Share

Bab 3

Jiwanya sudah melayang jauh meninggalkan raga ketika ucapan Troy masih terngiang-ngiang di telinga. Semakin lama suara Troy semakin melubangi hati Louisa, menorehkan luka menganga yang begitu pedih bak ditaburi garam. Sesak. Louisa memukul dada dengan kepala tangan, berharap gumpalan menyakitkan ini bisa keluar dari sana. Udara di sekitar pun tak mampu menjernihkan akal sehat Louisa, malah meneriaki kalau kisah asmara yang dijalani bertahun-tahun kandas tanpa sebab.

Kaleng-kaleng bir berserakan di balkon, tapi tidak mampu menghapus kesedihan Louisa. Semalaman dia duduk di sana seorang diri dan tidak membiarkan Cory menemani. Bergulat dengan isi kepala, mengorek-ngorek kilasan pernyataan teman-temannya tentang sikap Troy yang sama sekali tidak menunjukkan sebagai kekasih setia. Sekarang dia tenggelam dalam kubangan penderitaan akibat terlalu berpikiran positif pada Troy, padahal sudah terlihat jelas kalau lelaki itu tidak seperti dulu lagi.

Aroma cokelat hangat terendus di hidung Louisa ketika Cory mendekat membawa dua cangkir minuman hangat. Gadis itu berpaling, buru-buru menghapus jejak basah di pipi dan memaksakan diri untuk tersenyum walau otot-otot wajahnya terasa kaku.

Cory menaruh cangkir tersebut lantas mendudukkan diri di samping Louisa dan berkata, "Minumlah dulu untuk membuat perasaanmu lebih baik, Lou."

Jemari Cory memeluk cangkirnya sendiri, menerawang ke arah pantai Malibu yang tak jauh dari apartemen yang mereka tinggali lalu menoleh mengamati garis wajah Louisa. Seperti anak ayam kehilangan induknya, Louisa begitu menyedihkan. Sejujurnya, dia merasa kasihan dengan Louisa meski di sisi lain ada perasaan lega kalau Troy memutuskan hubungan. Baginya Louisa patut mendapatkan lelaki yang lebih baik dari sang mantan manalagi di sini aktor-aktor lebih menawan dan sedikit-banyak Cory hafal karakter mereka.

"Bisakah aku tidak hadir dalam jumpa fans hari ini, Cory?" tanya Louisa meraih cangkir cokelat hangat. Begitu menyentuh kulit, kehangatan langsung tersebar menyelimuti setiap aliran darah. Disesap sebentar cokelat itu melewati kerongkongan dan turun ke lambung. Coklat memang sesuatu paling baik untuk menenangkan dan rasa resah itu mulai membaik walau tak sepenuhnya. "Aku merasa belum bisa bertemu orang-orang dengan kondisi mataku bengkak seperti ini. Aku takut mereka akan menerjangku dengan banyak pertanyaan."

"Oh, sial. Terkutuklah Troy! Aku bersumpah suatu saat dia akan merasakan apa yang kau rasakan hari ini, Lou," rutuk Cory berharap semesta mendengar munajatnya. "Tapi ... kaulah yang ditunggu mereka, Sayang. Masih ada waktu empat jam lagi, Lou. Aku bisa membantumu mengompresnya agar tidak terlalu bengkak. Nanti kau pakai saja kacamata hitam. Bagaimana?"

"Aku ... sungguh tidak berminat, Cory. Tubuhku belum istirahat, mood-ku benar-benar buruk. Aku takut di depan mereka malah menangis."

Tak berapa lama ponsel Cory berdering nyaring sebelum lelaki itu menimpali permintaan Louisa untuk tidak datang ke acara fans meeting. Cory mendecak kesal karena seseorang mengganggunya di saat genting seperti ini. Buru-buru dia berlari menghampiri gawai yang tergeletak di kamar Louisa sejak semalam. Alis tebal Cory mengerut mendapati asisten pimpinan agensi menghubunginya secara tiba-tiba. Dia mendadak gugup setengah mati, nyaris saja jatuh ke lantai kalau bukan kesadarannya yang memerintah untuk menjawab panggilan mendesak itu. Cory mendaratkan pantat ke pinggiran kasur, meremas dada dan bertanya,

"Ada apa, Mr. Reese?"

"Aku mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepadamu agar mengatur jadwal pertemuan Ms. Bahr dengan Mr. Cross malam nanti," jawab Mr. Reese.

"Ma-malam nanti?" Cory berdiri, berjalan cepat menuju balkon di mana Louisa masih duduk memeluk kedua lututnya dengan tatapan kosong. "Apakah bisa hari lain, Tuan? Karena kemungkinan kami akan--"

"Mr. Cross menginginkan jadwal itu hari ini, Mr. Conley," potong Mr. Reese seakan tidak mau menerima penolakan.

Louisa menengadah, menautkan alis penasaran siapa yang menelepon sampai membuat ekspresi Cory sepucat mayat. Cory menyiratkan Louisa diam sejenak dengan menempelkan telunjuk kiri di bibir, manakala telinganya masih mendengar penjelasan asisten Mr. Cross. Begitu Cory menyetujui dan memutuskan sambungan telepon, dia mengembuskan napas seraya memutar bola mata merasakan kepalanya akan meledak saat ini juga. Undangan langka dari Dean Cross tentu saja tidak boleh dilewatkan, pikir Cory. Tapi, dia juga dilema karena psikis Louisa tidak memungkinkan untuk menyambut pimpinan tertinggi agensi dengan ramah.

Pernah sekali waktu, mungkin tahun lalu seminggu sebelum perayaan natal ketika Louisa bertengkar dengan Troy saat syuting di salah satu film. Walau sebatas figuran, terkadang Louisa mementingkan suasana hati sehingga proses pengambilan gambar jadi lebih lama. Dia tidak segan memarahi balik kalau ada yang mengusik emosinya. Oleh karena itu, bolak-balik Troy mengingatkan Louisa agar pintar-pintar mengatur amarah dan tidak mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Sekecil apa pun masalah yang datang, seharusnya sebagai artis yang terlanjur menyelam di dunia perfilman harus bersikap profesional, bukannya berdiam diri dan menangisi lelaki bajingan seperti Troy.

"Kau diundang Mr. Cross malam ini," tandas Cory, "setelah acaramu di San Diego."

"Mr. Cross? Untuk apa?" tanya Louisa tak mengerti.

Cory berlutut di depan Louisa, memegang kedua tangan kurus nan lentik artisnya sambil menatap penuh harap. "Dengar Lou. Selama aku bekerja di bawah agensi Mr. Cross, belum pernah aku mendengarnya mengundang artis untuk bertemu secara pribadi. Kita lihat sisi positifnya sekarang, bisa jadi kan kalau Mr. Cross memberimu peluang lebih? Teman kencan? Uang? Atau merekomendasikanmu ke beberapa produsen film?"

"Cory ..." Louisa nyaris menolak ketika Corcy mengeratkan genggamannya.

"Aku sayang padamu, Lou. Dan sungguh menyakitkan melihatmu dicampakkan Troy. Sekarang tunjukkan pada bajingan itu bahwa tanpa dia, kau masih bersinar, Sayang," ujar Cory menggebu-gebu seperti ada nyala api di kedua bola matanya. "Kalau aku jadi kau, akan kulakukan apa pun agar bisa berduaan dengan Mr. Cross. Tapi ingat, berhati-hatilah padanya."

"Kau bilang menerima ajakannya, sekarang berhati-hati. Kau tidak konsisten sekali," cibir Louisa kesal. "Jikalau seperti itu, lebih baik aku menolaknya secara tegas kan?"

"Ck! Bukan seperti itu, My Lady," tandas Cory gemas. "Maksudku, jika dia menawarimu untuk tidur dengannya jangan mau. Karena banyak wanita yang akhirnya terbawa perasaan dan mengejar-ngejar Mr. Cross seperti orang gila. Kau boleh patah hati dan menyenangkan perasaanmu pada lelaki, tapi tetaplah gunakan logikamu, Lou. Lelaki bakal menjadi sebaik malaikat dan segarang singa ketika menemukan wanita tak berdaya."

"Jadi, aku harus menerimanya tapi juga berhati-hati dengannya?" ulang Louisa.

"Tepat sekali, Sayang. Jika dia menawarimu peluang untuk karier, maka ambillah! Kalau dia menawarimu adik kecil di balik celananya, jangan!" titah Cory mengerlingkan sebelah mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status