dengar aja sih," ucap Sena dengan cengirannya.
Dengan segera aku mengusir Sena dari hadapanku, tentunya setelah selesai menikmati makan siang kami, sesuai saran dari Sena tadi aku akan menghubungi Mas Ryan untuk menjemputku.
Tapi sebelum itu aku harus menyelesaikan tugasku dulu, agar besok tidak terlalu keteteran. Baru setelahnya aku akan kirim pesan pada Mas Ryan, itu pilihan terbaik dari pada harus bicara langsung lewat telepon. Dan akan membuatku semakin grogi dan berakhir tidak baik.
"Sen, aku balik, ya," pamitku pada Sena yang masih terlihat sibuk di depan layar komputernya.
Sementara guru yang lainya sudah mengajar di kelas masing-masing, hanya tertinggal beberapa saja di ruang guru termasuk aku diantaranya."Hati-hati, dan ingat pesanku tadi." balas Sena sembari mengingatkan apa yang diutarakannya tadi kepadaku, aku hanya tersenyum dan mengangguk saja membalas ucapannya.
Saat aku berjalan keluar menuju lobby aku sudah melihat mobil Mas Ryan terparkir rapi di samping pos penjagaan, sementara orangnya tengah berbincang bersama Pak Satpam tepat di depan pos jaga. Aku sedikit berjalan lebih cepat agar tidak membuatnya menunggu terlalu lama.
Melihat kedatanganku Mas Ryan lantas beranjak membukakan pintu penumpang untukku, lalu dia pamit kepada pak satpam yang sudah menemaninya mengobrol sambari menungguku.
"Kenapa nggak bilang pas mas telepon tadi?" tanyanya setelah mulai melajukan kuda besinya menuju jalan raya.
"Tadi rencana mau periksa tugasnya anak-anak dulu, tapi nggak jadi nanti aja di rumah. Apa Nisya ganggu waktu kerja Mas?" Tanyaku menoleh ke arahnya yang sexang fokus dengan jalan di depannya.
"Enggak, kalau saja tadi bilangnya kita bisa makan siang bareng."
"Mas, belum makan?"
Mas Ryan hanya menggeleng dan masih tetap fokus sama kemudinya, sama sekali nggak menoleh ke arahku barang sebentar saja.
"Mau makan apa? Kita mampir dulu deh cari tempat makan, gimana?"
"Boleh, ke tempat yang biasa kamu makan aja, gimana," usulnya.
"Jauh banget Mas, nanti kerjaan Mas bagaimana?"
"Mas udah ijin tadi."
"Tau gitu tadi Nisya pulang sendiri saja, kalau Mas mau ijin bolos."
"Beda, Mas ijin bukan bolos." Sanggahnya."Kalau keseringan Mas bisa dikatain makan gaji buta tahu." kataku, sedangkan Mas Ryan hanya tersenyum samar.
Selama enam bulan usia pernikahan kami, aku belum pernah melihat Mas Ryan tersenyum lebar.
"Selama ini mas nggak pernah sekalipun bolos, jadi kalaupun sekarang mas bolos, nggak ada salahnya, kan."
Aku hanya mendengkus menanggapi ucapanya, tapi selanjutnya aku merasakan seperti suhu di dalam mobil ini semakin panas dan jantungku sepertinya ingin segera keluar dari singgasananya, sebab kurasakan detakannya semakin kencang.
Saat Mas Ryan dengan tiba-tiba mengusap puncak kepalaku dengan lembut, lalu tangannya turun dan mengambil jemariku untuk digenggamnya.
Aksinya itu sukses membuatku seperti patung saat ini. Aliran darahku seakan berpusat di wajahku, mungkin jika aku bisa melihatnya pasti sudah memerah. Semoga saja Mas Ryan tidak menyadari perubahan pada wajahku, juga tidak bisa mendengar detakan jantungku yang sudah seperti genderang perang. Karena aku aku akui kini perasaanku pun mulai nyaman.
"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja." "Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan. "Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan. Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju. Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya. "Mas, mau nambah lagi?" "Enggak, mas sudah cukup kenyang." "boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau." "Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya. Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil
Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju. Aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku ketika di rumah maupun di luar rumah. Seperti halnya rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini mulai rutin dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang. Baik itu melalui pesan singkat, maupun sambungan telepon langsung. "Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?" "Kenapa?" "Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar." "Mau kemana?" "Boleh nggak? Kalau enggak boleh ya nggak papa," tanyaku balik. Sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi nantinya, sebab aku masoh belum punya keberanian untuk membicarakan semua tentang masa laluku padanya. "Han
"Sialan! Kamu bener-bener ya, Nisya ... A arrrhhh! Bisa nggak kebiasaanmu yang satu ini dihilangkan! Untung ini jantung buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah tinggal nama aku, Nisya Kailandra!" Aku menghendikan bahu acuh dan masa bodo dengan amarah Yasa yang memenuhi ruangannya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk langsung masuk ke ruangannya tanpa permisi. Dan aku tentu sudah biasa dengan amarah Yasa setelahnya.Mengabaikan gerutuannya yang masih bisa kudengar, aku memilih abai dan mengambil duduk persis di hadapannya dengan dia yang lantas menggesel laptop ke samping untuk menyambut kedatanganku. "Gimana dengan masalah yang kemarin, sudah beres semua, kan?" "Kamu tanya beginian ada maksud apa? Dan lagi aku minta tolongnya sudah dari kapan, Ibu Guru Nisya yang sok sibuk!" "Biasa aja enggak usah ngegas, satu lagi aku memang benar-benar sibuk tahu!" "Sibuk apa? Ngurusin ha
Setelah insiden kemarin aku selalu dihantui rasa bersalah terhadap Mas Ryan, bukannya tidak mau jujur tetapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masa laluku. Beruntung Mas Ryan tidak lagi membahas masalah itu dan kembali melanjutkan pekerjaanya ketika Bayu datang saat akucakan menjawab pertanyaan mendebarkan itu. "Nis, Al sudah tidur?" tanya Mas Ryan saat menyusulku yang tengah menidurkan anaknya. "Sudah, kenapa?" "Bisa minta tolong?" Aku mengangguk, perlahan dengan hati-hati turun dari atas tempat tidur agar Alshad tidak sampai terbangun merasakan pergerakanku. "Buatkan mas kopi ya, sekalian antar ke ruang kerja mas." Pintanya ketika aku sudah berada didekatnya lalu menutup pintu kamar. Kembali aku mengangguk dan segera melakukan perintahnya. Mas Ryan, dia langsung menuju ruang kerjanya yang berada tepat di depan kamar utama. "Lembur, Mas?" tanyaku saat mengantar dan menaruh kopi pesanannya di at
"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?" Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri. "Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi. Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga. "Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia." "Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.
Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru. Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku. "Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor. "Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami. "Kapan ayah bilang begitu?" "Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak
"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?" Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya. "Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal. "Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya." "Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!" "Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. "Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?" "Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya. "Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia menga
"Masih belum selesai?" tanya Mas Ryan, memelukku dari belakang. Dengan melingkarkan lengannya di perut serta menempelkan dagunya di atas pundakku. Sehingga bisa aku rasakan hangat hembusan napasnya menerpa sisi wajahku. Aksinya ini membuatku mematung untuk beberapa, sebab belum pernah kejadian sebelumnya. Dan ini pertama kalinya dalam pernikahan Mas Ryan berani melakukan skinship denganku selain aktivitas ranjang tentunya. Karena sebelum ini jangankan pelukan, bergandengan tangan saja tidak pernah dilakukannya. "Tinggal sedikit lagi," balasku kikuk dan masih kurasakan debaran jantungku yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Aku sedang berkutat di dapur saat Mas Ryan menghampiri, berikut perlakuannya yang masih begitu asing buatku. Namun entah kenapa sudut terdalamku seolah tidak ingin ini cepat berlalu. "Biar mas yang lanjutin, kamu siap-siap sudah mas siapin airnya," Mas Ryan lantas mengambil alih pekerjaanku yang tengah membua