Naima mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kenapa tuhan menciptakan manusia secara tidak adil, laki-laki di depannya memiliki ketampanan yang kelewatan, apalagi tanpa senyuman bodoh di wajahnya, cukup! Naima menghentikan pikirannya yang mulai melantur.Rambut Rangga berantakan ditiup angin sore, sebagian menutup separuh wajahnya, kaos tanpa lengan dan celana robek, ciri khas yang tidak pernah lepas dari pria itu. Rambut gondrongnya diikat asal, menyisakan anak rambut yang menjuntai di bagian lehernya."Ini tempat persembunyianmu?" Naima mendongak melihat rumah pohon dengan mata berbinar."Begitulah." Rangga sedikit heran, kemaren dia ditampar oleh Naima, sekarang Naima malah tersenyum dan berbinar. Dia terlihat bahagia, bahkan Rangga masih merajuk karena ulah wanita itu."Kau tidak sopan." Naima melipat tangannya."Bu, saya tidak...." Rangga masih penasaran kenapa wanita itu sampai di sini. Tapi ucapannya langsung disela olehnya."Aku ingin naik ke atas." Naima tid
Naima memandang ke luar, hujan sudah turun sejak dua jam yang lalu, bahkan tidak ada tanda-tanda akan berhenti, langit semakin kelam.Naima melirik jam tangannya, jam enam lewat sepuluh, hampir malam.Untung saja, rumah pohon ini dibuat dengan tingkat keamanan yang tinggi, hanya saja udara basah terus saja menerjang masuk sehingga suhu teramat dingin.Naima melihat mobilnya yang sudah berkubang lumpur, air hujan menggenang di sekelilingnya dengan ketinggian dua puluh senti meter.Rangga betah dengan kesunyiannya, Naima pikir, laki-laki itu tipe pendendam, bahkan dia sudah memancingnya bicara berulang kali, dan ditanggapi Rangga dengan acuh tak acuh.Naima tidak lagi memaksa Rangga, patah hatinya cukup mempengaruhi mood-nya, dia tak seperti biasanya. Laki-laki itu tak menanggapi apapun yang dikatakannya, dia sibuk menghisap rokok di tangannya, bahkan puntung rokok itu sudah memenuhi asbak."Ini sudah hampir magrib, bagaimana caranya aku pulang, ya?" Naima terdengar seperti tengah berta
Naima meringkuk menghangatkan dirinya sendiri dengan pakaian basah, dia memeluk lututnya, menumpukan dagunya yang bergetar kedinginan, tak ada percakapan karena Naima sengaja membelakangi Rangga, menyembunyikan tubuhnya karena baju basah yang lengket di kulit.Rangga menghidupkan lentera kecil, meletakkannya di dinding berdekatan dengan lukisan pegunungan, cahaya temaram berpendar ke penjuru ruangan, hujan belum juga berhenti, malah angin semakin kuat menerpa ke dalam rumah pohon.Rangga menarik tali penutup jendela, mengurangi angin yang masuk dan membuat mereka menjadi beku. Naima semakin mengigil, meremas lengannya sendiri.Rangga mendekatinya, meraih bahu bergetar itu berlahan. Mata Naima agak membesar kaget, tapi dengan cepat dia kembali menguasai diri."Ibu, lapar?"Naima menggeleng, kemudian mengetatkan lagi tangannya untuk memeluk kakinya sendiri."Maafkan saya," lirih Rangga, ke adaannya juga tak kalah basah, tapi dia kuat dan tidak terlihat kedinginan sama sekali.Hujan teru
Malam merangkak larut, hujan sudah berhenti menyisakan gerimis dan suara binatang penghuni malam yang berbunyi bersahut sahutan. Padang ilalang disekitar rumah pohon ini lebih cocok digunakan untuk berkemah, melihat tidak adanya falisitas apapun di rumah pohon ini, menandakan bahwa yang punya tidak tidur disini dimalam hari.Rangga sibuk dengan pensil dan sebuah kertas di tangannya, dia mengalihkan kebosanan dengan menghasilkan karya, Naima mengamatinya, lengan kokoh berotot yang menjanjikan perlindungan.Pada dasarnya hubungan mereka baik, sebelum insiden penghinaan yang di lakukan Alex dan tragedi patah hati Rangga.Naima bangun dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Mereka harus memulihkan komunikasi yang beku selama beberapa hari ini."Apa cita citamu?"Rangga menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke arah Naima."Menjadi pelukis handal.""Lalu kenapa kau mengambil jurusan bisnis?" tanya Naima penasaran."Karena menurut bapakku melukis bukanlah pekerjaan dan dianggap tak berguna.
Setelah berdamai, mereka melanjutkan dengan makan malam yang hanya diganti dengan sepotong roti dan segelas air mineral. Naima melihat mood Rangga mulai membaik, dia sudah kembali dengan raut konyol di wajahnya."Aku akan sangat terlambat besok, kau tau? Tempat persembunyianmu sangat terpencil, siapa yang membuat rumah ini?""Aku sendiri, dibantu sama Zaki, Ibu suka?" "Sangat, aku juga ingin punya rumah pohon di dekat rumah, bisa kau buatkan?" tanya Naima penuh harap."Tentu saja, asalkan bayarannya cocok.""Kau ternyata perhitungan, ya." Naima mendecakkan lidah."Bercanda, Bu." Rangga tersenyum konyol."Kapan mulai dikerjakan? Aku akan sediakan peralatan dan bahannya, kita bisa gunakan rumah pohon di dekat rumahku untuk belajar." "Besok, boleh, sepulang dari kampus.""Aku tidak sabar menunggunya." Naima menerawang, matanya berbinar bahagia. "Rangga....""Hm?""Malam hari kau tidur di mana?""Di bengkel teman lumayan jauh dari kampus, ke sini cuma buat menenangkan diri.""Patah hati
Naima mendongak menatap mata menggelap milik Rangga,menyelam ke dalam telaga itu, mencari apa saja yang bisa ditemukannya di dalam sana, sedikit pun dia tidak bisa bergerak. Naima terkunci, terikat pasrah dalam pelukan hangat itu.Dia bisa merasakan gemuruh jantung Rangga yang bertarung dengan jantungnya, jantung itu... berlomba- lomba mengalirkan darah dengan cepat, membuat tubuh Naima bergetar dan nafasnya sesak. "Aku berbohong tentang aku menciummu untuk menghentikanmu bicara. sebenarnya...." Rangga terdiam, apa yang akan dia ucapkan ini sangat susah di keluarkan, ada duri yang tersangkut di tenggorokannya, jakunnya turun naik, susah payah menelan air liurnya sendiri. Bolehkah dia melakukannya lagi?"Kenapa?" Naima ingin mengetahuinya, berharap bahwa ciuman pertama itu tidak hanya berkesan hanya baginya saja. Dia tak ingin hanya dia yang mengingatnya."Karena, aku juga menginginkannya," jawabnya lirih, seiring dengan nafas yang dikeluarkan secara tersengal."Jelaskan!" Naima ta
Naima berlari ke kamar mandi, membuka jilbabnya, serta baju basah yang sudah kotor. Mengunci kamar mandi dan menghidupkan keran air sebesar-besarnya.Tubuhnya merosot di lantai, semua yang terjadi terlalu indah sekaligus menakutkan baginya, dia tidak munafik, apa yang terjadi dengan Rangga beberapa saat yang lalu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, percikan hasrat yang berkobar sangat besar. Seumur hidupnya, dia baru tahu sensasinya seperti ini.Naima menyalakan shower kamar mandi, mengguyur tubuhnya , walaupun rok masih menempel lekat di pinggulnya.Dia ingin menghapus semua memori malam ini, tidak ingin lebih dulu terjerumus, dia mengusap wajahnya, meraba dadanya yang masih berdentum kuat.*****Naima keluar dari kamarnya, setelah memakai piyama tidur dan menyisir rambutnya. Dia melirik Rangga sekilas, yang tengah asik dengan televisi di depannya. Naima tidak berani menatap wajah itu lagi, sebisa mungkin dia akan terus menghindar."Apa kau lapar?""Sedikit," jawab Rangga, kenapa s
Seperti kesepakatan mereka kemaren, pagi ini Rangga dan Naima mempersiapkan pembukaan galeri lukisan. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya, Naima hanya menimpali sekali-sekali apa yang ditanyakan Rangga.Naima menepikan mobilnya di sebuah ruko yang memiliki dua lantai. Ruko itu masih tampak baru dan belum pernah di gunakan. Naima merogoh kunci dari dalam tasnya, kemudian membuka Ruko itu dengan bantuan Rangga.Bau cat masih kental, ruangan itu kira- kira memiliki luas sepuluh kali tiga belas meter, cukup luas untuk membuka usaha."Kira-kira, apa saja yang kau butuhkan?" Naima mengusap dinding bercat biru muda itu untuk memastikan catnya sudah kering. Rangga menggaruk kepalanya, banyak yang dia butuhkan, tapi mengatakan secara langsung pada Naima padahal dia tidak memiliki uang untuk membelinya, menjadikan dia sebagai pria tidak tahu malu."Kau bisa tulis di sini, aku jamin barangnya akan sampai secepatnya, semakin cepat galeri ini dibuka, semakin cepat bisnismu berjalan." Nai