Share

Bab 7 Keyakinan Yang Salah

Segelintir lamunan mengantarkan Leticia hingga ke apartemen. Leticia melirik pintu di lantai satu yang saling berhadapan sambil mengingat-ingat tulisan dalam dokumen. Di apartemen no berapa arsitek itu tinggal? Nihil. Tak ada yang bisa dia ingat kecuali ucapan sang Ayah.  

"Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!" 

Ucapan David terngiang jelas dalam benak Leticia. Kebuntuan informasi membuat wanita itu semakin frustrasi. "Seperti apa wajah tuan Vanderson Raymondo?" Tak henti-henti dia bertanya pada diri sendiri. 

"Daniel dan ayah adalah orang arogan!"

Kedua bayangan lelaki itu menghujam tubuh Leticia laksana pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama Daniel seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Menggemuruh dalam benaknya. Memikirkan kedua sosok itu membuat tubuh Leticia lemas hingga merosot di belakang sofa. 

Leticia memicingkan mata teringat wajah pria bermata hazel yang tinggal di apartemen 609. "Apa dia arsitek arogan itu?" Leticia menggeleng cepat, dia tak melihat tampang arogan dari wajahnya yang damai, sorot matanya yang teduh, dan bariton yang lembut enak didengar.

Masih segar diingatan Leticia saat dua kali  bertemu dan memaki pria itu. Namun, beliau tidak pernah membalas atau bereaksi kasar. Hal itu membuat Leticia semakin yakin bahwa pria penghuni 609 bukanlah yang dia cari.

Leticia mondar-mandir mengetuk pintu apartemen 606 dan 607 bergantian, tetapi pintu tak kunjung terbuka. Dia mengembuskan napas panjang, lalu melangkah ke sofa di dekat dasar tangga. Dia mendudukkan bokong dan menyandarkan tubuh. Memikirkan sang arsitek membuat kepala Leticia berdenyut-denyut.

____

Raymond tengah bersiap-siap mengunjungi kediaman Marco. Sejak tiba di Catania semalam, Ray memisahkan diri dari ketiga sahabatnya. Dengan santainya dia menuruni tangga. Kening pria itu mengernyit ketika melihat Leticia yang tengah tidur meringkuk di atas sofa. 

Pria itu terkekeh geli melihat penampilan Leticia yang kumal. Sepertinya wanita itu tak pandai merawat diri. Kenapa selalu mengenakan pakaian yang dipenuhi bercak darah. Terlebih, hoodie yang dipakai sangat kotor. 

Segaris senyum tersungging memerhatikan wajah Leticia dari jarak tiga meter. Wanita itu juga tak pandai merias wajah. Kenapa tak menutup memarnya dengan make up seperti kebanyakan wanita, bibirnya juga terlihat kering dan pucat. 

"Kau berbeda." Ray menggeleng menepis pikiran. Kemudian, keluar dari apartemen menuju parkiran.  

Kediaman Marco tak jauh dari apartemen Benny. Cukup berkendara tiga puluh menit, Ray tiba di perumahan elite Gallowen Manor. Setelah melewati gerbang besi tinggi yang terbuka, pria itu memarkirkan Audi S8 hitamnya di belakang sederet mobil yang telah lama terparkir di sana.  

Ray baru saja turun dari mobil. Sejenak, dia melepas parka hitam dari tubuh kekar. Penampilan pria itu terlihat lebih santai dengan celana jeans dan kaus abu polos yang membentuk otot-otot besar. 

Raymond mengamati sekeliling rumah bertingkat dua bercat putih yang tampak sepi. Kemudian, melangkah menuju teras marmer melewati dua pilar tinggi. Detak sneaker tak terdengar keras. Dengan semringah dia melewati pintu bercat gelap yang terbuka.

"Nak Ray, akhirnya kau datang." Pelukan hangat dari lelaki tua menyambut kehadiran Ray. Arthur, lelaki berusia tak lebih dari enam puluh tahun dengan setelan biru tua dilengkapi dasi merah bermotif garis gold. 

"Maaf, semalam aku terlalu lelah untuk datang ke sini, Paman." Ray memeluk erat tubuh gempal Arthur. 

Arthur melepas pelukan. "Tak apa, Nak. Entah bagaimana aku harus mengatakan terima kasih padamu. Kau selalu menjaga putraku dengan baik," ucap Arthur. Kemudian, menggandeng bahu kokoh Ray mengajak ke ruang tamu melewati lemari besar berisi pajangan antik. 

"Aku bukan putramu?" celetuk Ray sambil melirik  Arthur yang tampak berkharisma. 

Arthur terkekeh sambil menggeleng-geleng. "Terserah apa katamu," sahutnya. "Ada yang ingin aku bicarakan." 

"Kau terlihat sangat serius, Paman." Ray memantikkan api pada sebatang rokok yang diapit bibirnya. 

"Tentu, kapan lagi aku diberi kesempatan membicarakan hal ini padamu." Arthur terkekeh, tangannya meraih dokumen di atas meja. 

Ray seolah tahu apa yang akan dibahas Arthur. Dia beranjak dari sofa beludru merah maroon. Namun, Arthur yang menyadari perubahan pria itu segera menghentikan dan meminta kembali duduk.

"Ray, sudah saatnya kau memutuskan. Aku dan Ayah Alex sudah terlalu tua. Kalian yang lebih muda seharusnya yang mengurus. Kau tahu sendiri ibunya Alex beralasan tak betah tinggal di Ragusa. Segala upaya dilakukan Smith agar istrinya nyaman di sana. Akhirnya Lea banyak menghamburkan uang. Aku tak berdaya menghadapi mereka, Nak." Arthur melepas kacamata berbingkai emas dan meletakkan di atas meja di hadapan mereka. 

Ray menghisap rokok begitu dalam lalu meniupkan perlahan, dia menegapkan posisi duduk. "Paman Arthur, kumohon … jangan permasalahkan bibi Lea, kalian orang tuaku saat ini. Tolong, jangan sungkan padaku," kata Ray. 

"Beri aku waktu hingga menemukan orang tua kandungku. Jika saat itu tiba, aku berjanji akan memutuskan. Sekarang aku belum siap, dan Paman tahu betul hanya kalian yang aku percaya." Mata Ray berkabut saat menatap Arthur yang duduk di sofa one-seater di sampingnya, tepat di sebelah kiri sofa two-seater tempat dia Ray duduk.

Seolah tak ingin menunggu jawaban Arthur, dia beranjak dari sofa. Arthur seketika berdiri menahan pemuda gagah itu. "Nak Ray, aku harap kau menyempatkan diri besok pagi. Sekali ini saja, aku mohon kau menghadiri rapat di Ragusa," kata Arthur penuh harap.

Ray mengangguk muram. Kemudian berjalan cepat melewati koridor yang berdinding kokoh. Menaiki tangga yang berputar menuju lantai dua. Sejurus kemudian, pria itu mengambil sebotol wine dan empat cabernet dari mini bar. 

Ray melangkah ke balkon, tampak Alex dan Max sedang asik bermain billiard ditemani Marco yang sibuk memainkan laptop dalam pangkuannya di kursi roda.  

"Brengsek, kau membuatku khawatir! Kenapa tak menjawab panggilanku? Kupikir kau mengakhiri hidupmu karena Nikita dan Ayres," hardik Alex saat menghampiri Ray. 

"Aku tak sebodoh itu," sahutnya santai. Ray meletakkan wine dan cabernet di atas meja. Kemudian, melemparkan tubuh di atas sofa beludru putih. 

Seketika Marco dan Max saling beradu pandang. "Apa maksudmu, Lex?" tanya Max penuh selidik. "Ada sesuatu yang aku lewatkan?" Max meletakkan stick di atas meja billiard. Kemudian menuangkan wine ke beberapa cabernet. 

"Ah, aku lupa memberitahu kalian. Beberapa hari lagi Nikita menikah dengan Ayres, katanya pria kaya," kelakar Alex seraya meraih segelas wine dari atas meja di depan Ray. 

"Jika aku jadi kau akan kubunuh Ayres!" geram Max saat menatap tajam ke arah Ray seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Entahlah, hati kecilku melarang melakukan itu pada Ayres." Ray menyeringai penuh arti.

"Wanita lugu itu ternyata ular berkepala dua!" berang Marco tersulut emosi, mereka tahu betul bagaimana pengorbanan Ray pada Nikita. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status