Share

Siang Pertama

"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja."

"Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan.

"Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan.

Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju.

Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya.

"Mas, mau nambah lagi?"

"Enggak, mas sudah cukup kenyang."

"boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau."

"Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya.

Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil masuk ke mulutku. Itupun dengan susah payah aku menelannya, bukan tidak lapar hanya saja efek yang ditimbulkan Mas Ryan masih bisa kurasakan.

"Nisya!"

Panggilan itu, sepertinya aku cukup hafal dengan suara ini.

Aku lantas mencari sumber suara yang sudah memanggilku barusan, di sana tepat di belakang Mas Ryan berdiri sosok yang sangat aku rindukan sedang melangkah kearahku.

Segera aku berdiri dan menghampirinya lantas memeluk erat untuk menyalurkan rasa rindu yang sekian lama tak bertemu.

"Apa kabar Nis? Kenapa sekarang nggak pernah datang ke rumah lagi?" tanyanya.

"Nisya baik, kabar orang rumah gimana? Sehat semua kan?"

"Allhamdulillah sehat semua," jawanya sambil tersenyum haru dan melepaskan pelukan kami.

"Kenalin, ini Mas Ryan suami Nisya."

Ada raut terkejut yang berhasil aku tangkap, tapi secepat mungkin dihalaunya dengan menyapa Mas Ryan. Mereka lantas berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.

"Kok enggak ada yang kirim undangan ke rumah, Nisya?"

Ditanya seperti itu aku bingung jarus menjawabnya apa, karena yang sebenarnya papa memang mewanti-wanti untuk tidak menghadirkan masa laluku. Aku pun lantas menjelaskan seadanya saja, semata-mata agar tidak mengecewakannya.

Baru setelahnya beliau pamit karena memang sudah akan pulang, tetapi urung dilakukan saat melihat keberadaanku di sini.

"Dia orang baik Nisya, beruntung kamu bisa dapat suami sepertinya, dilihat dari cara dia memperlakukanmu tadi, tidak diragukan lagi jika dia orang yang tepat untuk menggantikannya. Jaga dia baik-baik Nisya seperti kamu selalu menjaganya dulu "

Pesannya ketika berpamitan denganku, sementara Mas Ryan menatap kami dengan raut bingungnya.

Setelah kepergian orang itu, aku tak lagi ingin melanjutkan acara makanku, karena sudah tidak bernafsu lagi juga perasaanku yang mendadak kacau setelah pertemuanku dengan orang yang berhubungan langsung dengan masa laluku.

"Mau lanjut makannya?" tanya mas Ryan, mungkin sedari tadi melihatku hanya diam dan tidak menyentuh makanan yang masih banyak tersisa di piring.

Aku hanya menggeleng, Mas Ryan pun mengajakku untuk pulang setelah membayar makanan kami. 

Dalam perjalanan pulang, baik aku maupun Mas Ryan tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. Kami seolah-olah tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah, kami masih saling bungkam.

"Mau cerita sama mas?" tanyanya ketika kami sama-sama duduk di ruang tamu.

Aku hanya diam tak menyahuti pertanyaannya, "Mas lihat sejak bertemu orang tadi, kamu jadi murung," tambahnya.

Aku dengar Mas Ryan menghela napas beratnya, kemudia beranjak meninggalkanku, mungkin dia kesal karena ucapannya aku abaikan, "Mas!" panggilku reflek, kenapa sepertinya aku tidak rela jika Mas Ryan pergi meninggalkanku.

Dia berhenti tanpa mau berbalik kearahku, entah mendapat keberanian dari mana aku beranjak menyusulnya dan memeluk Mas Ryan dari belakang. Air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya lolos juga dari kedua bola mataku, juga isakan kecil yang mungkin bisa didengar oleh Mas Ryan.

Mas Ryan hanya diam, mungkin merasa kaget melihat tingkahku yang tiba-tiba ini, "Menangislah, keluarkan semuanya, setelah ini mas nggak mau lihat air matamu ada di sini," ucap Mas Ryan sambil mengusap kedua pipiku yang sudah basah oleh linangan air mata.

Dia berbalik, menangkup wajahku yang awalnya menunduk untuk ditatapnya. Selanjutnya Mas Ryan mendekap erat tubuhku dalam pelukannya. Nyaman, itu yang aku rasakan ketika berada dalam dekapannya.

Kurang lebih 5 menit kami saling berpelukan, mungkin merasa aku sudah sedikit tenang Mas Ryan melonggarkan pelukannya, "Sudah mau cerita?" ucapnya ketika netranya beradu pandang denganku.

Aku mengangguk, dan inilah saatnya aku memulai membuka masa laluku kepada Mas Ryan, sesuai saran Sena, aku akan memulainya dari sekarang.

Mas Ryan membawaku masuk ke kamar setelahnya kami duduk di tepi tempat tidur dengan posisi saling berhadapan.

"Dia calon mama mertuaku, Mas."

Mas Ryan masih diam, dan menunggu perkataanku selanjutnya, "Orang yang tadi kita temui di tempat makan, apa Mas tau kalau dulunya Nisya sudah sempat bertunangan dengan seseorang?"

Dia hanya menggeleng, "Tepatnya 2 tahun yang lalu, tapi seperti yang Mas tahu, kalau kami tidak berjodoh pada akhirnya, karena suatu kejadian yang harus memisahkan kami." 

"Maafin Nisya, Mas," lirihku, kembali bulir-bulir bening itu lolos tanpa dikomando.

"Kenapa minta maaf?"

"Karena sudah tidak jujur dari awal, kalau Nisya sebenarnya masih memendam perasaan sama seseorang."

"Terimakasih, sudah mau jujur sama mas, sekarang kamu bisa menangis sepuasnya untuk terakhir kalinya, karena mulai besok mas yang akan berusaha untuk bahagiakan kamu."

"Kenapa, Mas nggak marah?"

"Mas bodoh kalau sampai marah sama kamu, hanya gara-gara masa lalu, sama sepertimu mas juga punya masa lalu. Tapi sekarang kita ada di masa depan dan mas nggak mau lagi kita bahas masa yang sudah lewat itu, cukup kita jadikan sebagai kenangan."

Aku semakin merasa bersalah terhadap Mas Ryan, kenapa dia bisa sebijak dan sebaik ini. Tangisku yang semula reda kini mulai terisak kembali setelah mendengar perkataannya.

"Tolong bimbing Nisya, Mas. Ajari Nisya untuk bisa mencintai Mas dengan tulus."

Mas Ryan lantas menariku ke pelukannya, "Mas nggak maksa kamu harus mencintai mas, cukup kamu mau hidup bersama mas itu sudah lebih dari cukup."

Setelahnya kita saling menatap dengan posisi aku masih dalam dekapannya, entah siapa yang memulainya semakin lama jarak antara wajah kami kian mendekat, bahkan bisa kurasakan hembusan napasnya yang menenangkan. Aku refleks memejamkan mata setelah kurasakan bibir lembapnya membelai lembut bibirku, dan aku pun tak ingin tinggal diam dan ikut membalasnya. Cukup lama sampai aku merasakan sesak karena kehabisan napas dan kami segera melepaskan diri.

Kulihat matanya yang sudah diliputi oleh gairah setelah ciuman panjang yang kami lakukan, setelahnya Mas Ryan langsung kembali menyerangku dengan ciuman yang kali ini tidak setenang tadi dan terkesan menuntut. Mas Ryan agaknya sudah tidak bisa menahan hasrat yang sudah di puncaknya.

Sampai akhirnya kami melakukan siang pertama kami dengan perasaan yang sama-sama masih baru kami rasakan.

Cukup lama kami melakukan aktifitas yang melelahkan ini, aku bahkan sampai tak ingat kalau sebelumnya sudah merasa bersalah terhadap Mas Ryan, namun aktifitas ini seakan-akan melupakan semua permasalahan yang kami alami.

Bahkan saat ini aku masih berada dalam dekapannya, dengan kondisi yang sama-sama tidak memakai apapun di tubuh, hanya selimut tebal yang membungkus tubuh polos kami berdua.

"Biarkan seperti ini dulu, mas masih ingin bersamamu." Pintanya ketika aku akan beranjak untuk membersihkan diri.

Mas Ryan mencegahku dan kembali membawaku ke dalam dekapannya, dan berakhir kita yang sama-sama tertidur dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang melekat ditubuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status