Ternyata Pak Devan tidak langsung pulang. Dia tetap menunggu restaurant tutup agar bisa mengantarku pulang seperti yang dia katakan. Menunggu selama berjamjam tak lantas membuatnya bosan. Dia justru membantu aku dan karyawan lain melayani pelanggan dari meja satu ke meja lain. "Pak, bira saya saja, bapak sebaiknya istirahat." Ucapku sambil mengambil nampan di tangannya. "Gak apa-apa, saya sudah terbiasa bekerja seperti ini. Tolong kamu ambilkan handphone saya di dalam tas ya!" katanya sambil menyunggingkan senyuman. Aku menurut. Segera pergi menuju ruangan. Dengan ragu aku membuka tas kerja milik Pak Devan karena tidak terbiasa membuka tas orang sembarangan. Ku lihat dalam sebuah buku terdapat lukisan yang belum selesai. Saat aku mengambilnya. Ternyata itu adalah lukisan wajahku. Buku itu seperti buku diary. Terdapat banyak kata-kata yang di tulis beberapa tahun yang lalu. "Wanita ini akan menjadi milikku, namanya Ardilla Maharani, seorang perempuan yang sudah berhasil membuatku
"Tolong jangan pergi dulu!" cegahnya menghalangi jalanku. "Tolong Pak, saya mau ke kantin. Tugas saya sudah selesai, kan?" "Iya, ada yang ingin saya bicarakan sama kamu. Tolong jangan pergi dulu..." cegahnya lagi sambil memegang tanganku. Saat aku berusaha melepaskannya. Tiba-tiba saja seseorang berteriak. "Dasar pelakor!" teriak Bu Ristia yang berdiri di depan pintu ruangan Pak Devan. Matanya melotot sambil memandang ke arahku dengan menahan amarah. Dia berjalan cepat, lalu menjambak rambutku dengan kasar. "Hei, wanita penggoda! Ternyata kamu ada disini juga ya, kenapa kamu tidak tahu diri mendekati kembali anak saya?!" ujarnya sambil mendorong kepalaku dengan kasar. "Mah, sudah Mah, kenapa Mamah melakukan itu? Tindakan Mamah ini keterlaluan!" bentak Pak Devan. "Kamu dan wanita ini yang keterlaluan! Bisa-bisanya di depan bayi di ruangan kampus ini kamu mesra-mesraan dengan wanita kotor ini!" ujarnya sambil menunjukkan telunjuknya ke arahku. "Dia bukan wanita kotor Mah, dia wa
Satu bulan sudah berlalu. Gosip tentang foto syur itu perlahan memudar. Tapi masih selalu ada orang yang membicarakan aku saat aku lewat di depan mereka. Aku berusaha tak mempedulikannya."Katanya foto itu, foto editan loh," bisik seorang mahasiswi pada temannya. "Beneran? Emang kamu tahu darimana kalau foto itu foto editan?" tanya temannya. "Baca nih, di grup chat ada yang menjelaskan soal editing foto jaman sekarang yang lagi ngetrend. Jaman sekarang kan dah canggih banget, jadi kita bisa aja terkecoh dengan hasil foto editan." jelas temannya. "Bener juga sih, kayaknya emang benar deh foto si Ardilla itu foto editan, kita kan bisa cek langsung fotonya di aplikasi." Kata temannya lagi yang membuat hatiku sedikit lega.Senyumku mengembang saat mendengar gosip yang sedang beredar tentang foto-fotoku yang ternyata hasil editan. Aku berjalan menuju ruang kelasku. Tapi, tiba-tiba saja Riko menghampiriku, dia mengulurkan tangannya. "Selamat ya, nama kamu sudah bersih, karena aku yakin
Aku menutup wajahku dengan selimut. Merutuki diri sendiri dalam hati karena sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal untuk kedua kalinya. Tidak seharusnya aku terjebak dengan ucapan Erista. Dan tidak seharusnya aku melakukannya bersama Pak Devan yang bahkan sudah menjadi suami orang. "Sudahlah Ar, semua sudah terjadi. Maka dari itu saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya sekarang, dan perbuatan saya di masalalu sama kamu." Katanya dengan entengnya. Entah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berkata apapun lagi. Sengaja hanya diam. Menarik selimut untuk menutupi tubuh, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya aku pergi meninggalkan Pak Devan tanpa sepatah katapun. ***********Saat berjalan di lorong kampus, semu orang memandang ke arahku. Mereka berbisik membicarakan soal aku yang memerima tantangan Erista semalam. "Aku pikir cupu, ternyata dia suhu. Bisa-bisanya minum sampai habis banyak ya!" ujar seorang mahas
Setelah membereskan semua barangku dan berpamitan pada ibu, aku pergi dari rumah Kak Lita menuju kontrakan yang sebelumnya sudah di siapkan kemarin oleh Riko. Karena ibu sedang sibuk memasak, dia tidak ikut membantu kepindahanku kesana. Aku naik bis menuju kontrakanku sambil menikmati indahnya jalanan kota. Beberapa panggilan tak terjawab dari Riko tak ku pedulikan lagi. Aku tetap fokus melihat jalanan kota sambil mengenang masa indah bersama Pak Devan. ""Hujan ini akan membuat kita saling mengingat kenangan di hari ini, saya yakin, kamu akan selalu mengingat saya di kala hujan." Ucapnya kala itu. Aku tersadar kembali lalu merutuki diriku sendiri karena tak bisa berhenti memikirkannya. "Dasar bodoh, ngapain masih mikirin orang itu sih Ar!" ujarku sambil menepuk jidatku. Setelah sampai di kostan aku langsung berbaring di tempat tidur. Karena disana sudah tersedia fasilitas yang lengkap. Tok...tok... Tok... Suara ketukan pintu membuatku segera membukanya. Terlihat Riko yang kini
"Ya, kalau begitu kita langsung ke rumah Clara saja sekarang!" kata Pak Devan sambil menarik tanganku. Kemudian kita kembali pergi menuju kediaman Clara di sebuah komplek perumahan elit. Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke komplek itu karena selain menjaga privasi, itu sudah termasuk aturan di komplek tersebut. "Mohon maaf, anda tidak bisa masuk, lagi pula Mbak Clara juga belum tentu kenal dengan anda." Kata satpam penjaga komplek. "Tapi Pak. Kita perlu bertemu dengan seseorang, dan orang itu temannya Clara. Namaya Riko, bapak pernah bertemu dengan Riko, kan?" jawabku. Dia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesuatu. "Oh, Den Riko ya? Den Riko..." "Riko sudah aku bawa ke rumah sakit!" kata sebuah suara dari arah belakang. Dengan spontan kami menengok ke arahnya bersamaan. "Clara!" ujarku. Di perjalanan menuju rumah sakit dia menceritakan semua kejadian yang di alami Riko. Dengan rasa cemas yang berlebih, tanganku gemetaran, pikiranku sudah kacau entah dimana sa