Setelah permainan panas yang kami lakukan, membuatku semakin terlena dan tidak ingin waktu berlibur ini cepat berlalu, Mas Ryan juga semakin menunjukan sifat romantisnya kepadaku.
"Ada apa? Tumben banget kamu jadi manja gini, mau melakukannya lagi, heemm?" tanyanya sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan mengecup bibirku kilat."Enggak dulu ya, Nisya masih capek tahu!"Kudengar Mas Ryan terkekeh geli, mungkin sedang menertawakan kelakuanku. Aku bahkan malu pada diriku sendiri jika ingat apa yang sudah kuperbuat. Bisa-bisanya aku bersikap seperti itu, ya Tuhan sebenarnya apa sedang terjadi pada diriku ini.Minggu malamnya kami sepakat untuk pulang, setelah sebelumnya Mas Ryan ingin menambah satu hari lagi tapi dengan tegas aku tolak. Bukan tidak ingin tapi ini tentang tugas dan tanggung jawab yang sudah kami emban. Diperjalanan pulang, kulihat gelagat aneh dari Mas Ryan, dia seperti gelisah terlihat dari bahasa tubuhnya yang["Nis, kapan ada waktu? Aku perlu bantuanmu, atau biar aku saja yang datang ke rumah, gimana?"] Pesan dari Yasa, baru kubuka setelah jam istirahat tiba, kalau sudah begini artinya dia memang sedang butuh bantuanku, karena Yasa hanya akan menghubungiku untuk itu, dan sangat jarang dia lakukan selama ini. ["Aku saja yang ke kantor."] Segera aku kirim balasan pesan kepadanya.Untuk kelas selanjutnya aku bisa meminta tolong Sena menggantikanku, semoga saja dia mau. Aku memandang bangunan 5 lantai di depanku ini dangan berbangga hati, aku tidak menyangka jika usaha yang kubangun dulu bisa sebesar ini. Aku sendiri yang mendesain bangunan ini bersama Yasa, dia orang yang kupercaya untuk memegang penuh kantor ini. Setelah kurang lebih dua tahun yang lalu aku memilih undur diri dari kursi kepemilikan. Setelah puas melihat wujud keberhasilan usahaku, dengan langkah santai aku mema
Belum dijemput, Nis?" tanya Sena menghampiriku."Belum, Mas Ryan masih ada kerjaan kayaknya, kamu bukanya sudah pulang tadi?""Iya,flashdiskku ketinggalan untung belum jauh, jadi Mas Biru masih mau putar balik.""Kebiasaanmu yang satu ini sudah nggak tertolong lagi ya, Sen," kataku menggelengkan kepala, "untung masih ingat kalau sudah punya Mas Biru, kalau nggak bisa kupastikan Mas Birumu, akan diambil orang karena sering kamu lupakan" sambungku."Huusss! sembarangan kalau ngomong, lupa kalau ada dua malaikat yang selalu mengaminkan setiap ucapan yang keluar dari mulut kamu Nisya! ish, kamu mah gitu, suka banget bikin aku kesel."Sena menghentakkan kaki melangkah menuju mejanya berada, setelah mengambil sesuatu yang dimaksud dia kembali lagi menghadapku, "Ayo! Bareng sekalian biar Mas Biru yang anterin," ajaknya, dan langsung kusetujui tanpa tapi.Sudah jam tiga lebih dan Mas Ryan belum juga membalas pesanku, mungkin masih sib
"Selamat pagi, Bu Nisya." Sapa salah satu murid yang kata Sena kesayanganku, aku memanggilnya karena ada sesuatu yang ingin aku bicarakan berdua dengannya. Alina, aku bangga memiliki murid sepertinya. Selain pintar dia juga mandiri, apalagi setelah tahu satu fakta yang membuatku semakinrespectsama pribadinya. Alina, ternyata tumbuh sebagai korbanbrokenhome, sejak usianya sepuluh tahun dia sudah diasuh oleh tantenya, adik dari mendiang ibunya.Dari Sena aku mengetahui fakta ini, karena abang dari Mas Biru belum lama ini menikah dengan tante dari Alina. Dan ada satu fakta lagi yang baru kuketahui beberapa hari terakhir, Alina dia juga bekerja paruh waktu untuk biaya sekolah dirinya dan juga sang adik yang masih duduk di kelas 9 SMP."Alin, nggak mau jadi beban buat tante lagi, Bu. Sudah cukup selama ini kami menyusahkanya, dengan kehadiran Alin dan juga adek. Banyak yang harus dikorbankan oleh tante kami,
"Marah sama, mas?" Mas Ryan menghampiriku yang tengah menyiapkan sarapan. Semalam setelah pergi ke kamar Alshad, aku memang memilih untuk tidur di sana dengan mengunci pintuya dari dalam. Bukan karena marah sama Mas Ryan, melainkan aku yang ingin menyendiri agar tidak mendengar obrolan mereka tentang anaknya. Yang membuatku semakin dilanda kerinduan dengan sosok anak kecil itu. Aku tertidur dalam keadaan yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja, sebab bayang-bayang Alshad selalu menghantuiku ketika mataku terpejam. Mungkin terlalu lama menangis, sehingga saat pagi aku terbangun masih kudapati bekas air mata yang mengering di wajahku. "Enggak, kenapa harus marah?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya. "Dan kenapa memilih tidur di kamar sebelah?" tanyanya, sejenak menghentikan kegiatanku. Aku mendengkus tanpa sadar, "Nisya hanya kepikiran sama Al, makanya semalam tidur di kamarnya," kilahku. Melanjutkan kembali kegiatanku denga
Aku menepati ucapanku kemarin untuk pulang pagi-pagi sekali. Sampai rumah kulihat Mas Ryan sedang berada di kamar mandi, dan aku pun langsung berganti pakaian dengan baju kerja sesuai jadwal hari ini.Mas Ryan, sepertinya cukup kaget melihatku yang sudah berada di kamar. Sesuai permintaannya kemarin, aku sudah siap untuk diajaknya bicara. Dengan terlebih dulu berpakaian sebelum akhirnya menghampiriku. "Kamu menghidar dari mas, Nisya?" tanyanya memulai obrolan kami."Jujur iya, Nisya merasa sedikit butuh menjauh dari Mas untuk memulihkan kembali otakku agar tidak ada prasangka buruk terhadap, Mas.""Prasangka buruk tentang mas?" menunjuk dirinya sendiri, "memang, apa yang sedang kamu pikirkan tentang mas? Apa mas ada buat salah sama kamu?""Mas, merasa ada salah nggak sama Nisya?" Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan kembali."Mas minta maaf kalau ada salah sama kamu.""Memang apa kesalahan, Mas?"Dia menggeleng lesu, "
"Apa ini?" tanya Mas Ryan ketika aku mengulurkan amplop berwarna cokelat kepadamya. "Nisya besok minta ijin mau menampingi murid yang akan mengikuti olimpiade," Aku menyebutkan kota yang akan kukunjungi, "dan yang Mas pegang itu adalah surat tugasnya yang sudah Nisya tanda tangani."Setelah mengutarakan tujuanku, aku lantas berkemas dengan mengambil tas ransel untuk tempat perlengkapanku selama disana. "Kenapa baru bilang sekarang?" menghela napas kasar sepertinya dia tidak terima soal ijinku,"setelah kamu mempersiapkan keberangkatanmu!" lanjutnya."Maaf, kemarin lupa mau bilangnya.""Berapa lama?" tanyanya kembali."Tiga hari.""Salama itu? Apa memang harus kamu yang ikut?""Ada guru lain juga, berhubung Nisya sebagai wali murid siswa yang akan mengikuti lomba, jadi mau nggak mau Nisya yang harus mendampingi mereka.""Laki-laki apa perempuan?""Apanya?""Guru lainya yang ikut pergi."
Jelas itu bukan suaraku, melainkan sosok yang sedari tadi sudah memenuhi pikiranku. Mas Ryan, tanpa aba-aba langsung menarikku ke sisinya. Aku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba menyusulku ke sini."Maaf, kalau begitu saya permisi ingin menyusul anak-anak."Pak Adit melangkah meninggalkanku dan Mas Ryan, kulihat dia sedang menahan emosi, terlihat jelas dari rahangnya yang mengeras dan juga wajahnya merah padam.Mas Ryan tanpa kata membawaku ke salah satu kamar hotel yang mungkin saja sudah dipesannya entah dari kapan, sepertinya Mas Ryan sempat beristirahat juga di sini sebab tempat tidurnya yang sudah tak serapi ketika pertama kali datang.Dengan sedikit kasar Mas Ryan melepaskan genggaman tangannya, "Apa sudah cukup waktumu bersenang-senang, Nisya!" ucapnya penuh penekanan disetiap perkataannya."Maksud Mas apa?""Sepertinya kamu sangat menikmati kebersamaan kalian di sini.""Nisya nggak ngerti sama arah pembicaraan
"Nisya! kenapa bisa sampaidropbegini, sih."Arsena, dia datang mengunjungiku berikut pasukannya ikut serta, Mas Biru juga keponakan tengilnya, Wira. Sakitku kemarin berujung aku yang berada di sini, di tempat yang paling kuhindari, apalagi dengan selang infus yang menempel di punggung tanganku.Aku dilarikan ke rumah sakit oleh Mas Ryan, sehari setelah kepulanganku. Demam yang kurasakan tidak kunjung turun dan malah semakin parah sehingga membuatku harus mendapatkan perawatan di rumah sakit."Aku manusia Sen, bukan robot yang hanya butuh diisi baterai jika tenaganya habis.""Tetap ya Nis, dalam keadaan sakit pun perkataanmu masih saja ngeselin," ketusnya."Sakit apa, Nis?" tanya Mas Biru yang sedari tadi hanya melihat keributan yang tunangannya perbuat."Kecapean saja Mas," balasku menatapnya, "terimaksih sudah mau jenguk Nisya," sambungku."Bu Nisya cepat sembuh ya, hampir satu minggu ibu absen tidak ke sekolah,