Tawa Ariana pecah ringan. “Yang aku tanya itu namamu, bukan menilai wajahku,” katanya sambil menatap Diego yang tampak beku di tempat.
Diego tersentak. Wajahnya memerah, pandangannya langsung ia tundukkan.
“Na... namaku Diego, Nyonya,” jawabnya pelan, nyaris tercekat oleh gugup yang menumpuk di tenggorokannya.
Ariana hanya tersenyum, lalu kembali duduk di kursi taman. Suara Ariana tadi masih terpantul samar di kepala Diego dan itu justru membuat pria itu semakin salah tingkah.
“Kenapa aku bisa sebodoh ini...” Diego mengumpat dalam hati.
Ariana mengambil selembar kertas dari meja kecil di sampingnya, lalu menyerahkannya ke arah Diego.
“Ini kontrak kerjamu. Baca dulu, lalu tandatangani kalau kamu setuju.”
Diego maju selangkah, menerima kertas itu dengan hati-hati. Begitu matanya membaca angka di bagian bawah, wajahnya langsung berubah.
“Maaf, Nyonya... angka ini, apa benar gaji saya?”
Ariana mengangkat alis. “Ya, atau... kamu merasa itu terlalu rendah?”
“Tidak, tidak! Sama sekali tidak, Nyonya!” balas Diego dengan panik, ia langsung meraih pulpen dan menandatangani dokumen itu tanpa ragu.
“Ini, Nyonya,” ucapnya, menyodorkan kertas itu dengan dua tangan.
Ariana menerimanya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja.
“Apa kamu yakin tidak ingin membacanya dulu?”
Diego tersenyum gugup. “Saya sudah sangat bersyukur dengan tawaran ini.”
Tatapan Ariana melunak. “Kalau begitu, selamat bergabung. Setelah ini, Andrew akan menunjukkan area kerjamu.”
Diego mengangguk dalam-dalam, mengucapkan terima kasih. Saat ia berbalik mengikuti Andrew, matanya sempat melirik ke arah Ariana, diam-diam mengagumi sosok perempuan yang begitu mempesona bahkan ketika diam.
Dia bukan cuma cantik, pikirnya. Tapi juga manusiawi. Hangat.
Andrew mengajak Diego ke halaman depan dan menunjuk ke arah sisi selatan bangunan, dekat dengan kolam renang berwarna biru jernih yang berkilau tertimpa cahaya pagi.
“Ini area kerjamu. Termasuk taman dan bagian kolam itu,” jelas Andrew singkat.
“Siap, Tuan Andrew,” sahut Diego, semangat kembali tumbuh di wajahnya. Ia langsung mulai bekerja saat Andrew pergi.
Beberapa jam berlalu, hingga Diego berpindah ke area kolam. Jorge muncul, membawa senyuman santai, dan ikut membantu Diego menyusun pot tanaman.
Tak lama, sebuah mobil sedan silver meluncur masuk ke halaman dan berhenti di depan bangunan utama. Dari kursi belakang, seorang pria berusia sekitar enam puluhan keluar, langkahnya tenang, penuh wibawa.
“Itu Tuan Sergio?” tanya Diego.
Jorge mengangguk, lalu melirik arlojinya. “Biasanya jam segini Tuan suka berenang. Mungkin sekarang juga.”
Diego tersenyum lebar. “Kalau begitu... Nyonya Ariana juga?”
Nada suaranya berubah. Matanya seperti membayangkan sesuatu.
PLAKK!
Tanpa peringatan, Jorge menjitak pelan kepalanya.
“Jangan berpikiran yang macam-macam. Nyonya Ariana tidak bisa berenang. Dia cuma suka duduk santai di pinggir kolam.”
Diego meringis, mengusap kepalanya yang baru saja dijitak.
“Iya, iya... cuma bercanda.”
Dari arah rumah utama, Ariana dan Sergio muncul, Sergio mengenakan jubah mandi putih.
Diego memperhatikan Ariana membantu Sergio membuka jubahnya dengan lembut, menyisakan celana renang hitam yang kini dikenakan sang tuan rumah.
Sergio turun ke kolam dengan langkah tenang, memilih sisi kolam yang dangkal.
Diego kembali ke pekerjaannya bersama Jorge. Mereka bekerja dalam diam, hingga suara jeritan memecah udara.
“Sayang!”
Diego dan Jorge langsung menoleh. Ariana berdiri di pinggir kolam, wajahnya panik. Di air, tubuh Sergio terlihat bergerak panik, tenggelam di sisi terdalam kolam.
“Tuan Sergio tenggelam!” teriak Jorge. Tanpa ragu, ia dan Diego langsung melompat ke dalam air.
Diego lebih cepat. Ia meraih tubuh Sergio dari belakang, memeluk dan menahan kepala pria itu agar tetap mengambang.
Jorge segera berenang di samping mereka, membantu mendorong tubuh Sergio ke tepi kolam.
Dengan bantuan Ariana, mereka berdua mengangkat tubuh Sergio keluar dari air. Jorge meraih jubah mandi yang tadi ditinggalkan Sergio, melipatnya dan meletakkannya di bawah kepala sang tuan sebagai alas.
Napas Jorge memburu. “Diego... Tuan... pingsan.”
Ariana terduduk di samping tubuh suaminya, wajahnya basah oleh air mata. Ia menggenggam tangan Sergio erat, mengguncangnya dengan cemas.
“Sergio! Bangun... bangun, sayang!”
Diego mengatur nafasnya, lalu menatap Ariana. “Nyonya... tolong beri saya ruang. Saya akan mencoba membantu.”
Ariana mengangguk, suaranya tercekat. Ia mundur beberapa langkah, masih menangis.
Diego bersimpuh, memosisikan tangannya di dada Sergio, lalu mulai menekan dengan irama teratur. Kompresi pertama, kedua, ketiga... waktu terasa melambat. Setelah beberapa siklus, ia memberi napas buatan.
“Hufff!”
Tubuh Sergio tetap tak bereaksi.
Diego terus melanjutkan, menolak menyerah. Tangannya bergerak, dadanya naik turun, pikirannya fokus hanya pada satu ha, menyelamatkan nyawa majikannya.
Lalu-
“Uhukk.... ” Batuk kecil terdengar.
Tubuh Sergio tersentak, lalu terguncang pelan. Diego segera memiringkan posisi tubuh sang majikan. Air keluar dari mulut dan hidung pria itu.
“Sergio!” jerit Ariana sambil menyeka airmatanya.
Sergio mengerang lirih. Diego menuntunnya berbaring kembali. Wajahnya mulai pulih, ritme napasnya perlahan kembali.
Diego dan Jorge saling menatap, lalu menghembuskan napas lega.
Ariana langsung mendekat dan memeluk suaminya. “Sayang...” isaknya.
Ia lalu menoleh pada Jorge dan Diego, menatap mereka dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih... kalian menyelamatkan suamiku,” ucapnya dengan suara parau, tapi penuh makna.
Tak lama, dua staf pria datang atas perintah Andrew. Dengan hati-hati, mereka mengangkat tubuh Sergio dan membawanya masuk ke rumah untuk penanganan lebih lanjut.
**
Sore harinya, Diego duduk di belakang mes karyawan ketika Jorge menghampirinya.
“Diego, kamu dipanggil ke dalam. Tuan Sergio ingin bicara.”
Tubuh Diego kaku. Jantungnya langsung berdetak tak karuan.
“Sendirian?” tanyanya, gugup.
Jorge mengangguk. “Tenang, tidak bakal dipecat.”
Namun kegelisahan tetap mengikuti Diego hingga ke ambang pintu ruang tamu. Di sana, Ariana sudah menunggunya.
Tanpa bicara, Ariana menyentuh ringan punggung tangannya. Senyum di wajah wanita cantik itu sangat lembut, membuat Diego merasa sedikit tenang. Ariana lalu memandunya ke ruang kerja Sergio.
Ruangan itu sunyi dan hangat. Dominasi krem dan kayu memberikan kesan tenang dan mewah. Di atas single seat sofa, Sergio duduk dengan pakaian tidur berwarna gelap. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya hidup.
“Tak perlu tegang begitu,” katanya pelan. “Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih.”
Diego berdiri tegak, tapi suaranya tetap rendah saat menjawab, “Saya hanya melakukan tugas saya, Tuan.”
Sergio mengulurkan tangan. Diego menyambutnya. Genggamannya lemah, tapi tulus.
“Aku ingin memberimu sesuatu sebagai tanda terima kasih. Katakan saja, apa yang kamu inginkan?”
Diego terdiam. Detik itu, pikirannya melayang... membayangkan sesuatu. Tapi ia segera menggeleng pelan.
“Tak ada, Tuan. Gaji yang saya terima sudah lebih dari cukup.”
Sergio menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, kalau itu maumu.”
Diego membungkuk hormat. Tapi dalam hati, ia tahu, jika Sergio tahu apa yang sempat melintas di kepalanya... mungkin ia tak akan berdiri di ruangan ini lagi.
Bersambung...
Terima kasih sudah membaca. ✌😊
Dua hari kemudian...Mobil hitam Andrew meluncur mulus ke depan hotel bintang lima. Ban berhenti tepat di bawah kanopi besar yang menahan cahaya matahari pagi.Dua petugas valet yang sigap segera bergegas, salah satunya membukakan pintu untuk Ariana, sementara yang lain menyambut Andrew dan Diego.Begitu kaki mereka menjejak lantai marmer yang licin, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapu kulit. Lobi hotel itu berkilau, marmer mengkilap di bawah lampu gantung kristal besar, musik piano lembut mengalun dari sudut lounge, dan aroma kopi mahal bercampur samar dengan wangi parfum para tamu.Diego mengangkat kepalanya, matanya menyapu sekeliling. Ada beberapa wajah asing yang ia tangkap, sebagian mengangguk tipis, sebagian lagi hanya memandangi dari jauh sambil berbisik.Ariana berjalan di sampingnya, bahunya tegak, blazer putih membingkai tubuhnya, dress biru tua jatuh rapi hingga lutut. Perpaduan keanggunan dan ketegasan seorang CEO.
Ban mobil berdecit ringan saat Diego memutar kemudi, memasuki area parkir basement kantor pusat Grup Ortiz.Aroma khas beton lembap dan suara gema mesin pendingin mengisi ruang. Mereka bertiga keluar dari mobil tanpa banyak bicara, langkah kaki berpacu menuju lift pribadi di sudut ruangan.Begitu pintu lift tertutup, ruangan kecil itu hanya diisi suara dengung mesin dan napas yang berjarak. Diego berdiri di sisi kanan, sesekali melirik Ariana lewat pantulan kaca pintu lift.Perempuan itu memandang lurus ke depan, seperti sedang menimbang langkah berikutnya. Andrew berdiri di belakang mereka, matanya terpejam sebentar.Pintu terbuka di lantai eksekutif. Lorong di sini terasa berbeda, hening, bersih, dan berlapis karpet tebal yang meredam suara langkah. Lampu sorot memantulkan kilau di gagang pintu kaca besar bertuliskan nama Ariana.Begitu pintu ruang kerja dibuka, aroma kopi hitam pekat langsung menyambut. Andrew berjalan masuk duluan, meletakkan map hitam di meja tamu sebelum menjatuh
Matahari pagi mulai menembus celah tirai, menarik garis tipis di permukaan ranjang. Udara kamar terasa hangat, bercampur aroma lembut yang tertinggal dari malam sebelumnya.Selimut sedikit tergeser, memperlihatkan kulit Ariana yang masih menyimpan sisa hangat sentuhan.Ia membuka mata perlahan. Kelopak matanya berat, senyum samar muncul begitu sadar sepasang mata kini tengah menatap dirinya. Diego sudah terjaga lebih dulu, bersandar di sisi ranjang, menatapnya tanpa berkedip.Ariana menghela napas pelan, menarik selimut hingga menutupi bahu sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia lalu meraih gaun yang semalam tergeletak di kursi, lalu mengenakannya kembali dengan gerakan ringan.Diego menunduk sedikit, tatapannya tidak pernah lepas dari tubuh sang kekasih.“Tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan.Ariana menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Cukup. Meskipun ranjang ini... sempit,” balasnya.Diego tertawa pendek. “Kalau tidak hati-hati, aku bisa jatuh tadi malam.”Ariana tertawa pelan, menun
Diego masih berada di atas tubuh Ariana. Napas mereka beradu, lambat dan hangat. Kamar sunyi, tapi atmosfernya pekat oleh rasa yang tak lagi bisa disembunyikan.Jari Diego menyentuh garis rahang Ariana, lembut, lalu turun menyusuri leher dan bahu yang kini terbuka penuh di hadapannya.Ia menunduk, mengecup bibir Ariana sekali lagi. Tangannya meluncur perlahan ke bawah. Menyusuri sisi perut Ariana, lalu ke paha bagian dalam, menyapu dengan gerakan ringan yang membuat tubuh Ariana sedikit gemetar.Diego menggeser tubuhnya sedikit, lalu membimbing bagian paling pribadi dari dirinya ke tempat paling pribadi Ariana.Tubuh Ariana menegang sesaat. Nafasnya tertahan. Matanya terbuka, tapi tak fokus.“Diego…” bisiknya, antara gugup dan yakin.Diego menatap langsung ke dalam matanya. “Aku di sini,” jawabnya, tenang.Dengan hati-hati, Diego mendorong dirinya masuk. Perlahan, sangat perlahan, seolah memastikan tubuh Ariana menerima sepenuhnya.Ariana menggigit bibirnya. Suara erangan kecil lolos d
Suara napas masih memenuhi kamar itu. Lembut, beradu. Hangat.Ariana belum membuka mata. Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam detik-detik setelah ciuman panjang mereka berhenti.“Diego…” bisiknya. Pelan.Diego diam. Tapi matanya tetap pada Ariana. Ia menyentuh pipi Ariana, lalu dengan satu gerakan lembut, ia menyelipkan helaian rambut Ariana ke belakang telinga. Pandangan mereka bertemu sejenak, lalu terlepas lagi.“Maaf,” gumam Ariana tiba-tiba.Diego mengernyit pelan. “Untuk apa?”Ariana menunduk. “Aku… tidak tahu harus merespon bagaimana.”Diego mengangguk sekali. Tidak memaksa. Tidak mendekat. Ia hanya membiarkan Ariana punya ruangnya sendiri.Lalu, Ariana bergerak. Pelan. Ia mendekat, dahi mereka bersentuhan. Satu tangan Ariana menyentuh dada Diego, merasakan denyut jantung pria itu.“Bolehkah aku… hanya menikmati ini dulu? Tanpa berpikir?”Diego mengusap tengkuk Ariana. “Apa pun yang kamu mau.”Detik berikutnya, bibir Diego menyentuh kening Ariana. Lalu turun ke pelipis. Arian
Ariana masih menunduk. Tangannya di pangkuan, saling menggenggam, dan pipinya merah nyaris sepenuhnya. Tapi perlahan, ia mengangkat wajah. Tatapannya bertemu dengan Diego… lalu berpaling lagi secepat itu.Namun ada yang berubah. Di balik rasa malu, ada keberanian kecil yang muncul.Pelan-pelan, tangannya terangkat. Ia menunjuk pipi kanannya sendiri. Gerakannya ragu, tapi jelas. Tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk, lalu menatap Diego dengan pandangan yang nyaris seperti... permintaan.Diego mengerjap pelan. Mengerti.Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia maju sedikit, lalu mengecup pipi kanan Ariana dengan lembut. Hanya satu sentuhan ringan. Tapi cukup untuk membuat Ariana memejam sekejap, dan napasnya tertahan setengah detik.Belum sempat Diego menarik diri jauh, Ariana menunjuk pipi satunya lagi, lebih cepat kali ini. Bahkan ada senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya, malu-malu, seperti anak kecil yang bermain diam-diam.Diego tertawa p