Share

Bab 6 Belum Berakhir

"Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Leticia menggosok-gosok kaki kanan yang terkilir. Matanya terbelalak saat cairan hangat mengalir di dada. Luka jahitan kembali terbuka. Tangannya refleks menekan luka yang semakin perih seraya menggigit bibir menahan sakit. Sayangnya, darah terlanjur menembus kaus merah muda yang dia pakai. 

Leticia menunduk hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tinggi tengah memerhatikannya di ambang pintu. Wanita itu mengerjap tersadar setelah beberapa detik terkejut. Sekilas dia melirik pria yang mengenakan celana bahan hitam dan kaus putih panjang. Gorden apartemen yang  tertutup membuat dia tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.

___

Vanderson Raymondo baru saja terbangun. Kepalanya begitu berat hingga keningnya terasa berdenyut-denyut. Dia membuka mata melihat ke balkon. "Sudah siang? Berapa lama aku tidur? Jam berapa ini?" Ray bergumam. Tubuhnya seolah enggan untuk bangkit dari ranjang. 

Membuka mata membuatnya teringat peristiwa menyakitkan. Nikita yang menghianatinya sedemikian brutal membuat dia melampiaskan kekecewaan pada alkohol hingga mabuk berat. Kini tubuhnya seolah remuk. Tak beda dengan suasana hatinya yang porak-poranda. 

Tenggorokannya begitu kering. Dia memaksakan diri untuk bangkit sebelum mengalami dehidrasi. Ray beringsut duduk di tepi ranjang."Wanita pendusta!" umpatnya seraya menggosok-gosok wajah dengan kedua tangan. 

Dia bangkit menggusur kakinya keluar dari kamar. Sejenak, langkahnya terhenti di ruang tamu ketika melihat bayangan bergerak-gerak dari celah pintu. Dahi Ray mengerut terheran, dia berjalan lalu membuka kunci perlahan, dan menarik tuas pintu dalam satu tarikan.

Gedebuk!

Ray terkesiap saat mendapati wanita terjatuh cukup keras. Samar-samar dia mendengar. "Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Suara wanita itu terdengar kesakitan. 

Ray mengerjap-ngerjapkan mata yang masih lengket, lalu mengulurkan tangan membantu wanita itu berdiri. "Kau tidak apa-apa?" Ray tak menyadari bahwa suaranya begitu serak. Tunggu. Dia mengingat sesuatu. Wanita bermata biru dengan wajah lebam. Alis Ray mengerut ketika melihat bercak darah di pakaian wanita itu.

Leticia meraih tangan pria itu sambil menunduk, wajahnya pucat menahan sakit. Dengan lirih dia berkata, "Aku tidak apa-apa. Maaf menggang …."  Ucapan Leticia terhenti ketika melihat mata hazel pria itu.

"Hey! Kau rupanya! Pantas saja aku begitu sial!" desis Leticia sambil mengatupkan rahang menahan kesal. Dengan cepat dia menarik tangannya dari pria itu. Lalu membalikkan badan dan berjalan dengan terpincang-pincang. 

Ray menatap lekat punggung Leticia. "Wanita ceroboh! Kenapa kau suka sekali memakiku," gumam Ray. Alis tebalnya tiba-tiba terangkat ketika Leticia masuk ke apartemen di hadapannya. "Dia tinggal di sini?" Seringai misterius terukir dari bibirnya. 

Brak!

Leticia masuk ke apartemen dan membanting pintu cukup keras. Dengan terpincang-pincang dia berjalan ke kamar. Mengambil obat dan perban dari dalam tas kecil. Saat mengobati luka di dada, benaknya dipenuhi dengan kejadian hari ini. Sebelum berangkat, pesawat tertunda hingga dia harus terlunta-lunta di Bandara.  Barusan sekali dia mengalami hal memalukan. 

Wanita itu menghela napas panjang. "Tidak! Semoga ini bukan pertanda buruk," kata Leticia pada diri sendiri.

Tubuh Leticia seolah menariknya ke atas ranjang. Perjalanan panjang membuat dia begitu kelelahan. Wanita itu menarik selimut putih berbulu lembut.

"Tuhan ... ampuni aku. Jangan biarkan aku gagal membujuk arsitek itu. Aku tak memiliki siapapun selain ayah," lirih Leticia saat memejamkan mata. 

Tak lama kemudian matanya terbelalak hingga terperanjat. "Jangan pertemukan aku dengan pria pembawa sial itu lagi," desis Leticia. "Aku harus segera menemui arsitek itu agar segera pergi dari sini." Leticia mengembuskan napas gusar lalu turun dari ranjang. 

Ketika hendak mengambil jaket dari koper, dia menyadari tak menemukan dokumen berisi identitas sang arsitek. Seluruh isi koper dia hamburkan di atas lantai. "Astaga, kenapa aku melupakan hal sepenting itu." Leticia merutuki diri sendiri.

Leticia kembali merapikan koper, lalu mengambil ponsel dari tas di atas nakas untuk menghubungi sang Ayah. 

"Arrghh! Sial!" keluh Leticia. Dia terlalu lama mendengarkan musik saat menunggu di Bandara hingga ponselnya mati. Merasa panik dia segera mencari pengisi daya dari dalam koper. 

"Astaga! Kenapa aku begitu ceroboh!" Lagi-lagi nasib baik tak berpihak pada Leticia. Dia baru mengingat ponsel itu milik Laura hingga lupa meminta pengisi daya dari David. Leticia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, mengendalikan kepanikan yang kian melanda. 

Dia berpikir keras apa yang harus dilakukan. Dia mengangkat jam di pergelangan, waktu menunjukkan pukul 17.00. "Aku harus membeli pengisi daya sebelum larut malam." 

Leticia melapisi tubuh dengan hoodie putih, dengan terburu-buru memakai sneaker abu muda. Kemudian meraih sling bag dari atas nakas dan segera keluar dari apartemen dengan kaki yang masih terpincang-pincang. Kepalanya berputar ke segala arah. Dia bertanya pada orang yang berlalu lalang. Akhirnya, dia berjalan sejauh 500 meter ke arah selatan. 

Hari semakin sore. 

Matahari menyembunyikan diri di balik awan mendung. Cuaca seperti sedang tak bersahabat. Kabut tebal menyelimuti sudut kota membuat jarak pandang memburuk. 

Begitu tiba di tempat tujuan. Ternyata, gerai ponsel berada di seberang jalan. Leticia menoleh ke kiri dan ke kanan hendak menyeberang, mobil-mobil melaju cukup kencang. Membuat dia harus berdiri beberapa saat.

Sebuah sepeda motor berhenti di hadapan Leticia. Dengan gerakan cepat pengendara yang mengenakan jaket kulit berwarna coklat dengan helm full face merampas tas wanita itu dan menarik gas dengan kecepatan penuh. 

Leticia tersentak sesaat lalu menjerit, "Tolong ... tasku dirampok! Siapapun tolong aku…." Leticia berlari mengejar sambil menggigit bibir menahan sakit di kaki kanan yang terkilir. 

Air mata tertahan di pelupuk mata. Hatinya menjerit-jerit. "Tuhan, kumohon jangan menghukumku seperti ini. Ampuni aku …."

Dia berlari sekuat tenaga hingga menabrak sepasang remaja pria dan wanita yang berjalan sambil menikmati kopi di cup kertas. 

Bruk!

Seketika Leticia terjatuh dengan posisi tengkurap di atas aspal kasar. Sepasang remaja itu pun terjatuh. Secangkir cappuccino mengotori hoodie putihnya. Hal itu berhasil membuat Leticia menghentikan usahanya mengejar pencuri. 

Leticia bangkit di bantu sepasang remaja itu. Wajah lebam menjadi pucat pasi menahan luka jahitan yang terasa semakin robek.  

"M-maaf … aku tak sengaja," ucap Leticia terengah-engah. 

"Tak apa, kau baik-baik saja, Nona?" Sepasang remaja itu membopong Leticia ke pinggir jalan. 

Leticia menolak ketika dua orang itu mengajak ke rumah sakit. Dia memilih kembali ke apartemen seorang diri. Ya. Dia butuh kesendirian. Dia berjalan dengan pundak merosot. Tertatih-tatih. Lelah. Leticia dipaksa kuat untuk menggapai tujuan.

Bukan tentang tujuan menggapai cita-cita. Leticia hanya menginginkan pengampunan dari sang ayah. Setengah putus asa dia berucap, "Maaf, Ibu." Setetes air mata  meluncur membasahi pipi. 

Pedih. Bukan tentang luka yang kembali menganga. Bukan pula tentang lebam di wajah atau kaki yang terkilir. Rasa sakit mengikis palung hati kala sesal tak mampu dia sembahkan pada orang yang tak lagi di dunia. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status