Segelintir lamunan mengantarkan Leticia hingga ke apartemen. Leticia melirik pintu di lantai satu yang saling berhadapan sambil mengingat-ingat tulisan dalam dokumen. Di apartemen no berapa arsitek itu tinggal? Nihil. Tak ada yang bisa dia ingat kecuali ucapan sang Ayah.
"Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!"
Ucapan David terngiang jelas dalam benak Leticia. Kebuntuan informasi membuat wanita itu semakin frustrasi. "Seperti apa wajah tuan Vanderson Raymondo?" Tak henti-henti dia bertanya pada diri sendiri.
"Daniel dan ayah adalah orang arogan!"
Kedua bayangan lelaki itu menghujam tubuh Leticia laksana pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama Daniel seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Menggemuruh dalam benaknya. Memikirkan kedua sosok itu membuat tubuh Leticia lemas hingga merosot di belakang sofa.
Leticia memicingkan mata teringat wajah pria bermata hazel yang tinggal di apartemen 609. "Apa dia arsitek arogan itu?" Leticia menggeleng cepat, dia tak melihat tampang arogan dari wajahnya yang damai, sorot matanya yang teduh, dan bariton yang lembut enak didengar.
Masih segar diingatan Leticia saat dua kali bertemu dan memaki pria itu. Namun, beliau tidak pernah membalas atau bereaksi kasar. Hal itu membuat Leticia semakin yakin bahwa pria penghuni 609 bukanlah yang dia cari.
Leticia mondar-mandir mengetuk pintu apartemen 606 dan 607 bergantian, tetapi pintu tak kunjung terbuka. Dia mengembuskan napas panjang, lalu melangkah ke sofa di dekat dasar tangga. Dia mendudukkan bokong dan menyandarkan tubuh. Memikirkan sang arsitek membuat kepala Leticia berdenyut-denyut.
____
Raymond tengah bersiap-siap mengunjungi kediaman Marco. Sejak tiba di Catania semalam, Ray memisahkan diri dari ketiga sahabatnya. Dengan santainya dia menuruni tangga. Kening pria itu mengernyit ketika melihat Leticia yang tengah tidur meringkuk di atas sofa.
Pria itu terkekeh geli melihat penampilan Leticia yang kumal. Sepertinya wanita itu tak pandai merawat diri. Kenapa selalu mengenakan pakaian yang dipenuhi bercak darah. Terlebih, hoodie yang dipakai sangat kotor.
Segaris senyum tersungging memerhatikan wajah Leticia dari jarak tiga meter. Wanita itu juga tak pandai merias wajah. Kenapa tak menutup memarnya dengan make up seperti kebanyakan wanita, bibirnya juga terlihat kering dan pucat.
"Kau berbeda." Ray menggeleng menepis pikiran. Kemudian, keluar dari apartemen menuju parkiran.
Kediaman Marco tak jauh dari apartemen Benny. Cukup berkendara tiga puluh menit, Ray tiba di perumahan elite Gallowen Manor. Setelah melewati gerbang besi tinggi yang terbuka, pria itu memarkirkan Audi S8 hitamnya di belakang sederet mobil yang telah lama terparkir di sana.
Ray baru saja turun dari mobil. Sejenak, dia melepas parka hitam dari tubuh kekar. Penampilan pria itu terlihat lebih santai dengan celana jeans dan kaus abu polos yang membentuk otot-otot besar.
Raymond mengamati sekeliling rumah bertingkat dua bercat putih yang tampak sepi. Kemudian, melangkah menuju teras marmer melewati dua pilar tinggi. Detak sneaker tak terdengar keras. Dengan semringah dia melewati pintu bercat gelap yang terbuka.
"Nak Ray, akhirnya kau datang." Pelukan hangat dari lelaki tua menyambut kehadiran Ray. Arthur, lelaki berusia tak lebih dari enam puluh tahun dengan setelan biru tua dilengkapi dasi merah bermotif garis gold.
"Maaf, semalam aku terlalu lelah untuk datang ke sini, Paman." Ray memeluk erat tubuh gempal Arthur.
Arthur melepas pelukan. "Tak apa, Nak. Entah bagaimana aku harus mengatakan terima kasih padamu. Kau selalu menjaga putraku dengan baik," ucap Arthur. Kemudian, menggandeng bahu kokoh Ray mengajak ke ruang tamu melewati lemari besar berisi pajangan antik.
"Aku bukan putramu?" celetuk Ray sambil melirik Arthur yang tampak berkharisma.
Arthur terkekeh sambil menggeleng-geleng. "Terserah apa katamu," sahutnya. "Ada yang ingin aku bicarakan."
"Kau terlihat sangat serius, Paman." Ray memantikkan api pada sebatang rokok yang diapit bibirnya.
"Tentu, kapan lagi aku diberi kesempatan membicarakan hal ini padamu." Arthur terkekeh, tangannya meraih dokumen di atas meja.
Ray seolah tahu apa yang akan dibahas Arthur. Dia beranjak dari sofa beludru merah maroon. Namun, Arthur yang menyadari perubahan pria itu segera menghentikan dan meminta kembali duduk.
"Ray, sudah saatnya kau memutuskan. Aku dan Ayah Alex sudah terlalu tua. Kalian yang lebih muda seharusnya yang mengurus. Kau tahu sendiri ibunya Alex beralasan tak betah tinggal di Ragusa. Segala upaya dilakukan Smith agar istrinya nyaman di sana. Akhirnya Lea banyak menghamburkan uang. Aku tak berdaya menghadapi mereka, Nak." Arthur melepas kacamata berbingkai emas dan meletakkan di atas meja di hadapan mereka.
Ray menghisap rokok begitu dalam lalu meniupkan perlahan, dia menegapkan posisi duduk. "Paman Arthur, kumohon … jangan permasalahkan bibi Lea, kalian orang tuaku saat ini. Tolong, jangan sungkan padaku," kata Ray.
"Beri aku waktu hingga menemukan orang tua kandungku. Jika saat itu tiba, aku berjanji akan memutuskan. Sekarang aku belum siap, dan Paman tahu betul hanya kalian yang aku percaya." Mata Ray berkabut saat menatap Arthur yang duduk di sofa one-seater di sampingnya, tepat di sebelah kiri sofa two-seater tempat dia Ray duduk.
Seolah tak ingin menunggu jawaban Arthur, dia beranjak dari sofa. Arthur seketika berdiri menahan pemuda gagah itu. "Nak Ray, aku harap kau menyempatkan diri besok pagi. Sekali ini saja, aku mohon kau menghadiri rapat di Ragusa," kata Arthur penuh harap.
Ray mengangguk muram. Kemudian berjalan cepat melewati koridor yang berdinding kokoh. Menaiki tangga yang berputar menuju lantai dua. Sejurus kemudian, pria itu mengambil sebotol wine dan empat cabernet dari mini bar.
Ray melangkah ke balkon, tampak Alex dan Max sedang asik bermain billiard ditemani Marco yang sibuk memainkan laptop dalam pangkuannya di kursi roda.
"Brengsek, kau membuatku khawatir! Kenapa tak menjawab panggilanku? Kupikir kau mengakhiri hidupmu karena Nikita dan Ayres," hardik Alex saat menghampiri Ray.
"Aku tak sebodoh itu," sahutnya santai. Ray meletakkan wine dan cabernet di atas meja. Kemudian, melemparkan tubuh di atas sofa beludru putih.
Seketika Marco dan Max saling beradu pandang. "Apa maksudmu, Lex?" tanya Max penuh selidik. "Ada sesuatu yang aku lewatkan?" Max meletakkan stick di atas meja billiard. Kemudian menuangkan wine ke beberapa cabernet.
"Ah, aku lupa memberitahu kalian. Beberapa hari lagi Nikita menikah dengan Ayres, katanya pria kaya," kelakar Alex seraya meraih segelas wine dari atas meja di depan Ray.
"Jika aku jadi kau akan kubunuh Ayres!" geram Max saat menatap tajam ke arah Ray seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Entahlah, hati kecilku melarang melakukan itu pada Ayres." Ray menyeringai penuh arti.
"Wanita lugu itu ternyata ular berkepala dua!" berang Marco tersulut emosi, mereka tahu betul bagaimana pengorbanan Ray pada Nikita.
"Cukup! Obrolan kalian membuat ingin muntah," kata Ray datar. Kemudian, dia meraih segelas wine dan menyesap perlahan. Seketika suasana menjadi senyap. Ray melirik ketiga sahabatnya satu persatu lalu tertawa terbahak-bahak."Kalian cukup ganti topik saja, Kawan!""Tentu. Bersenang-senanglah dengan wanita sexy di klub mu, Ray," goda Alex. "Setidaknya mereka takkan menipumu dengan penampilan lugu." Alis Alex naik turun."Sial! Kau menyarankan ide yang menakjubkan saat aku tak bisa berjalan," timpal Marco sambil melempar sebatang rokok yang menyala pada Alex."Kau membuatku ingin menangis, Marc," cibir Max. "Yang cedera hanya kakimu, bukan berarti kejantananmu tak bisa berdiri. Kau bisa meminta jalangmu meliuk-liuk di atas paha."Max meraih stick billiard dari wall mount dan melemparkan pada Raymond. "Lupakan Nikita! Tunjukkan bakatmu, pemuda tampan!" Max berjalan ke ujung meja billiard.Alex dengan sigap segera op
Leticia terjaga di lobi apartemen. Tak selangkah pun beranjak dari tempat itu sejak terjadinya insiden penjambretan. Kecuali, tak sadar saat dirinya tertidur beberapa menit sore tadi. Dia mondar-mandir di depan pintu apartemen 606. Entah berapa kali cacing-cacing dalam perut berteriak meminta diberi makan.Untuk kesekian kali dia mengangkat jam di pergelangan kiri. "Enn, pukul 11 malam. Pantas saja aku kelaparan," desahnya pelan. Kemudian wanita itu berjalan cepat menaiki tangga. Uang makan yang diberikan David raib dirampok. Beruntung dia membawa stok makanan mentah. Langkahnya terhenti saat meraba saku celana jeans bagian depan.Bibir Leticia tersenyum ketika mendapati ongkos taksi dan tiket masih utuh. Leticia keluar dari apartemen. Kepalanya berputar ke berbagai arah, mencari tempat makanan yang mudah dicapai. Sesaat, dia mengingat ucapan Benny saat mempromosikan kafe. Wanita itu berjalan ke arah selatan.Tak lama kemudian dia tiba di kafe
Leticia mengerjap kaget dengan sikap Ray yang tiba-tiba, membuat pasokan napasnya seakan menipis. "Lapar," sahut Leticia, dia menjauhkan tubuh dari pria itu."Setidaknya kau bisa melahap makananmu dulu. Lidahmu bisa terbakar, minuman itu masih panas, Nona."Ray tak menyadari suaranya yang lembut dan perhatian membuat lutut Leticia gemetar. Wanita itu menatap Ray, hatinya terasa hangat oleh sikap pria itu. "Ya, terima kasih, Tuan." kata Leticia dengan gelagapan.Ray mengangguk santai lalu menegapkan posisi duduk. Dengan elegannya dia meraih secangkir espresso yang masih mengepul, menyesapnya perlahan. "Nona, ucapanmu tadi belum selesai." Ray mengeluarkan sebungkus rokok dari parka hitam. Tak lama kemudian, jemarinya mengapit sebatang rokok yang menyala.Leticia tengah asyik melahap sebungkus roti lapis coklat dengan gigitan besar. "En, intinya aku harus menemui tuan Vanderson. Ada yang harus ku selesaikan dengannya," terangnya.
Kemeja putih, celana kain hitam, jas yang juga hitam. Dasi merah bergaris gold dan sepatu pantofel yang mengilap, tampak seperti eksekutif muda. Leticia hampir tak percaya pria setampan itu berada di apartemen kecil.Ray terpaku beberapa detik, menatap hitam panjang rambut Leticia yang anggun terikat. Bukan rambutnya yang menarik perhatian Ray, tetapi leher jenjangnya yang mulus membuat tenggorokan pria itu tersendat. Pria itu mengerjap lalu berdeham, "Ehem, kau bertamu sepagi ini, Nona?" Ray menatap wajah Leticia yang memakai riasan tipis, tetapi mampu menyamarkan memar di pipinya. Polesan lipgloss membuat wajah wanita itu tampak lebih segar dan energik.Ray tak sadar baritonnya yang seksi membuat Leticia seperti kehabisan napas. "Aku … apa kau sudah sarapan?" tanya Leticia gelagapan yang kemudian tersenyum merekah saat Ray menggeleng pelan."Kau tak mengajakku masuk?" Leticia tersenyum menampilkan gigi putih yang rapi.
Leticia sangat yakin bahwa pria itu adalah sang arsitek. Sangat cocok disebut arogan ketika Leticia melihat penampilannya bagai mafia. Kepala botak, celana jeans dan jaket kulit hitam. Membayangkan bagaimana arogannya tuan Vanderson, membuat bulu kuduk Leticia berdiri hingga bahunya bergidik.Segelintir pikiran menemani langkah Leticia ke Bens kafe. Tentu saja dia harus memastikan pada Benny di apartemen nomor berapa sang arsitek tinggal. Leticia ternganga tak percaya ketika membaca selembar kertas di pintu kaca. Rupanya kafe tutup selama dua pekan. Berkali-kali dirinya menghela napas lelah."Kenapa tuan Benny pergi saat ini?" Leticia bergumam ketika merasa semakin sulit mencari sang arsitek. Dia kembali dengan bahu yang merosot. Hanya pemuda tampan itu harapan satu-satunya untuk menemui tuan Vanderson.Segelintir harapan menemani langkah Leticia kembali. Dia mondar-mandir dalam ruang apartemen, tanpa sadar bibirnya tersenyum ketika membuka pintu belakang
"Vanderson Raymondo, aku yakin kalian mengenal pemuda ini sebagai arsitek yang namanya kini melambung tinggi karena karya-karya yang luar biasa. Tak banyak dari kalian yang tahu Vanderson sebelum mencapai karirnya sekarang. Dia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan di Catania," lanjut Arthur ketika melirik Ray, pemuda itu tampak menahan kesal."Di usia 12 tahun ibu panti meminta Vanderson mengurus sebuah toko kecil, dalam satu tahun berhasil membuat toko menjadi yang terbesar di Catania. Namun, cita-cita sebagai arsitek telah ia pendam sejak usia 8 tahun. Karena melihat kecerdikannya mengelola uang, saat usia 15 tahun aku memintanya bekerja di Bank Swasta milikku di kota itu," sambung Arthur. Ada jeda beberapa detik ketika mata Ray membidik tajam padanya, tetapi tidak membuat Arthur menghentikan pidatonya."Vanderson tak paham apapun soal perbankan. Dia belajar dari bagian kliring, cash dan checking account sebulan penuh. Pemuda ini akhirnya mengerti proses
Max menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab, "Meski aku tak mengenal Leticia dengan baik, aku yakin dia pasti menunggu!""Ray, apa kau akan mengakui dirimu pada wanita itu?" tanya Alex dari kursi belakang."Ya!" Ray menjawab singkat"Kau tertarik padanya, Kawan?" tanya Max tersenyum sambil fokus mengemudi.Ray memicingkan mata lalu menyandarkan kepala. Dengan penuh keyakinan dia berkata, "Entahlah, Max. Tiap kali menatap Leticia, aku merasa ada luka yang menganga di kedalaman matanya. Semoga dugaanku salah, Max."Selain langit hitam tertutup kabut tebal dan cuaca dingin, Ray terlambat dari waktu yang dijanjikan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00, dan pria itu ragu apakah Leticia menunggunya atau tidak. Sehingga, Ray meminta Max mengantar ke apartemen terlebih dulu. Kedua sahabatnya pergi setelah Ray memerintahkan untuk menemani Marco.Setelah tiga kali mengetuk pintu dan memastikan wanita itu tidak ada, Ray membal
Leticia acuh, tak mengindahkah perkataan Ray. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Pria itu cukup membuatnya kecewa hingga dia mengambil keputusan untuk tidak lagi berurusan dengannya. Terlalu sakit bagi Leticia jika kembali menaruh kepercayaan pada orang-orang pendusta. Mereka dari awal memang asing, dan Leticia memilih tak ingin mengenal pria itu.Ray menarik tangan Leticia ketika wanita itu hendak membuka pintu apartemennya. "Kumohon, dengarkan aku," kata Pria itu sambil menggenggam jemari Leticia. "Semalam aku ter-""Saya tak mengenal Anda, Tuan! Tak ada yang harus kudengar, dan tak ada yang harus Anda jelaskan!" Leticia memotong ucapan Ray sambil menarik tangannya dari genggaman pria itu."Jangan pernah sekalipun menyentuhku dengan tangan kotormu! Anda bermain begitu liar dengan wanita di tempat terbuka, haruskah aku biarkan tangan itu menyentuhku? Tidak! Aku takkan mengizinkan tangan pria manapun menjamah tubuhku!" Wanita itu menatap Ray penuh kebencian. Mat