Gara-gara calon suami tiba-tiba kabur sambil membawa uang puluhan juta milikku seminggu sebelum hari pernikahan, Bapak mengusulkan agar mempelai prianya digantikan oleh Bayu, sahabatku dari orok yang jendela kamarnya tepat berhadap-hadapan dengan kamarku. Lebih mengejutkannya, Bayu yang sudah pernah gagal sekali dalam pernikahan itu setuju dengan ide di luar nurul tersebut. Bagaimana aku dan Bayu bisa menikah? Padahal selama ini kami tidak saling memandang satu sama lain sebagai lawan jenis! Ditambah lagi, rumornya Bayu bercerai karena dia tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami Akankah pernikahan ini bertahan? Atau justru kami harus menelan pil pahit untuk yang kedua kali?
Lihat lebih banyak[Nen, maaf sebelumnya. Tapi kayaknya hubungan kita nggak bisa dilanjut lagi. Aku bener-bener menyesal dan mohon maaf sebesar-besarnya. Kamu wanita yang baik. Kamu pasti bisa dapat pendamping yang lebih baik dari aku. Sekali lagi maaf, kita putus. Salam —Anggara]
"APA?! PUTUS???!" Gara-gara terlalu fokus dengan ponsel, tanpa sadar aku menjerit. Lupa kalau di sekelilingku ada bude, bulik, dan kerabat lain yang sedang duduk melingkar sambil memasukkan bungkusan kacang telur ke dalam stoples. "Ada apa tho, Nduk? Kok teriak-teriak begitu?" tanya Bude Sri, saudara tertua Ibu. "Iya, nih! Untung Bulik nggak njingkat terus toplesnya kelempar. Nanti morat-marit semua!" Sekarang ganti Bulik Narni yang berkomentar. Bungkusan kacang telur dan stoples-stoples itu rencananya akan dibagikan sebagai suvenir di resepsi pernikahanku nanti. "Memang siapa yang putus, Mbak? Kok sampai histeris begitu?" Dina, anak Bulik Narni yang tertua menatapku penasaran. Begitu pun dengan orang-orang lain di sekitar, termasuk Ibu. Aku yang sudah panik, bingung, gelisah, jadi makin mulas tidak karuan. "Itu ... anu ... emm ... artis Korea!" kilahku sekenanya. Mereka kompak ber-oh panjang, termakan kebohonganku. Meski berhasil berkelit, tetap saja rasa mulasku tidak kunjung hilang. Tentunya ini bukan karena sakit perut, karena pagi tadi usai bangun tidur aku sudah menunaikan 'panggilan alam' sesuai jadwal. "Mmm ... aku ke WC dulu!" pamitku, lantas segera meloncat pergi menghindari kecurigaan lebih lanjut. Di toilet, aku kembali membuka ponsel dan membaca ulang pesan tadi sambil jongkok di atas kloset, mendalami peran sedang buang air besar. "Nen, maaf blablabla ... wanita yang baik blabla ... sekali lagi maaf, kita putus. Astaga!" Kutepukkan ponsel ke jidat saking tak habis pikir, lalu setelahnya aku memekik kecil karena kesakitan sendiri. Sungguh, bagaimana bisa hal sesial ini menimpaku? Cepat-cepat aku mengetikkan balasan untuk WA-nya. [Putus? Maksud kamu apa?] [Kamu nggak lagi bercanda, kan?] Sayang kedua pesan beruntunku itu hanya mendapat centang 1 dari operator. Aku semakin gelisah dan tanpa sadar menggigit-gigit ujung ponsel. Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku telepon saja Anggara? Namun, baru saja jempolku yang gemetaran hendak menekan ikon 'telepon', pintu kamar mandi bergetar akibat gedoran kencang dari luar. "NENII! JANGAN LAMA-LAMA DI DALAM! BAPAK MULES!" Ponselku melompat dan hampir saja masuk ke lubang pembuangan WC. "Aduuh ... iya, iya, Bapak. Aku keluar! Nggak sabaran amat, sih!" sungutku seraya bangkit usai memungut ponsel yang jatuh ke lantai kamar mandi dengan mengenaskan. Saat kuperiksa sekilas, untung saja layarnya tidak pecah. "Huuu! Kamu tuh, yang kalau nggak mau BAB jangan nongkrong di WC!" sahut Bapak seraya melangkahkan kaki masuk. Aku menoleh dengan raut terbengong. "Kok Bapak tahu?" "Ya tahu lah ... tuh, nggak ada jejak baunya!" Aku segera menepuk jidat. Astaga, ngapain juga pakai tanya-tanya kayak orang bego? Berhubung tempat persemedianku di WC sudah tergusur oleh Bapak, aku pun pindah ke kamar. Di tempat ini, aku segera melancarkan aksi menelepon Anggara yang tadi belum sempat terlaksana. Sambil berjalan mondar-mandir, aku menunggu operator menyambungkan panggilanku. Sayang, bukan bunyi 'tuuut' ala peluit kereta api yang kudengar, melainkan suara merdu mbak-mbak yang terdengar menjengkelkan. "Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif ..." "Hish! Kok pakai nggak aktif segala, sih?!" Aku kembali menekan-nekan layar ponsel dengan emosi, lalu mendekatkannya lagi ke telinga. Perasaanku kian tak karuan seperti semangkuk besar es campur yang diaduk-aduk pakai irus saat hendak dituangkan ke gelas supaya bisa menyerok banyak isinya. Ayolah, nyambung ... nyambung ... "Nomor yang Anda hubungi sedang ..." "Aaaargh!" Karena kesal, aku berteriak sambil membanting ponsel ke tempat tidur. Bagaimana ini? Kenapa laki-laki itu tidak bisa dihubungi? Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa Anggara mengatakan putus, tepat seminggu sebelum pernikahan kami?! Aku menggeleng cepat, tidak ingin membiarkan pertanyaan-pertanyaan terus bersemerawut di kepala. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus mencoba menghubungi Anggara sekali lagi. Ponsel kembali kuraih. Kali ini, aku mengucap bismillaahirrahmaanirrahiim dulu sebelum menekan ikon gagang ponsel berwarna hijau. Sayangnya meski sudah berdoa sambil menyebut nama Allah, tetap saja respons dari si Mbak mesin operator yang kudapat, bukan Anggara. Sekali lagi aku membanting ponsel ke kasur dan mengerang kesal. Kepalaku rasanya mau meledak. Kalau aku tidak bisa menghubungi dia dan kami benar-benar putus, lalu bagaimana dengan pesta pernikahan dan undangan yang sudah disebar? Tentu masalah ini benar-benar gawat! "Hoi, Nen! Teriak-teriak mulu dari tadi! Ngapain, sih? Udah nggak sabar mau kawin, ya?!" Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah jendela. Aku yang sudah terbakar seperti seblak level seratus langsung menoleh dengan ekspresi garang. "Woy, mulut dijaga! Sembarangan aja ngomongnya!" Aku mendengkus keras. Barangkali asap panas juga keluar dari hidungku seperti ilustrasi banteng ngamuk di film-film kartun. Padahal kepalaku sedang mumet. Bisa-bisanya Bayu, tetangga persis sebelah rumah, malah muncul di jendela kamarku dan menambah keruwetan. Bukan sekali-dua kali dia seperti ini. Malah sejak kecil kami memang terbiasa saling bergantian mengunjungi jendela kamar masing-masing atau berkomunikasi lewat jendela karena posisinya yang tepat berhadap-hadapan. Meski semenjak SMP, Bapak dan Ibu sudah sering melarangku dan Bayu supaya berhenti berkomunikasi lewat jendela. Tidak elok dilihat orang katanya karena kami sudah beranjak dewasa. Namun, tetap saja kami melakukannya secara sembunyi-bunyi. "Lagian kamu berisik mulu dari tadi kayak kucing kebelet kawin. Memang ada apa, sih? Kusut banget mukanya." Aku menatap Bayu dengan saksama. Meski sambil melontarkan ledekan, tetap saja aku bisa melihat raut kekhawatiran dan ingin tahu di wajahnya. Aku pun mengembuskan napas panjang hingga ekspresiku sedikit lebih lembut. Kulangkahkan kaki panjang-panjang, menghampirinya yang masih berdiri di luar jendela. "Yu, aku lagi ada masalah gawat banget, nih," ucapku setengah berbisik, membuka sesi curhat. Bayu tampak siap mendengarkan. Ekspresinya berubah ke mode serius. "Jangan bilang kalau kamu ...," Bayu menurunkan pandangan ke arah perutku dengan tatapan ngeri, "isi duluan?" Plakk!! Tanpa menunggu menit kedua, aku langsung menggeplak belakang kepalanya. "Dibilangin jangan ngomong sembarangan! Kamu kira aku kayak mantan istri kamu yang gampang dicolokin kayak kabel rol?!" Saking kesalnya tanpa sadar aku mengulik luka lama Bayu. Dia sampai mendelik, tetapi tidak mau memperpanjang perdebatan kami. "Ehm, sorry," ucapnya kemudian sambil berdeham. "Kalau gitu masalah kamu apa?" Mukaku kembali lesu. Aku membuang napas panjang. "Anggara tiba-tiba bilang putus. Nomornya nggak bisa dihubungi. Kalau begini terus, bisa-bisa aku batal nikah." Tepat di ujung curhatanku, suara menggelegar terdengar di belakang punggung. "SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris
Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi
Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.
Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin
Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w
Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen