Drama itu pun berlanjut ketika aku hendak berangkat ke kantor. Ada beberapa paparazi tengah mengintaiku dari sudut halaman rumah.
Hampir setiap hari orang-orang pencari berita itu menguntitku seperti pencuri. Apa mereka tak bosan terus meliputku? Padahal aku selalu mengabaikannya.
"Tito, kita mampir ke toko berlian dulu, ya. Nanti malam akan ada perayaan ulang tahun pernikahan Mama," titahku kepada supir pribadiku.
"Baik, Tuan."
Pengintaian itu tak berhenti sampai di situ saja. Paaparazi mengikutiku sampai ke toko berlian. Beruntungnya, ada seorang gadis asing yang mendadak memintaku untuk menjadi kekasih palsunya demi membalas mantan pacar.
Aku yang sudah mulai kesal dengan ulah paparazi itu, akhirnya mengiyakan ajakannya tanpa berpikir dua kali. Hitung-hitung untuk membungkam mulut orang-orang yang menyebar berita, bahwa aku mengalami penyimpangan seksual.
"Jadi, wanita itu yang lebih dulu mengajakmu bersandiwara?"
"Tentu saja, apa kau pikir aku kurang kerjaan? Mengajak seorang gadis untuk berpura-pura menjadi tunanganku. Yang benar saja."
Walau aku dicap sebagai pria abnormal, setidaknya aku tak pernah sengaja mempermainkan wanita. Yang terjadi beberapa waktu lalu murni kecelakaan.
Ya, aku menyebutnya sebagai kecelakaan. Bisa dibilang begitu. Lagi pula bukan aku yang memberi ide gila itu, tapi gadis tersebut. Yumi, Si cewek badas.
"Tapi sepertinya kau menikmati sandiwara itu... Bahkan kau melindungi gadis tadi dari incaran paparazi."
Mulut Indra memang tak mudah dikalahkan. Sama dengan otaknya yang selalu saja menemukan ide untuk menindasku.
"Itu hanya untuk mendalami peran. Lagi pula ku lihat dia bukan berasal dari dunia kita. Gadis itu terlihat biasa saja. Tak ada yang istimewa darinya," tukasku, membantah tudingan Indra.
"Hati-hati... Biasanya, orang yang dianggap biasa itu, lama-lama akan menjadi spesial loh. Tunggu saja."
Lagi-lagi Indra tak kehabisan ide untuk menggodaku. Lihat saja, begitu dia menghadapi situasi yang sama sepertiku, maka aku akan merundungnya sepanjang waktu.
"Mana laporan akhir bulan yang ku minta kemarin? Apa kau belum menyelesaikannya?"
Sengaja aku mengalihkan pembicaraan, agar Indra berhenti mengusikku. Lelah juga dirundung terus-menerus oleh si tukang pamer ini.
"Hehe, aku belum buat."
"Sialan, Lo! Pergi buat sana! Main melulu kerjanya."
Lagi, aku melempari Indra dengan pena. Betapa tidak, laporan bulanan yang ku minta beberapa hari lalu belum juga dikerjakan. Sementara gaji karyawan bergantung dari laporan tersebut.
"Jangan marah-marah. Nanti lekas tua."
"Pergi atau kau ku pecat?!"
"Iya, iya. Bawel banget sih jadi atasan... Pantas saja gak laku-laku."
Ingin rasanya ku sumpal mulut Indra dengan cabe merah. Agar dia berhenti bicara. Sungguh membuat tensiku naik.
"Kau..."
Sebelum aku mencaci maki Indra, pria itu segera berlari meninggalkanku.
"Dasar."
"Berita terkini, pengusaha ternama Yoga Iskandar. Rupanya telah mempunyai tunangan dan tak akan lama lagi melangsungkan pernikahan. Ternyata rumor yang beredar hanyalah isapan jempol belaka. Yoga Iskandar tidak mengalami penyimpangan seksual. Buktinya dia mengaku sedang menjalin asmara dengan seorang wanita."
Berita sialan ini menghiasi layar televisi ruang pribadiku. Entah apa jadinya bila Mama menonton berita tersebut. Sepertinya sebelum semuanya hancur berantakan, aku harus membungkam orang-orang media itu untuk segera menghapus berita yang beredar.
"Selamat siang, Tuan Wisnu... Mengenai berita penyimpangan seksual tentangku selama ini. Kau cukup pandai menghilangkannya. Tidak bisakah kali ini kau melakukan hal yang sama terhadap berita pagi tadi?"
Tak ada solusi lain, aku harus segera mengakhiri sandiwara ini sebelum Mama berulah. Atau aku tak tahu lagi harus berbuat apa.
Masa iya aku harus menikahi gadis asing yang tak jelas asal-usulnya? Bisa-bisa rumah tangga kami seperti kuburan. Menyeramkan.
"Seperti yang Tuan inginkan. Asalkan bayarannya dua kali lipat dari biasanya."
Dasar pencari berita sialan! Mereka mengurasku habis-habisan. Disangkanya aku mencari uang hanya untuk menutupi berita palsu mereka.
"Tidak masalah. Asal memauskan. Jika berita itu masih beredar, aku akan menuntutmu dan menutup perusahaan yang kau bangun dengan susah payah itu!"
Mau tidak mau aku harus menyetujui permintaan Wisnu. Atau aku sendiri yang akan kesulitan.
"Beres... Jangan khawatir. Satu menit kedepan kau tidak akan lagi menemukan berita itu."
Aku mengakhiri percakapan singkat itu. Lalu membuka internet, mencari berita seputar asmaraku yang beberapa waktu lalu mencuat.
Dan benar saja, aku tak lagi menemukan berita tersebut. Wisnu telah menepati janjinya. Waktunya membayar atas pekerjaan pria paruh baya itu.
"Aku sudah mentransfer uangnya di nomor rekening biasa. Terimakasih untuk itu." Aku pun memberinya bayaran setimpal.
"Semoga saja Mama tidak sempat menonton berita itu," gumamku penuh harap.
Prank!
"Dasar Anak nakal! Tidak tahu malu! Beraninya menyembunyikan calon menantu Mama!"
Tidak nonton apanya? Mama sudah terlanjur melihat seluruh berita itu dari awal sampai akhir. Maka sia-sialah uang yang ku berikan kepada Wisnu tadi.
Mama melempariku dengan vas bungan, hingga menciptakan beling dimana-mana.
"Ma, tenang dulu. Aku bisa jelaskan," pintaku, menghentikan murka Mama yang semakin menjadi-jadi.
Sumpah, aku lebih memilih berurusan dengan klien manapun, asal bukan dengan Mama. Wanita paruh baya ini tak akan mau mengalah, walau telah ku jelaskan secara detil..
"Katakan! Awas saja kalau kali ini kau membohongi Mama. Mama tidak akan mengampunimu. Mama akan menikahkanmu dengan Anak Ibu Sumi."
Anak Ibu Sumi? Tidak. Aku tidak mau menikah dengan gadis setengah waras itu. Dia selalu membawa celana dalam pria kemanapun berada. Itu kabar yang ku dengar. Entah benar atau tidak.
"Jadi begini..."
Aku pun menceritakan kepada Mama ihwal kejadian yang sebenarnya. Tak kurang satu pun, kecuali tentang insiden pemegangan burungku yang nyaris berdiri.
"Benar? kau tidak bohong?" sangsi Mama.
"Sumpah, aku tidak bohong. Buat apa membohongi wanita cantik seperti Mama?"
Sesekali memuji Mama sendiri tidak masalah, bukan? Hitung-hitung pahala.
"Hala... paling juga karangan bebasnya. Masih saja percaya sama Anak ini." Tiba-tiba Papa datang mengacaukan segalanya.
Sejak awal aku sudah mewanti-wanti agar Papa tidak mengetahui masalah ini. Eh, ternyata dia dalang dibalik kemurkaan Mama.
"Kau..."
"Beneran, Ma. Aku berani sumpah atas nama Tuhan. Aku tidak bohong." Buru-buru aku mengklarifikasi pernyataan Papa demi memenangkan kepercayaan Mama lagi.
"Anak kecil dipercaya!"
"Papa!"
Pria tua ini benar-benar membuatku frustasi. Apa Papa tidak bisa berpihak padaku sekali ini saja?
Plak!
Lagi, Mama menamparku sekuat tenaga, hingga membuatku terperangah kesakitan. Tenaga Mama kuat juga rupanya. Tak salah jika dulu dia jadi juara bela diri kempo.
Jalan tengah dari permasalahan kami, aku pun memilih untuk damai. Menandatangani surat pernjanjian dari Yoga.Walau hati kecilku menolak, tetapi demi kebaikan semua orang. Aku rela sekali lagi berkorban.Usai menandatangi surat tersebut. Yoga tersenyum puas. Aku tidak sangka dia adalah pria yang licik. Meski terkadang tak sungkan menunjukkan perhatiannya terhadapku. Namun, hal itu tidak mengubah fakta, bahwa Yoga adalah manusia kejam."Yum, ada yang ingin ku sampaikan padamu. Apakah kita bisa bertemu?" Sore harinya. Aku mendapat panggilan dari Uti.Terdengar dari nadanya. Seperti ada sesuatu yang serius."Baiklah," sahutku."Kau mau kemana?" Baru saja aku berencana pergi, Yoga mencegatku di ruang tamu."Uti memanggilku. Katanya ada yang mau disampaikan padaku.""Jam berapa pulangnya?" tanya Yoga sekali lagi."Aku tidak tahu... Baiklah, aku pamit." Aku terburu-buru hendak menemui Uti. Hingga lupa di mana tempat pertemuan kami."Gunakan mobil untuk menemui Uti. Jangan pakai sepeda buntu
Hari ini aku dan Yoga akhirnya pindah rumah. Walau harus diawali dengan sejumlah drama.Semula orang tua Yoga tidak setuju pada keputusan kami. Terutama Mama. Namun, setelah berunding. Akhirnya Mama setuju juga.Entah apa yang telah Yoga katakan padanya. Saat itu aku sedang berada di luar kamar. Aku memberi mereka privasi."Jaga baik-baik menantu Mama, Ga. Jangan biarkan dia bersedih. Awas saja kalau sampai Mama tahu, Mama tidak akan melepasmu!" ucap Mama usai kami pamit padanya."Mama tenang saja. Aku tidak akan menggigitnya. Paling hanya mencakar sedikit," sahut Yoga, berkelakar."Cakarnya jangan dalam. Tipis-tipis saja," seloroh Papa penuh maksud.Percakapan ini terkesan random. Keluarga Yoga memang sungguh aneh. Mereka sangat akrab satu sama lain. Namun, cara menunjukkan kedekatan itu berbeda dari keluarga biasanya.Papa terkesan cerewet, tetapi sebagai kepala keluarga. Dia sangat perhatian serta bertanggung jawab.Sedangkan Mama, dia memang terlihat tegas. Akan tetapi, di balik k
Malama itu kami kumpul bersama keluarga besar Yoga. Ada Uti sudah pastinya. Tak ketinggalan Nindia, gadis yang sejak kecil mengejar Yoga serta menyebutnya sebagai suami masa depan.Aku mengenakan gaun merah pemberian Mama mertua. Kali ini rambutku sengaja ditata rapi agar terlihat lebih elegan. Pasalnya, konon keluarga Yoga datangnya dari kalangan atas semua.Namun, yang aku perhatikan mereka cukup sederhana dan tak mempersoalkan diriku yang berasal dari keluarga biasa.Mungkin dulu keluargaku seperti mereka. Namun, sekarang lain cerita setelah Ayah jatuh bangkrut."Kau sudah siap?" tanya Yoga begitu usai berdandan.Untuk penampilan Yoga, tidak perlu lagi dipertanyakan. Seperti biasa, dia hanya mengenakan setelan jas hitam."Iya," sahutku."Kita temui tamu sekarang. Pasti mereka sedang menunggu kita," ucapnya.Yoga mengulurkan tangan. Aku yang masih belum siap, terpaku untuk sesaat. Benarkah pria ini suamiku? Dia memperlakukanku dengan manis."Yumi," sapanya."Ah iya." Aku tersadar da
Hidup bersama mertua, sudah tentu tak bisa dihindari bagi sepasang suami istri yang baru menikah. Pun halnya denganku yang tiba-tiba sudah menjadi istri orang.Lantas bagaimana dengan saudara ipar yang dibenci oleh para istri sejuta umat?Tentu aku tidak menjadi salah satu dari mereka. Yoga berstatus anak tunggal."Mengapa harus di rumah orang tuamu? Aku mau di rumah Ibu," sarkasku menolak ajakan Yoga."Tidak masalah kalau kau ingin tinggal di sana. Tapi, kita harus tidur satu ranjang." Kali ini ide gila apa yang coba diusung Yoga. Sungguh memalukan.Tidur bersama? Oh tidak bisa. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Pria ini tidak bisa dipercaya untuk urusan ranjang. Dia selalu mencuri ciuman dalam kesempitan. Tentu saja dengan alasan klasik. Tidak sengaja."Mengapa begitu? Kami memiliki tiga kamar tidur kok," tukasku tak terima."Lalu, apa kau ingin Ibumu tahu tentang kita yang sebenarnya? Baiklah, tidak masalah. Aku tidak merasa dirugikan untuk itu. Tapi bagaimana denganmu? Apa ya
Selayaknya bisnis simbiosis mutualis. Aku pun harus menyiapkan surat kontrak sebagai simbol dari hubungan ini. Lagi pula aku tidak ingin berlama-lama hidup dalam kepalsuan. Pernikahan ini, harus segera berakhir.Dalam surat tersebut, tak lupa aku cantumkan jangka waktu pernikahan kami. Hanya satu tahun lamanya.Jika biasanya dalam pernikahan kontrak pihak pria yang membuat surat-surat perjanjian, maka lain halnya dengan kami. Aku yang menyiapkan hal tersebut."Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan padamu." Usai makan, aku mengajak Yoga bicara."Katakanlah, aku mendengarkan," titahnya sembari membuka arloji."Tanda tangani surat perjanjian ini," ucapku seraya menyuguhkan surat kontrak yang seminggu lalu sengaja ku buat untuk berjaga-jaga."Surat kontrak?" Ku lihat kening Yoga berkerut nyaris menyatu. Mungkin dia terkejut aku memberinya sesuatu diluar nalar. Namun, inilah fakta yang harus ia terima. Surat kontrak ini sangat penting untukku.Dari surat inilah aku bisa melindungi selur
"Pelan-pelan tariknya... Sakit tahu!" Aku meringis kesakitan pada bagian bawah tubuh."Ini juga sudah pelan-pelan!" seru Yoga, menghardikku.Yoga terus berusaha menarik sesuatu yang menancap di bawah tubuhku secara perlahan.Suaraku menggema hingga memenuhi kamar pengantin kami. Mungkin saja orang di luar sana dapat mendengarnya cukup jelas."Aww... sakit! Tuh kan keluar darah. Huhuhu..." Tetapi, aku terus meringis kesakitan."Woi! Yoga... Hati-hati. Kasihan itu anak orang." Sesuai dugaan. Papa Yoga mendengar suaraku yang menggema hingga keluar ruangan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang kami."Iya, Pa. Ini juga sudah hati-hati," jawab Yoga dari dalam kamar, masih berusaha untuk menarik benda berukuran kecil itu."Yes, berhasil," katanya."Huaaa....""Cengeng banget sih jadi cewek?! Tenanglah, ini sakitnya tidak akan lama!" seru Yoga.Pria yang kini telah resmi menjadi suamiku itu terus mencercaku, karena tak bisa menahan perih yang menurutnya tak seberapa."Darah ini, kau
"Selamat, ya. Atas pernikahan kalian." Hari dimana aku dan Yoga bersanding akhirnya tiba juga.Ada banyak tamu undangan yang berdatangan. Tak terkecuali Aditya dan Maminya.Yoga yang sengaja mengundang langsung mantan pacarku itu sewaktu berkunjung ke rumah kami pada sore hari.Aku shock ketika tiba-tiba Yoga mengajak Aditya bicara. Entah apa yang mereka bahas. Saat itu aku hanya menyaksikan keduanya dari jauh.Sebelum pergi, Yoga memberi Aditya undangan pernikahan kami."Terimakasih," ucapku kepada salah satu tamu undangan yang menyalamiku."Congratulation, Beb. Semoga segera diberi momongan, ya... Aku sudah tak sabar lagi menggendong ponakan darimu." Entah Uti sengaja menggodaku. Atau dia bersungguh-sungguh mendoakanku. Wanita ini terlampau over akting.Seakan tidak tahu menahu ihwal perjanjianku dan saudara sepupunya itu."Kau jangan asal bicara." Aku mencecak lengan Uti sembari membisiknya. Kali ini Aku merasa dia sudah keterlaluan."Mengapa? Apa kau malu membayangkan malam pertam
"Yumi.""Aditya?"Pertemuan ini sungguh terasa canggung. Aku tidak pernah mengira akan bertemu Aditya dalam keadaan terjepit.Ada Yoga di sisiku. Semua orang tahu kami adalah pasangan kekasih. Pun Aditya, dia juga tahu itu.Lalu Yoga menghampiriku lebih dekat. Tadinya kami duduk saling berhadapan."Kita ketemu lagi... Apa kabar?" Aditya menyapaku tanpa menghiraukan Yoga."Aku baik," jawabku singkat.Meski hanya sandiwara, tapi aku tidak tega menyudutkan Yoga. Posisinya adalah sebagai calon suami. Bukan orang asing seperti yang disematkan pada diriku."Oh iya, apa kau sedang makan siang? Apakah aku boleh gabung?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Aditya berubah drastis seperti ini. Kemana perginya kekasih yang dulu ia pamerkan padaku. Mengapa dia selalu berkeliaran seorang diri?"Tidak boleh!" seru Yoga tiba-tiba.Mendadak Yoga mengangkat suara menolak Aditya. Kali ini aku takut terjadi keributan. Tatapan mereka seolah menunjukkan permusuhan."Yumi, apa kau bisa memberitahu tunanganmu.
"Pantas saja Uti hafal betul setiap sudut kantormu. Ternyata kalian saudara." Kami berada di restoran Jepang dekat pusat kota. Untuk makan siang.Entah ada angin apa Yoga membawaku kesini. Padahal dia sendiri yang memberitahuku sangat anti wartawan. Sementara lokasi restoran tempat kami makan siang lumayan ramai pengunjung serta mudah dijangkau oleh para pencari berita itu."Makanlah! Aku sedang tidak berselera untuk membahas konflik antar wanita," jawab Yoga tanpa beban."Konflik antar wanita? Hei! Ini bukan hanya tentang aku dan Uti. Melainkan kau juga. Bukankah kau yang melarangnya untuk memberitahuku?" sarkasku tak terima."Habiskan makanmu!" balas Yoga singkat.Aku heran terhadap pria yang satu ini. Sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa. Kenyataannya dialah penyebab dari semua persoalan."Cih! Dasar pria tidak bertanggung jawab," gumamku.Kemudian aku menyeruput jus lemon milikku tanpa menyentuh nasi goreng yang dipesan tadi."Ceritakan padaku, seperti apa masa kecil kalian? Apa