"Percaya sama papa, Ryan orang baik, papa yakin kalau kalian akan cocok nantinya. Lagian papa juga nggak mungkin asal memilih jodoh buat kamu, putri semata wayangnya papa.'
Teringat ucapan papa saat beliau memutuskan untuk menjodohkanku dengan Mas Ryan, awalnya aku menolak dengan tegas keinginan papa, bagaimana bisa aku menikah dengan seorang yang sama sekali belum pernah aku kenal. Terlebih dengan statusnya yang seorang duda dengan satu anak.
Atas paksaan papa dan juga mama akhirnya mau nggak mau aku terpaksa harus menerima Mas Ryan sebagai suamiku. Tentunya melalui banyak drama dariku yang berusaha agar papa luluh dan membatalkan niatannya itu. Namun ternyata tak seburuk bayanganku, aku mengira akan sulit menjalani pernikahan ini. Terlebih aku juga harus terpaksa menjadi ibu saat itu juga, aku tentu saja takut jika nantinya tidak bisa menjalani kewajibanku sebagai seorang ibu yang baik. Nyatanya ketakutanku terbantahakan pada akhirnya, karena justru kehadiran anak itu lah yang kini membuat hubungan kami berjalan dengan baik.
Kembali ke rutinitasku pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, karena beberapa hari terakhir aku selalu datang mepet waktu. Kesibukanku saat pagi memang memakan waktu yang cukup lama.
Mengurus suami serta anak terlebih dulu, nggak mungkin aku abai sama keperluan mereka terutama dalam hal makanan, sebisa mungkin aku membiasakan untuk sarapan bersama setiap pagi. Dan untuk itu tentu saja akulah yang harus menyiapkannya sendiri.
Karena tuntutan pekerjaan, aku diharus kan berangkat lebih dulu dari Mas Ryan, dan juga Alshad. Sebagai seorang guru di sekolah menengah atas, kami para pengajar dituntut untuk datang lebih awal dari para murid didik kami. Sebagai contoh bagi semua siswa di sekolah kami agar disiplin waktu.
Sudah jalan dua tahun aku mengabdikan diri sebagai pengajar, yang sebenarnya bukan cita-cita yang aku inginkan. Karena sesungguhnya cita-citaku sudah sepenuhnya aku realisasikan. Ini semua aku lakukan bukan murni dari hatiku, melainkan hanya sebagai bentuk penghargaanku kepada seseorang yang namanya bahkan sampai saat ini masih bertahta di dalam hatiku.
Apa aku jahat? Karena masih menyimpan perasaan kepada orang lain, padahal statusku sudah menjadi seorang istri. Aku sendiri tidak tau, ingin aku melupakannya dan mengganti dengan nama suamiku tapi tidak bisa.
Semakin aku berusaha melupakannya perasaan itu malah semakin kuat aku rasakan dan tak mungkin bisa tergantikan oleh siapapun.Sampai sekarang Mas Ryan tidak tau akan hal ini, yang dia tau hanya aku yang belum bisa mencintainya. Selebihnya dia tidak pernah mau tau tentang masa laluku. Tapi bukankah ini sudah adil? Sebab dirinya pun punya masa lalu yang sampai saat ini mungkin belum ada kata selesai di antara mereka. Karena sama seperti Mas Ryan, aku pun tidak pernah menanyakan perihal masa lalunya.
"Mas, sarapan sudah siap aku berangkat kerja dulu, ya," pamitku kepada Mas Ryan.
"Sarapan dulu, Nis, Nanti mas antar cuma nunggu sebentar bisa, kan?"
"Nggak usah Mas, aku langsung berangkat sendiri aja mumpung masih jam segini, belakangan aku mepet terus datangnya."
"Cuma lima menit, kamu juga pasti belum sarapan."
"Nggak sempat Mas, nanti aku sarapan di kantin saja," ucapku menolak tawarannya.
Aku segera mengulurkan tangan bermaksud untuk pamit kepadanya, namun Mas Ryan malah menarikku untuk duduk di sampingnya dan selanjutnya menyuapiku dengan makanan yang telah kusiapkan untuknya.
Akhirnya kami sarapan dalam diam, dengan Mas Ryan yang masih terus menyuapiku bergantian dengan dirinya sendiri. Dia melarang saat aku hendak mengambil piring untuk aku gunakan mengambil makananku sendiri.
"Biar mas saja kamu bawa Alshad, ke mobil dan juga barang-barang lainya jangan ada yang tertinggal," cegahnya saat aku akan membereskan meja makan.
Aku tidak bisa membantah setiap ucapannya, segera kuajak Alshad untuk bersiap dan menunggu di dalam mobil.
"Sudah semua kan? Nggak ada yang ketinggalan?" tanyanya setelah dia masuk dan duduk dibalik kemudi mobilnya.
Aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaannya, agak kesal sebenarnya tapi entah kenapa aku selalu tidak bisa melawan setiap perintahmya. Sebenarnya apa yang terjadi sama diriku ini, kenapa aku bisa begitu menurut terhadapnya? Alam bawah sadarku seolah menolak setiap kali Mas Ryan bersikap seperti ini, tapi entah kenapa ragaku selalu saja tak berdaya dibuatnya. Sehingga selalu saja menurut dan seolah menikmati setiap tindakan yang dilakukan olehnya.
"Al, yang pintar ya sekolahnya nurut sama ibu guru dan nggak boleh rewel," pesanku ketika mengantar Alshad sampai depan pintu gerbang sekolahnya.
Setelah memastikan anak itu masuk dan disambut oleh gurunya, aku langsung kembali masuk mobil untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju sekolah tempatku mengajar.
"Marah sama, mas?" tanyanya melirik ke arahku sekejap.
Mungkin dia ngerasa kalau aku sedang kesal padanya, "enggak, kenapa?" jawabku, dia hanya menghendikan bahu acuh dan kembali fokus dengan kemudinya.
Sesampainya di sekolah, aku langsung pamit dengan mencium punggung tangannya, dan dibalas kecupan hangat di keningku juga usapan lembut di puncak kepalaku. Hubungan kami memang tanpa cinta, tapi sebisa mungkin kami menjalani pernikahan ini selayaknya pasangan normal lainnya. Seperti ritual ini yang sudah wajib kami lakukan, terlebih Mas Ryan sendiri yang memulainya sejak awal aku resmi menyandang status sebagai istrinya.
"Hubungi mas, jam berapapun kamu selesai mengajarnya."
"Aku pulang sendiri saja, Mas. Lagian jam pulangnya Nisya juga nggak menentu."
"Nggak masalah, bukanya tadi sudah mas katakan jam berapapun kamu selesai."
"Aku bisa pulang sendiri ....""Mas tau, cuma tolong Nis mulai sekarang gunakan mas ini sebagai suamimu, bisa?" pintanya.
"Selama ini selalu kamu yang direpotkan untuk mengurus kami, kali ini biarkan mas sedikit berguna untuk kamu," sambungnya.
"Nggak gitu, Mas. Cuma ...."
"Mas berangkat, ingat pesan mas tadi," putusnya tanpa mau mendengarkan ucapan yang akan aku lontarkan.
Sepeninggal Mas Ryan, aku langsung melangkah menuju ruanganku. "Senangnya yang pagi-pagi sudah diantar mas suami," celetuk salah satu guru di sini yang sialnya dia adalah sahabatku.
Pastinya dia akan terus menggodaku seharian ini. "Biasa aja," balasku cuek tanpa mau menoleh ke arahnya dan terus melangkah menuju ruang guru.
"Masih pagi sudah judes aja Mbak, kenapa? Nggak dapat jatah dari Mas Ryan, tah, semalam?" ucapannya kubalas dengan pukulan di lengannya.
"Nggak sadar tempat banget kalau ngomong." Dia malah terkekeh geli menanggapi kekesalanku.
Arsena Nadhira, sahabatku yang sudah tau seluk beluk perjalanan hidupku selama ini. "Nanti mau mampir nggak? Maaf minggu kemarin aku ada urusan jadi belum sempat ke sana."
"Kayaknya nggak bisa, Sen. Mas Ryan maksa mau jemput, nitip salam aja, ya."
"Cie, yang sekarang sudah ada yang antar jemput," ujarnya mulai menggodaku.
Sena, dia tidak akan berhenti untuk cengin aku. Maka aku putuskan untuk lekas meninggalkannya. Mengabaikan ocehan Sena yang masih bisa kudengar, aku nggak mau tambah badmood pagi-pagi karena membahas masalah ini. Kasian nanti murid-muridku kalau sampai kena imbasnya.
Bukan tidak sadar jika belakangan ini Mas Ryan mencoba untuk mendekatkan diri padaku, tapi aku tidak menyangka kalau akan secepat dan sedrastis ini Mas Ryan melakukan niatannya. Dan yang aku sesalkan kenapa aku seolah-olah nyaman dan tidak mampu untuk menolak setiap perhatian juga perlakuan manis darinya. Seperti pagi tadi, aku bahkan tidak dapat menolak saat dia menyuapiku makan.
Apa aku sudah mulai menerimanya? Kurasa tidak karena sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan 'dia' dari ingatanku. Bayang-bayang wajahnya masih bisa aku ingat bahkan sampai saat ini.
Sebelum masuk kelas untuk mengajar, ponsel yang berada di dalam tas berdering. Masih ada sedikit waktu untuk membuka pesan tersebut dan mencari tau siapa gerangan yang sudah mengirimkan pesan itu padaku.
Hanya satu baris kalimat singkat dan nama pengirim yang tertera di atas layar, tetapi efeknya bisa sedahsyat ini buatku. Bahkan jantungku terasa semakin kuat detakannya dan juga aku merasa seperti ada kupu-kupu yang sedang berterbangan di dalam perutku.
"Selamat bekerja!"
Beserta emoji love diakhir kalimatnya.
"Nisya, makan yuk!" Arsena menghampiriku saat jam istirahat tiba, dengan membawa dua buah kotak bekal tup***ware. Yang aku tahu pasti dari siapa pengirimnya. "Dikirim lagi?" Dia mengangguk, "Iya, pokoknya sebelum aku maafin, pasti dia bakal kirim terus. Dia tau banget kalau aku lemah sama makanan buatannya. Cuma disogok ginian aja udah bikin aku luluh, murahan banget ini perut." "Kali ini gara-gara apa lagi?" "Biasa, nggak usah ditanya," ketusnya sambil cemberut. Sena lantas duduk di depanku dan menata bekal yang dibawanya di atas meja. Dengan aku yang lebih dulu menyingkirkan tumpukan kertas berukut menggeser laptop ke samping. "Sekali-kali ngalah Sen, masak mau rebutan sama anak SMA, malu tuh sama anak didikmu." "Kamu nggak tau aja Nis, betapa ngeselinya keponakannya itu, kelaminnya doang cowok tapi mulutnya subhanallah ngalah-ngalahin si Angel anak IPA 1 itu." Sepertinya dia lagi ngambek lagi sama pacarnya, ter
"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja." "Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan. "Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan. Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju. Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya. "Mas, mau nambah lagi?" "Enggak, mas sudah cukup kenyang." "boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau." "Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya. Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil
Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju. Aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku ketika di rumah maupun di luar rumah. Seperti halnya rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini mulai rutin dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang. Baik itu melalui pesan singkat, maupun sambungan telepon langsung. "Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?" "Kenapa?" "Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar." "Mau kemana?" "Boleh nggak? Kalau enggak boleh ya nggak papa," tanyaku balik. Sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi nantinya, sebab aku masoh belum punya keberanian untuk membicarakan semua tentang masa laluku padanya. "Han
"Sialan! Kamu bener-bener ya, Nisya ... A arrrhhh! Bisa nggak kebiasaanmu yang satu ini dihilangkan! Untung ini jantung buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah tinggal nama aku, Nisya Kailandra!" Aku menghendikan bahu acuh dan masa bodo dengan amarah Yasa yang memenuhi ruangannya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk langsung masuk ke ruangannya tanpa permisi. Dan aku tentu sudah biasa dengan amarah Yasa setelahnya.Mengabaikan gerutuannya yang masih bisa kudengar, aku memilih abai dan mengambil duduk persis di hadapannya dengan dia yang lantas menggesel laptop ke samping untuk menyambut kedatanganku. "Gimana dengan masalah yang kemarin, sudah beres semua, kan?" "Kamu tanya beginian ada maksud apa? Dan lagi aku minta tolongnya sudah dari kapan, Ibu Guru Nisya yang sok sibuk!" "Biasa aja enggak usah ngegas, satu lagi aku memang benar-benar sibuk tahu!" "Sibuk apa? Ngurusin ha
Setelah insiden kemarin aku selalu dihantui rasa bersalah terhadap Mas Ryan, bukannya tidak mau jujur tetapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masa laluku. Beruntung Mas Ryan tidak lagi membahas masalah itu dan kembali melanjutkan pekerjaanya ketika Bayu datang saat akucakan menjawab pertanyaan mendebarkan itu. "Nis, Al sudah tidur?" tanya Mas Ryan saat menyusulku yang tengah menidurkan anaknya. "Sudah, kenapa?" "Bisa minta tolong?" Aku mengangguk, perlahan dengan hati-hati turun dari atas tempat tidur agar Alshad tidak sampai terbangun merasakan pergerakanku. "Buatkan mas kopi ya, sekalian antar ke ruang kerja mas." Pintanya ketika aku sudah berada didekatnya lalu menutup pintu kamar. Kembali aku mengangguk dan segera melakukan perintahnya. Mas Ryan, dia langsung menuju ruang kerjanya yang berada tepat di depan kamar utama. "Lembur, Mas?" tanyaku saat mengantar dan menaruh kopi pesanannya di at
"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?" Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri. "Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi. Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga. "Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia." "Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.
Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru. Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku. "Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor. "Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami. "Kapan ayah bilang begitu?" "Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak
"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?" Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya. "Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal. "Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya." "Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!" "Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. "Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?" "Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya. "Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia menga