"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja."
"Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan.
"Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan.
Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju.
Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya.
"Mas, mau nambah lagi?"
"Enggak, mas sudah cukup kenyang."
"boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau."
"Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya.
Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil masuk ke mulutku. Itupun dengan susah payah aku menelannya, bukan tidak lapar hanya saja efek yang ditimbulkan Mas Ryan masih bisa kurasakan.
"Nisya!"
Panggilan itu, sepertinya aku cukup hafal dengan suara ini.
Aku lantas mencari sumber suara yang sudah memanggilku barusan, di sana tepat di belakang Mas Ryan berdiri sosok yang sangat aku rindukan sedang melangkah kearahku.
Segera aku berdiri dan menghampirinya lantas memeluk erat untuk menyalurkan rasa rindu yang sekian lama tak bertemu.
"Apa kabar Nis? Kenapa sekarang nggak pernah datang ke rumah lagi?" tanyanya.
"Nisya baik, kabar orang rumah gimana? Sehat semua kan?"
"Allhamdulillah sehat semua," jawanya sambil tersenyum haru dan melepaskan pelukan kami.
"Kenalin, ini Mas Ryan suami Nisya."
Ada raut terkejut yang berhasil aku tangkap, tapi secepat mungkin dihalaunya dengan menyapa Mas Ryan. Mereka lantas berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.
"Kok enggak ada yang kirim undangan ke rumah, Nisya?"
Ditanya seperti itu aku bingung jarus menjawabnya apa, karena yang sebenarnya papa memang mewanti-wanti untuk tidak menghadirkan masa laluku. Aku pun lantas menjelaskan seadanya saja, semata-mata agar tidak mengecewakannya.
Baru setelahnya beliau pamit karena memang sudah akan pulang, tetapi urung dilakukan saat melihat keberadaanku di sini.
"Dia orang baik Nisya, beruntung kamu bisa dapat suami sepertinya, dilihat dari cara dia memperlakukanmu tadi, tidak diragukan lagi jika dia orang yang tepat untuk menggantikannya. Jaga dia baik-baik Nisya seperti kamu selalu menjaganya dulu "
Pesannya ketika berpamitan denganku, sementara Mas Ryan menatap kami dengan raut bingungnya.
Setelah kepergian orang itu, aku tak lagi ingin melanjutkan acara makanku, karena sudah tidak bernafsu lagi juga perasaanku yang mendadak kacau setelah pertemuanku dengan orang yang berhubungan langsung dengan masa laluku."Mau lanjut makannya?" tanya mas Ryan, mungkin sedari tadi melihatku hanya diam dan tidak menyentuh makanan yang masih banyak tersisa di piring.
Aku hanya menggeleng, Mas Ryan pun mengajakku untuk pulang setelah membayar makanan kami.
Dalam perjalanan pulang, baik aku maupun Mas Ryan tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. Kami seolah-olah tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah, kami masih saling bungkam.
"Mau cerita sama mas?" tanyanya ketika kami sama-sama duduk di ruang tamu.
Aku hanya diam tak menyahuti pertanyaannya, "Mas lihat sejak bertemu orang tadi, kamu jadi murung," tambahnya.
Aku dengar Mas Ryan menghela napas beratnya, kemudia beranjak meninggalkanku, mungkin dia kesal karena ucapannya aku abaikan, "Mas!" panggilku reflek, kenapa sepertinya aku tidak rela jika Mas Ryan pergi meninggalkanku.
Dia berhenti tanpa mau berbalik kearahku, entah mendapat keberanian dari mana aku beranjak menyusulnya dan memeluk Mas Ryan dari belakang. Air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya lolos juga dari kedua bola mataku, juga isakan kecil yang mungkin bisa didengar oleh Mas Ryan.
Mas Ryan hanya diam, mungkin merasa kaget melihat tingkahku yang tiba-tiba ini, "Menangislah, keluarkan semuanya, setelah ini mas nggak mau lihat air matamu ada di sini," ucap Mas Ryan sambil mengusap kedua pipiku yang sudah basah oleh linangan air mata.
Dia berbalik, menangkup wajahku yang awalnya menunduk untuk ditatapnya. Selanjutnya Mas Ryan mendekap erat tubuhku dalam pelukannya. Nyaman, itu yang aku rasakan ketika berada dalam dekapannya.
Kurang lebih 5 menit kami saling berpelukan, mungkin merasa aku sudah sedikit tenang Mas Ryan melonggarkan pelukannya, "Sudah mau cerita?" ucapnya ketika netranya beradu pandang denganku.
Aku mengangguk, dan inilah saatnya aku memulai membuka masa laluku kepada Mas Ryan, sesuai saran Sena, aku akan memulainya dari sekarang.
Mas Ryan membawaku masuk ke kamar setelahnya kami duduk di tepi tempat tidur dengan posisi saling berhadapan.
"Dia calon mama mertuaku, Mas."
Mas Ryan masih diam, dan menunggu perkataanku selanjutnya, "Orang yang tadi kita temui di tempat makan, apa Mas tau kalau dulunya Nisya sudah sempat bertunangan dengan seseorang?"
Dia hanya menggeleng, "Tepatnya 2 tahun yang lalu, tapi seperti yang Mas tahu, kalau kami tidak berjodoh pada akhirnya, karena suatu kejadian yang harus memisahkan kami."
"Maafin Nisya, Mas," lirihku, kembali bulir-bulir bening itu lolos tanpa dikomando.
"Kenapa minta maaf?"
"Karena sudah tidak jujur dari awal, kalau Nisya sebenarnya masih memendam perasaan sama seseorang."
"Terimakasih, sudah mau jujur sama mas, sekarang kamu bisa menangis sepuasnya untuk terakhir kalinya, karena mulai besok mas yang akan berusaha untuk bahagiakan kamu."
"Kenapa, Mas nggak marah?"
"Mas bodoh kalau sampai marah sama kamu, hanya gara-gara masa lalu, sama sepertimu mas juga punya masa lalu. Tapi sekarang kita ada di masa depan dan mas nggak mau lagi kita bahas masa yang sudah lewat itu, cukup kita jadikan sebagai kenangan."
Aku semakin merasa bersalah terhadap Mas Ryan, kenapa dia bisa sebijak dan sebaik ini. Tangisku yang semula reda kini mulai terisak kembali setelah mendengar perkataannya."Tolong bimbing Nisya, Mas. Ajari Nisya untuk bisa mencintai Mas dengan tulus."
Mas Ryan lantas menariku ke pelukannya, "Mas nggak maksa kamu harus mencintai mas, cukup kamu mau hidup bersama mas itu sudah lebih dari cukup."
Setelahnya kita saling menatap dengan posisi aku masih dalam dekapannya, entah siapa yang memulainya semakin lama jarak antara wajah kami kian mendekat, bahkan bisa kurasakan hembusan napasnya yang menenangkan. Aku refleks memejamkan mata setelah kurasakan bibir lembapnya membelai lembut bibirku, dan aku pun tak ingin tinggal diam dan ikut membalasnya. Cukup lama sampai aku merasakan sesak karena kehabisan napas dan kami segera melepaskan diri.
Kulihat matanya yang sudah diliputi oleh gairah setelah ciuman panjang yang kami lakukan, setelahnya Mas Ryan langsung kembali menyerangku dengan ciuman yang kali ini tidak setenang tadi dan terkesan menuntut. Mas Ryan agaknya sudah tidak bisa menahan hasrat yang sudah di puncaknya.
Sampai akhirnya kami melakukan siang pertama kami dengan perasaan yang sama-sama masih baru kami rasakan.Cukup lama kami melakukan aktifitas yang melelahkan ini, aku bahkan sampai tak ingat kalau sebelumnya sudah merasa bersalah terhadap Mas Ryan, namun aktifitas ini seakan-akan melupakan semua permasalahan yang kami alami.
Bahkan saat ini aku masih berada dalam dekapannya, dengan kondisi yang sama-sama tidak memakai apapun di tubuh, hanya selimut tebal yang membungkus tubuh polos kami berdua.
"Biarkan seperti ini dulu, mas masih ingin bersamamu." Pintanya ketika aku akan beranjak untuk membersihkan diri.
Mas Ryan mencegahku dan kembali membawaku ke dalam dekapannya, dan berakhir kita yang sama-sama tertidur dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang melekat ditubuh.
Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju. Aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku ketika di rumah maupun di luar rumah. Seperti halnya rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini mulai rutin dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang. Baik itu melalui pesan singkat, maupun sambungan telepon langsung. "Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?" "Kenapa?" "Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar." "Mau kemana?" "Boleh nggak? Kalau enggak boleh ya nggak papa," tanyaku balik. Sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi nantinya, sebab aku masoh belum punya keberanian untuk membicarakan semua tentang masa laluku padanya. "Han
"Sialan! Kamu bener-bener ya, Nisya ... A arrrhhh! Bisa nggak kebiasaanmu yang satu ini dihilangkan! Untung ini jantung buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah tinggal nama aku, Nisya Kailandra!" Aku menghendikan bahu acuh dan masa bodo dengan amarah Yasa yang memenuhi ruangannya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk langsung masuk ke ruangannya tanpa permisi. Dan aku tentu sudah biasa dengan amarah Yasa setelahnya.Mengabaikan gerutuannya yang masih bisa kudengar, aku memilih abai dan mengambil duduk persis di hadapannya dengan dia yang lantas menggesel laptop ke samping untuk menyambut kedatanganku. "Gimana dengan masalah yang kemarin, sudah beres semua, kan?" "Kamu tanya beginian ada maksud apa? Dan lagi aku minta tolongnya sudah dari kapan, Ibu Guru Nisya yang sok sibuk!" "Biasa aja enggak usah ngegas, satu lagi aku memang benar-benar sibuk tahu!" "Sibuk apa? Ngurusin ha
Setelah insiden kemarin aku selalu dihantui rasa bersalah terhadap Mas Ryan, bukannya tidak mau jujur tetapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masa laluku. Beruntung Mas Ryan tidak lagi membahas masalah itu dan kembali melanjutkan pekerjaanya ketika Bayu datang saat akucakan menjawab pertanyaan mendebarkan itu. "Nis, Al sudah tidur?" tanya Mas Ryan saat menyusulku yang tengah menidurkan anaknya. "Sudah, kenapa?" "Bisa minta tolong?" Aku mengangguk, perlahan dengan hati-hati turun dari atas tempat tidur agar Alshad tidak sampai terbangun merasakan pergerakanku. "Buatkan mas kopi ya, sekalian antar ke ruang kerja mas." Pintanya ketika aku sudah berada didekatnya lalu menutup pintu kamar. Kembali aku mengangguk dan segera melakukan perintahnya. Mas Ryan, dia langsung menuju ruang kerjanya yang berada tepat di depan kamar utama. "Lembur, Mas?" tanyaku saat mengantar dan menaruh kopi pesanannya di at
"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?" Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri. "Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi. Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga. "Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia." "Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.
Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru. Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku. "Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor. "Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami. "Kapan ayah bilang begitu?" "Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak
"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?" Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya. "Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal. "Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya." "Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!" "Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. "Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?" "Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya. "Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia menga
"Masih belum selesai?" tanya Mas Ryan, memelukku dari belakang. Dengan melingkarkan lengannya di perut serta menempelkan dagunya di atas pundakku. Sehingga bisa aku rasakan hangat hembusan napasnya menerpa sisi wajahku. Aksinya ini membuatku mematung untuk beberapa, sebab belum pernah kejadian sebelumnya. Dan ini pertama kalinya dalam pernikahan Mas Ryan berani melakukan skinship denganku selain aktivitas ranjang tentunya. Karena sebelum ini jangankan pelukan, bergandengan tangan saja tidak pernah dilakukannya. "Tinggal sedikit lagi," balasku kikuk dan masih kurasakan debaran jantungku yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Aku sedang berkutat di dapur saat Mas Ryan menghampiri, berikut perlakuannya yang masih begitu asing buatku. Namun entah kenapa sudut terdalamku seolah tidak ingin ini cepat berlalu. "Biar mas yang lanjutin, kamu siap-siap sudah mas siapin airnya," Mas Ryan lantas mengambil alih pekerjaanku yang tengah membua
"Sudah semua, kan? Nggak ada yang tertinggal?" "Sudah, Mas sendiri ada yang mau dibawa lagi?" Mas Ryan menggeleng, "ayo!" ajaknya seraya membukakan pintu penumpang untukku. Weekend ini aku diajaknya liburan entah mau kemana, Mas Ryan tidak memberi tahuku. Alshad, anak itu tidak ikut karena sejak kemarin sudah diambil papa untuk menginap di rumah beliau. "Mas," panggilku. "Kenapa?" Mas Ryan melirikku sekian detik setelah itu fokusnya kembali pada kemudinya. Aku mengangkat tautan jemari kami, " Bisa nggak ini dilepas dulu? Nanti Mas susah dan makin capek nyetirnya." "Biasanya juga seperti ini, kan?" "Iya, tapi biasanya ...." Aku tidak lagi bisa melanjutkan kata-kataku, karena Mas Ryan secara tiba-tiba membawa jemariku untuk dikecupnya, sambil menoleh kearahku dan tersenyum tipis. "Kamu istirahat saja, nanti kalau sudah sampai mas bangunin," ucapnya sambil mengelus pelan