Kedua keluarga itu berkumpul bersama di rumah pohon, bapak Rangga tertawa terkekeh saat ayah Naima kalah terus main kartu. Sekali kalah hukumannya adalah berlari lima puluh kali keliling pekarangan rumah Naima yang luas, ayah Naima sudah banjir keringat, namun dia tidak mau berhenti, terus saja mengajak main kartu dan bertekad akan berhenti jika dia berhasil mengalahkan bapak Rangga.Rangga sibuk dengan komiknya, sedangkan Naima duduk bersama dengan ibu Rangga dan ibunya. Mereka baru saja selesai membakar ikan, merayakan hari Wisuda Rangga yang berakhir beberapa jam yang lalu.Jika ditanya siapa yang paling bahagia, maka bapak Ranggalah orangnya, dia sangat membangga- banggakan Rangga saat selesai acara sambil memuji anaknya itu, padahal Rangga sudah berdehem karena sang Bapak tidak berhenti membuatnya malu, seisi kampus tau dia adalah mahasiswa paling tua yang terancam DO dan diselamatkan oleh Naima, tapi sang Bapak terus saja memuji seakan dia adalah manusia terhebat di dunia yang a
Galeri Rangga resmi dibuka hari ini, banyak pengunjung yang penasaran dengan karya Rangga yang dinilai unik dan berbeda dari pelukis lainnya. Sebagian besar karya Rangga adalah sketsa hitam putih yang terlihat detail dan sempurna. Rangga cukup puas dengan para pengunjung yang rata rata adalah penikmat karya seni dan pengusaha.Semua ini berkat kegesitan Naima dalam berselancar di dunia maya untuk mempromosikan galeri milik Rangga. Banyak juga pengunjung yang langsung tertarik dan minta dilukis secara khusus, bahkan pesanaan itu berasal dari luar negri."Selamat, ya." Naima mengulurkan tangan, mereka baru saja beristirahat setelah melayani pengunjung seharian. Sebenarnya Rangga melarang istrinya itu terlalu sibuk dengan acara ini, namun dasarnya Naima yang keras kepala, dia mencari alasan agar keinginanannya terlibat diacara ini dikabulkan Rangga."Kalau yang mengucapkan selamat adalah kamu, harus disertai dengan hadiah," goda Rangga."Kau mau apa? Komik Doraemon?" ejek Naima. Rangga m
Saat ini mereka bedua pergi konsultasi dengan Dokter Kandungan, usia kehamilam Naima sudah memasuki delapan bulan. Naima masih aktif mengajar dan melakukan berbagi aktifitas. Syukurnya bayi mereka tidak banyak tingkah, palingan minta dibelikan bubur ayam setiap malam, permintaan yang begitu enteng.Mereka sama-sama melihat layar monitor, takjub dengan bayi yang sudah terbentuk sempurna. Jenis kelaminnya laki-laki. Dia bergerak aktif di perut Naima sehingga membuat permukaan perut itu bergelombang."Duh, lincahnya," kata Dokter wanita itu sambil tersenyum."Selincah saya, Dok," jawab Rangga yang dikasih pelototan galak oleh Naima."Nah, mulai sekarang Bu Naima lebih banyak makan buah dan sayur, kurangi makan karbohidrat, karena berat bayinya sudah melebihi berat seharusnya."Apa yang dikatakan dokter itu benar, Naima dan makanan adalah pasangan yang tidak bisa dipisahkan, dia menyukai apa saja. Makan di tengah malam sudah berjalan rutin selama beberapa bulan ini."Baik, Dok," jawab Nai
Naima memijit kepalanya lelah, setiap hari perdebatan dengan sang ibu seputar itu itu saja. Ibunya mengeluh seolah-olah dia adalah Ibu yang paling malang di dunia karena anak gadisnya tak laku-laku.Andaikan mencari seorang suami semudah menemukan kucing Anggora, pasti dia sudah menikah dari dulu, apa lagi yang bisa di lakukannya, laki-laki di luar sana lebih memilih wanita tamat SMA dari pada perawan tua sepertinya."Kau ini, jangan lagi memilih-milih, Pak Broto belum terlalu tua, dia baru empat puluh lima tahun, anaknya pun sudah besar, kau tinggal dapat enaknya saja."Ibunya mengomel sambil merajang sayur di dapur."Ibu, tidak adakah yang lebih baik dari itu?"Ibu Naima membalikkan badan, memandang Naima geram."Kau terlalu pemilih, aku sungguh malu kepada warga satu RT, yang selalu menanyakan kamu kapan nikah."Naima memejamkan matanya lelah, rasanya dia lebih memilih menghabiskan waktu di kampus dari pada berdebat tanpa akhir dengan ibunya.Naima meninggalkan ibunya, gadis berhij
Ucapan Bu Dosen tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuat kepalanya serasa mau pecah, bertemu dosen cantik itu malah membuat dia trauma.Bu Dosen yang entah siapa namanya itu, orangnya galak, tegas, tidak bisa diajak bercanda sedikit pun. Andai saja seperempat kemampuan Bu Dosen itu ada padanya, pasti kuliah terasa lebih indah."Apa yang mau saudara teliti? Kalau tidak terjadi masalah dalam kasus ini? masalah itu akan terjadi jika teori tidak sesuai dengan kenyataan, pelajari lagi! besok temui saya! kalau saudara tidak paham juga, terpaksa saudara ajukan judul baru."Rangga mengacak rambut gondrongnya sehingga menjadi berantakan, dia pusing dan tidak mengerti, jika tidak lulus juga, dia akan digantung oleh bapaknya sendiri.Rumah, sawah dan ladang sudah tergadai demi menyekolahkannya setinggi ini. Dia kuliah di tempat orang kaya pula, biaya kuliah dan biaya gaya hidup yang tidak sedikit.Andaikan boleh memilih, dia akan memilih terlahir dengan wajah biasa saja tapi memil
Rangga mematut dirinya di depan cermin, baru saja Naima membelikannya satu stel pakaian bermerek yang harganya cukup mahal. Rangga benar-benar merasa seperti bintang film, kenapa tidak ada satu produser pun yang meliriknya untuk menjadi artis, dunia memang aneh.Naima masuk tidak sabaran ke ruang ganti itu, menunggu Rangga layaknya menunggu penganten yang sedang bersolek."Kenapa lama sekali? Bapak saya sudah nunggu, ini sudah jam lima lewat sepuluh.""Eh, iya, Bu." Rangga meraih ranselnya. Baju baru memberi aura positif padanya, dia menjadi bersemangat.Mereka berangkat dengan mobil Naima, Rangga tak berhenti mengagumi mobil mungil itu."Gaji sebagai dosen besar, ya, Buk? mobilnya kelihatan mahal.""Nggak juga," jawab Naima, dia konstentrasi menyetir."Nanti kalau Ayah nanya, kamu jawabnya iya iya aja, jangan asal bicara, ngerti?""Beres, Buk." Rangga mengangkat tangannya seperti memberi tanda hormat.Tiga puluh menit berkendara, mereka sampai di rumah Naima. Rumah sederhana tapi san
Semua terjadi begitu cepat, mereka sudah sah menjadi suami istri dua jam yang lalu. Tak ada resepsi sama sekali, cuma syukuran kecil-kecilan yang dihadiri oleh keluarga inti dari ke dua belah pihak, ditambah dengan tetangga-tetangga terdekat.Awalnya orangtua Rangga terkejut mendengar anaknya memintanya datang ke Jakarta untuk melamar. Bapak marah dan tidak terima, tapi ketika Rangga menceritakan kalau istrinya itu adalah seorang dosen di kampusnya sendiri, Bapak langsung bersemangat dan tanpa pikir langsung terbang ke Jakarta.Rangga sempat malu, ayahnya datang membawa hasil ladang yang sebenarnya tidak diperlukan. Dimulai dari pisang, nangka, kentang dan ubi jalar. Untungnya ayah Naima malah senang menerima dan merasa tersanjung karena repot-repot membawa semua itu.Ke dua orang tua mereka langsung akrab, bahkan ibu Naima yang galak malah melayani keluarganya dengan ramah dan sepenuh hati.Ibu Naima menangis haru, dia merasa bahagia dengan pernikahan ini, dia tak lagi menjadi cibira
Hari ini Naima mengajak Rangga berkunjung ke sebuah perpustakaan besar milik pemerintah daerah, tempat itu adalah tempat favorit Naima, dia akan lupa waktu jika sudah menjejakkan kakinya di sana.Rangga tidak begitu tertarik, tapi demi proposal yang tak berkesudahan, apapun yang di perintahkan Naima, harus di lakukannya. Naima tipe yang tidak bisa dibantah, dia keras, disiplin dan sedikit kaku. Pagi pertama menjadi suami istri tak ada kesan sama sekali, mereka bersikap layaknya dosen dan mahasiswa, obrolan pun tak jauh- jauh dari urusan akademik.Rangga memilih duduk di pojok, ia membuka laptopnya sambil menarik nafas optimis. Semua demi Bapak, selama ini Bapak tidak pernah meminta apa-apa padanya, Bapak begitu gigih menyekolahkan Rangga sampai sarjana."Nih! semua bahan yang kau batuhkan ada di sini." Naima meletakkan setumpuk buku di depan Rangga."Sebanyak ini? Oh, tidak." Rangga langsung merebahkan kepalanya diatas meja. Naima memutar matanya."Sini aku bantu." Naima meraih lapt