Aku duduk dengan tegak dan posisi kaki mengatup rapat di sofa ruang tamu. Meski tentu saja sofa itu empuk, tetapi rasanya aku seperti duduk di atas kursi besi yang di bagian bawahnya ada tungku yang menyala. Rasanya super duper tidak nyaman!
"Nen, sebenarnya aku di sini ngapain, sih?" Bayu berbisik dari tempatnya di sofa sebelah kiriku. Matanya melirik gelisah ke arah sekat yang memisahkan ruang tamu dan bagian dalam rumah. Tampak keadaan di sana masih hiruk-pikuk akibat Ibu yang mendadak pingsan lagi. Namun, bukannya dibebaskan, kami malah disetrap berdua di ruang tamu. "Nen, kok kamu diem aja?" Bayu berbisik lebih keras karena aku tak menanggapi. Dia lalu mencolek punggung tanganku yang melekat di atas paha. "Aku pulang, ya?" Sontak aku langsung menoleh dan memasang ekspresi paling horor yang pernah aku buat. Mataku terbuka lebar-lebar, seolah hendak meloncat dari lubangnya. Hidungku kembang-kempis. Saat ini aku pasti hampir sama menyeramkannya dengan hantu Nang-Nak, dedemit paling terkenal dari negeri gajah putih. "Yu, ingat, ya. Kalau kamu sampai bergerak satu senti pun dari tempat ini ..." Aku menatap matanya lekat-lekat. "Lo-gue-end!" ancamku penuh penekanan sambil menggesekkan tangan kanan di leher dengan dramatis, menirukan gerakan seperti kang jagal yang menggorok korbannya. Glek! Bayu tampak susah payah menelan ludah. Meski berat, aku yakin dia tidak akan membiarkan ikatan di antara kami yang terjalin sejak orok putus begitu saja. Aku kembali memfokuskan pandangan ke depan. Obrolan absurd singkat dengan Bayu barusan rupanya bisa membuatku tanpa sadar sedikit rileks. Tidak bisa kubayangkan jika aku terus duduk tegang seperti tadi selama berjam-jam. Bisa-bisa saat bangkit nanti encok pinggangku! Maklum, tulang-belulang jompo! Sayangnya, di saat yang hampir bersamaan Bapak muncul tanpa pemberitahuan, seperti tukang parkir yang suka tiba-tiba nongol saat kita mau kembali ke jalanan. Punggungku langsung menegak dengan cepat. Sampai-sampai terdengar bunyi 'krek' diikuti ekspresiku yang meringis kesakitan. Astaga, semoga saja tidak ada sarafku yang kecetit! "Neni. Kamu tahu kalau kamu sudah bikin masalah besar?" Bapak yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan kami bertanya dengan suara berat sambil memijit keningnya. "Siap, tahu, Pak!" "Calon suami yang kamu bawa itu ternyata bukan pria baik-baik dan malah bikin kacau rumah ini." "Siap, betul, Pak!" "Coba kalau kamu lebih selektif dan hati-hati ..." Bapak masih terlihat marah, lelah, dan kesal. Tangannya tak henti memijit. Jadi, aku kembali menjawab dengan suara lantang, "Siap, salah, Pak Mendadak gerakan tangan Bapak terhenti. Beliau lantas melirikku tajam. "Kamu ini dibilangin malah 'siap-siap ' terus! Memangnya militer?" "Siap—eh." Buru-buru aku merevisi ucapan. "Maaf, Pak. Kebawa suasana. Habisnya dari tadi duduk tegang rasanya kayak mau dikirim ke medan perang aja," terangku sambil menyengir. "Ppfft!" Bayu tampaknya tidak bisa menahan rasa geli mendengar alasan konyolku. Untung saja dia masih bisa menahan tawa sehingga tidak sampai menyembur di depan muka Bapak. Bapak hanya geleng-geleng kepala. Beliau kemudian menarik napas dalam. "Kita lagi nggak dalam posisi bercanda, Nen. Ini masalah serius." Nada bicaranya berubah, tidak lagi naik. "Iya, Neni tahu, Pak," sahutku yang langsung dapat sodokan di siku dan pelototan dari Bayu. "Sst! Dengerin dulu, Nek! Jangan nyahut mulu kayak kabel korslet!" tegurnya dengan volume rendah, tetapi aku masih bisa mendengar konsentrasi kekesalan yang pekat dalam suara Bayu. Wajah Bapak terlihat sangat frustrasi. "Lalu, gimana kalau ternyata dia kabur kayak gini? Pernikahannya batal? Aku mengangkat bahu tak acuh. "Ya mau gimana lagi." Bukannya senang mendengar jawabanku yang tidak lagi memakai kata "siap-siap", Bapak malah semakin memelototkan mata seperti singa jantan hendak menerkam mangsa. "Terus undangan, katering, segala macem yang udah disiapkan gimana?! Ya Allah Gusti, Neniii!" Usai melolong seperti itu sambil menepuk jidat, bahu Bapak merosot lemas. Begitu pula dengan tubuhnya yang langsung ambruk ke sandaran sofa. Aku sampai khawatir kalau Bapak pingsan juga seperti Ibu. Nanti siapa yang mau memindahkan ke kasur? Orang bapakku badannya sebelas-dua belas sama Mat Solar saat main di sitkom Bajaj Bajuri! "Pak, kan masih bisa dibatalin," ujarku lembut, berusaha meredakan amarahnya. "Nanti bisa minta uangnya dibalikin, kok. Meski kena biaya charge. Toh masih kurang seminggu lagi." Daripada nggak sama sekali! sambungku dalam hati. Andai saja aku tidak tertipu si Anggara curut itu, pasti dengan sukarela aku akan memberikan seluruh tabunganku untuk menambal kerugian materiil akibat kegagalan pernikahan ini. Apalah daya, saat ini pun saldo rekeningku dalam kondisi mengenaskan. "Bukan perkara duitnya aduh, Neeen!" Bapak berseru. Suaranya seperti hampir ingin menangis. "Mau ditaruh di mana muka Ibu dan Bapak?! Kamu itu udah hampir 30 tahun! Keluarga besar udah pada seneng akhirnya kamu mau nikah. Tapi kok ... aduh, aduh!" "Sabar, Pak. Sabar ...." Bayu berinisiatif bangkit dan beranjak merangkul Bapak, serta menepuk-nepuk bahu beliau yang tampak bergetar. Sementara aku hanya mematung di tempat, menyaksikan Bapak yang biasanya tegar dan kuat seperti arca Gajah Mada, kini terlihat begitu rapuh seperti bisa pecah kapan saja. "Mmm ... gini, mohon maaf sebelumnya kalau kesannya saya ikut campur. Tapi biar Pak Bambang dan Bu Ani nggak malu, terus vendor, katering, dan segala macamnya nggak rugi-rugi amat, gimana kalau diganti aja acaranya?" saran Bayu takut-takut. Mungkin khawatir kalau tiba-tiba Bapak kalap dan menelannya karena murka. "Acaranya diganti gimana maksud kamu?" tanya Bapak sambil melempar lirikan tajam. "Anu, yaaa ... mungkin ada saudara atau sepupunya Neni yang sudah punya calon dan mau nikah dalam waktu dekat." Bayu menoleh ke arahku saat menyampaikan ide itu, tetapi aku menggeleng karena di keluarga besar kami sama sekali tidak ada yang memenuhi kriteria itu. "Atau ganti acara sunat?" Bayu menyarankan lagi. Bapak langsung menegakkan badan. "Siapa yang mau disunat? Kamu?" Refleks Bayu menutupi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan. "Eits, jangan dong, Pak! Wah ...." Dia lalu garuk-garuk kepala, bingung. Setelah beberapa saat, kami terdiam, berusaha mencari jalan keluar lewat pikiran masing-masing. Sebenarnya apa yang disarankan Bayu adalah ide yang bagus. Selain menyelamatkan wajah Bapak dan Ibu dari tamu undangan, tidak rugi dan mubazir juga uang yang sudah dikeluarkan untuk membiayai ini dan itu. Hanya saja yang jadi masalah, siapa objek yang mau ditumbalkan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan itu seperti berlari-lari dalam labirin yang ujungnya buntu. Aku merasa lelah dan haus, apalagi Bayu tidak membelikan minum apa pun usai mengajak makan cilok tadi. Lantas tanganku bergerak meraih air gelasan yang selalu disediakan Ibu di meja tamu, tidak ketinggalan juga dengan sedotannya. Bunyi renyah ujung tajam sedotan yang menembus plastik tipis penutup gelas mengusik sejenak keheningan yang ada. Aku pun menyeruput air dengan nikmat, melupakan sejenak keruwetan yang membelit hidupku. "Yu." Tiba-tiba Bapak memanggil Bayu yang sudah kembali duduk di sebelahku dengan suara berat dan pandangan lekat. Jika sudah dalam mode seperti ini, aku bisa memastikan kalau Bapak sedang serius. "Ya, Pak?" Bayu masih bisa menjawab enteng tanpa beban. "Gimana kalau kamu?" "Ya? Apa? Tapi kan saya sudah su—" Bapak dengan cepat memotong, "Bukan! Maksud saya, gimana kalau kamu yang jadi mempelai prianya?" Buuurr!! Seketika air yang hendak kutelan menyembur keluar mengenai muka Bapak.Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris
Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi
Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.
Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin
Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w
Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil