"Riko, sepertinya aku gak bisa, kamu kan tahu sendiri aku cuma seorang waiters dan kamu itu keponakan Pak Adrian. Apa kata para karyawan lain kalau mereka melihat kita selalu bersama?" tolakku. "Tinggal bilang aja kita pacaran. Mudah 'kan?" jawabnya santai. Drt... Drt... Drt... Suara dring telpon yang ku senyapkan terdengar dari handphoneku. Aku segera mengambilnya. Ternyata Pak Devan, dia sudah berkali-kali mengirim pesan. Berniat memberikan aku sarapan. "Dari siapa?" tanya Riko. "Eu...bukan siapa-siapa, ini temen aku." Jawabku gelagapan sambil menyembunyikan handphoneku. "Oke, syukurlah. Kalau begitu kamu siap-siap, aku tunggu di luar, kita berangkat sekarang, oke?" katanya sok ngatur. Aku mengangguk membalasnya. Dia tersenyum sambil mengusap lembut kepalaku, lalu pergi keluar sambil menutup pintu. Aku bernafas lega. Lalu segera membalas pesan dari Pak Devan. Menolaknya mengantar makanan dengan alasan aku terburu-buru sudah telat bekerja. Setelah selesai dandan dengan terpa
"Apa maksud kamu bawa aku ke tempat ini?" tanyaku sinis pada Riko. Dia tertawa. "Loh, memangnya kenapa Ar? Villa ini tempat yang menenangkan. Bagi aku Villa ini adalah tempat yang bisa membuat suasana hati aku menjadi lebih tenang, rileks, pokoknya nanti kamu akan tahu sendiri apa tujuan aku sebenarnya bawa kamu ke tempat ini. Yuk, kita masuk!" kata Riko, dia menarik tanganku tanpa ragu. "Tunggu dulu Riko!" cegahku lagi yang membuatnya berhenti melangkah. "Apalagi sayang? Jangan grogi gitu dong, aku gak bermaksud apa-apa kok, aku cuma mau minta bantuan sama kamu." Bujuk Riko. Akhirnya hatiku luluh juga. Aku menurut, mulai memasuki villa itu mengikuti Riko yang tak lepas memegang tanganku. Tiba-tiba saja Riko mendorong tubuhku memasuki sebuah kamar. Dia menutup pintu dan menguncinya. "Riko! Apa-apaan ini?! Kenapa kamu tutup pintunya?!" teriakku dengan ketakutan. Laki-laki itu hanya terdiam dalam emosi yang menggebu. Tatapannya seperti singa yang siap melahap mangsa. "Apa selama
Aku menatap ke arah ibu yang masih memandangku dengan wajah pucatnya. Lalu dia melirik ke arah Pak Devan yang duduk di belakangku. "Ar... Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini? Menikah secara siri itu tidak adil untuk seorang wanita. Dan ibu ingin memperingatkanmu, wanita akan sangat rugi jika menikah secara siri." Ucapnya lembut. Aku termenung mencoba mempertimbangkan setiap ucapan ibu. Aku rasa semua ucapan itu memang benar. Wanita hanya akan merugi jika menikah secara siri atau menikah secara agama. Tapi, disisi lain aku tidak ingin hubunganku dengan Pak Devan terombang ambing begitu saja. Dan lagi, kami sudah melakukan sebuah kesalahan besar. "Ar... Kamu dengar ucapan ibu 'kan?" tanya ibu menyadarkan lamunanku. "Eu... iya bu, Ardilla mendengar semuanya. Kalau boleh Ardilla tanya sama ibu, apa ibu merestui hubungan kita, kalau kita berniat ingin menikah?" tanyaku ragu tapi aku ucapkan begitu saja. Terlihat ibu masih begitu gelisah. Dari raut wajahnya dia masih belum ikhlas mel
Dia terkekeh melihat sikapku yang gelagapan juga kesal mendapat perlakuan barusan. Riko memang jahil. Sengaja dia mengerjaiku. Setelah selesai mengganti baju dia menghadangku kembali. "Mau kemana lagi?" Riko kembali menahanku yang hendak pergi. "Aku harus kerja, aku bukan bos yang enak-enak bersantai ria!" jawabku kesal. "Malam ini anggap saja kamu itu seorang bos, aku udah pesan ramen pedas plus cake kesukaan kamu juga kopi hangat dan jus mangga. So, duduk lagi, dan tunggu dulu, sebentar lagi makanannya akan segera diantar." Katanya lagi, dia menggiring tubuhku kembali. "Tapi..." "Ardian itu sepupu aku, dan aku udah izin sama dia kalau kamu gak usah kerja lagi malam ini, lagipula jam kerja kamu cuma tinggal beberapa menit lagi 'kan?" sangkalnya memotong ucapanku. Karena tak ingin lelah berdebat dengannya. Aku memutuskan untuk pasrah saja. Menuruti apa yang dia katakan. Setelah salah satu temanku selesai menaruh semua pesanan di atas meja. Kami mulai menyantapnya. Aku jadi teri
"Nyaman juga tempatnya, enak, adem ya!" katanya sambil duduk di atas ranjangku. "Sekarang kita tetanggaan loh, aku ngekost disini juga," jelasnya yang membuat mataku terbelalak. "Ngekost disini juga?! Bukannya selama ini dia tinggal di apartemen?" ucap batinku. "Kenapa terkejut? Emangnya salah ya, kalau aku ngekost dekat kamu?" tanyanya. Aku tetap diam, menahan emosiku yang seakan ingin meledak. Ku rogoh ponselku dari dalam tas kecil. Lalu mengirimkan sebuah pesan singkat pada Pak Devan. "Aku boleh numpang tiduran disini ya?" tanya Clara. "Gak boleh!" jawabku tegas menatapnya sinis sambil melipat tangan. "Sombong banget sih, baru ngekost di tempat kayak gini aja udah sombong!" celetuknya sambil bangkit."Kostan kita sama, jadi bukan masalah sombong. Tapi, harus tahu adab ketika masuk ke dalam rumah orang lain. Seengaknya jika belum di izinkan masuk, jangan langsung masuk!" balasku lagi. Clara menatapku tajam. Dia seakan sedang mengibarkan bendera peperangan denganku. "Akan aku
Singkat cerita kami tidak pernah bertemu kembali. Aku memutuskan untuk pergi pindah kostan juga agar Pak Devan dan Riko tidak bisa menemuiku lagi. Aku juga sudah bekerja di salah satu restaurant memutuskan untuk berhenti kuliah yang aku anggap itu hanya akan menyusahkan ibu. "Ar, tolong kamu antar pesanan ini ke meja nomer 12!" Kata salah satu teman kerjaku. "Oke, Bang!" segera aku mengantar dua gelas kopi late pesanan itu ke arah yang di tuju. "Ini Mbak pesanannya, selamat menikmati," ucapku ramah padanya. Tapi baru saja aku hendak pergi, wanita berkacamata hitam itu menahan tanganku. "Kamu... Ardilla 'kan?" tanyanya. Aku mengernyitkan dahi, sambil mengangguk mencoba mengingat siapa wanita itu sebenarnya. Saat dia membuka kacamatanya barulah aku bisa mengenalinya. "Iya, saya Ardilla." Jawabku. "Siapa juga yang gak tahu sama kamu, jejak digital itu emang gak akan bisa terhapus. O, ya. Aku cuma mau kasih tahu aja sama kamu kalau semalam Riko ada di apartemen aku." Katanya seolah