"Cukup! Obrolan kalian membuat ingin muntah," kata Ray datar. Kemudian, dia meraih segelas wine dan menyesap perlahan. Seketika suasana menjadi senyap. Ray melirik ketiga sahabatnya satu persatu lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kalian cukup ganti topik saja, Kawan!"
"Tentu. Bersenang-senanglah dengan wanita sexy di klub mu, Ray," goda Alex. "Setidaknya mereka takkan menipumu dengan penampilan lugu." Alis Alex naik turun.
"Sial! Kau menyarankan ide yang menakjubkan saat aku tak bisa berjalan," timpal Marco sambil melempar sebatang rokok yang menyala pada Alex.
"Kau membuatku ingin menangis, Marc," cibir Max. "Yang cedera hanya kakimu, bukan berarti kejantananmu tak bisa berdiri. Kau bisa meminta jalangmu meliuk-liuk di atas paha."
Max meraih stick billiard dari wall mount dan melemparkan pada Raymond. "Lupakan Nikita! Tunjukkan bakatmu, pemuda tampan!" Max berjalan ke ujung meja billiard.
Alex dengan sigap segera op
Leticia terjaga di lobi apartemen. Tak selangkah pun beranjak dari tempat itu sejak terjadinya insiden penjambretan. Kecuali, tak sadar saat dirinya tertidur beberapa menit sore tadi. Dia mondar-mandir di depan pintu apartemen 606. Entah berapa kali cacing-cacing dalam perut berteriak meminta diberi makan.Untuk kesekian kali dia mengangkat jam di pergelangan kiri. "Enn, pukul 11 malam. Pantas saja aku kelaparan," desahnya pelan. Kemudian wanita itu berjalan cepat menaiki tangga. Uang makan yang diberikan David raib dirampok. Beruntung dia membawa stok makanan mentah. Langkahnya terhenti saat meraba saku celana jeans bagian depan.Bibir Leticia tersenyum ketika mendapati ongkos taksi dan tiket masih utuh. Leticia keluar dari apartemen. Kepalanya berputar ke berbagai arah, mencari tempat makanan yang mudah dicapai. Sesaat, dia mengingat ucapan Benny saat mempromosikan kafe. Wanita itu berjalan ke arah selatan.Tak lama kemudian dia tiba di kafe
Leticia mengerjap kaget dengan sikap Ray yang tiba-tiba, membuat pasokan napasnya seakan menipis. "Lapar," sahut Leticia, dia menjauhkan tubuh dari pria itu."Setidaknya kau bisa melahap makananmu dulu. Lidahmu bisa terbakar, minuman itu masih panas, Nona."Ray tak menyadari suaranya yang lembut dan perhatian membuat lutut Leticia gemetar. Wanita itu menatap Ray, hatinya terasa hangat oleh sikap pria itu. "Ya, terima kasih, Tuan." kata Leticia dengan gelagapan.Ray mengangguk santai lalu menegapkan posisi duduk. Dengan elegannya dia meraih secangkir espresso yang masih mengepul, menyesapnya perlahan. "Nona, ucapanmu tadi belum selesai." Ray mengeluarkan sebungkus rokok dari parka hitam. Tak lama kemudian, jemarinya mengapit sebatang rokok yang menyala.Leticia tengah asyik melahap sebungkus roti lapis coklat dengan gigitan besar. "En, intinya aku harus menemui tuan Vanderson. Ada yang harus ku selesaikan dengannya," terangnya.
Kemeja putih, celana kain hitam, jas yang juga hitam. Dasi merah bergaris gold dan sepatu pantofel yang mengilap, tampak seperti eksekutif muda. Leticia hampir tak percaya pria setampan itu berada di apartemen kecil.Ray terpaku beberapa detik, menatap hitam panjang rambut Leticia yang anggun terikat. Bukan rambutnya yang menarik perhatian Ray, tetapi leher jenjangnya yang mulus membuat tenggorokan pria itu tersendat. Pria itu mengerjap lalu berdeham, "Ehem, kau bertamu sepagi ini, Nona?" Ray menatap wajah Leticia yang memakai riasan tipis, tetapi mampu menyamarkan memar di pipinya. Polesan lipgloss membuat wajah wanita itu tampak lebih segar dan energik.Ray tak sadar baritonnya yang seksi membuat Leticia seperti kehabisan napas. "Aku … apa kau sudah sarapan?" tanya Leticia gelagapan yang kemudian tersenyum merekah saat Ray menggeleng pelan."Kau tak mengajakku masuk?" Leticia tersenyum menampilkan gigi putih yang rapi.
Leticia sangat yakin bahwa pria itu adalah sang arsitek. Sangat cocok disebut arogan ketika Leticia melihat penampilannya bagai mafia. Kepala botak, celana jeans dan jaket kulit hitam. Membayangkan bagaimana arogannya tuan Vanderson, membuat bulu kuduk Leticia berdiri hingga bahunya bergidik.Segelintir pikiran menemani langkah Leticia ke Bens kafe. Tentu saja dia harus memastikan pada Benny di apartemen nomor berapa sang arsitek tinggal. Leticia ternganga tak percaya ketika membaca selembar kertas di pintu kaca. Rupanya kafe tutup selama dua pekan. Berkali-kali dirinya menghela napas lelah."Kenapa tuan Benny pergi saat ini?" Leticia bergumam ketika merasa semakin sulit mencari sang arsitek. Dia kembali dengan bahu yang merosot. Hanya pemuda tampan itu harapan satu-satunya untuk menemui tuan Vanderson.Segelintir harapan menemani langkah Leticia kembali. Dia mondar-mandir dalam ruang apartemen, tanpa sadar bibirnya tersenyum ketika membuka pintu belakang
"Vanderson Raymondo, aku yakin kalian mengenal pemuda ini sebagai arsitek yang namanya kini melambung tinggi karena karya-karya yang luar biasa. Tak banyak dari kalian yang tahu Vanderson sebelum mencapai karirnya sekarang. Dia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan di Catania," lanjut Arthur ketika melirik Ray, pemuda itu tampak menahan kesal."Di usia 12 tahun ibu panti meminta Vanderson mengurus sebuah toko kecil, dalam satu tahun berhasil membuat toko menjadi yang terbesar di Catania. Namun, cita-cita sebagai arsitek telah ia pendam sejak usia 8 tahun. Karena melihat kecerdikannya mengelola uang, saat usia 15 tahun aku memintanya bekerja di Bank Swasta milikku di kota itu," sambung Arthur. Ada jeda beberapa detik ketika mata Ray membidik tajam padanya, tetapi tidak membuat Arthur menghentikan pidatonya."Vanderson tak paham apapun soal perbankan. Dia belajar dari bagian kliring, cash dan checking account sebulan penuh. Pemuda ini akhirnya mengerti proses
Max menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab, "Meski aku tak mengenal Leticia dengan baik, aku yakin dia pasti menunggu!""Ray, apa kau akan mengakui dirimu pada wanita itu?" tanya Alex dari kursi belakang."Ya!" Ray menjawab singkat"Kau tertarik padanya, Kawan?" tanya Max tersenyum sambil fokus mengemudi.Ray memicingkan mata lalu menyandarkan kepala. Dengan penuh keyakinan dia berkata, "Entahlah, Max. Tiap kali menatap Leticia, aku merasa ada luka yang menganga di kedalaman matanya. Semoga dugaanku salah, Max."Selain langit hitam tertutup kabut tebal dan cuaca dingin, Ray terlambat dari waktu yang dijanjikan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00, dan pria itu ragu apakah Leticia menunggunya atau tidak. Sehingga, Ray meminta Max mengantar ke apartemen terlebih dulu. Kedua sahabatnya pergi setelah Ray memerintahkan untuk menemani Marco.Setelah tiga kali mengetuk pintu dan memastikan wanita itu tidak ada, Ray membal
Leticia acuh, tak mengindahkah perkataan Ray. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Pria itu cukup membuatnya kecewa hingga dia mengambil keputusan untuk tidak lagi berurusan dengannya. Terlalu sakit bagi Leticia jika kembali menaruh kepercayaan pada orang-orang pendusta. Mereka dari awal memang asing, dan Leticia memilih tak ingin mengenal pria itu.Ray menarik tangan Leticia ketika wanita itu hendak membuka pintu apartemennya. "Kumohon, dengarkan aku," kata Pria itu sambil menggenggam jemari Leticia. "Semalam aku ter-""Saya tak mengenal Anda, Tuan! Tak ada yang harus kudengar, dan tak ada yang harus Anda jelaskan!" Leticia memotong ucapan Ray sambil menarik tangannya dari genggaman pria itu."Jangan pernah sekalipun menyentuhku dengan tangan kotormu! Anda bermain begitu liar dengan wanita di tempat terbuka, haruskah aku biarkan tangan itu menyentuhku? Tidak! Aku takkan mengizinkan tangan pria manapun menjamah tubuhku!" Wanita itu menatap Ray penuh kebencian. Mat
"Kau yakin?" tanya Fico memastikan. Tak lama kemudian dia keluar dari mini bar lalu duduk di samping Leticia. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, matanya menelusuri penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kau tak bisa berpenampilan seperti ini saat jadi wanita penghibur," kata Fico. "Kau harus bermake up sedikit tebal untuk menyamarkan memar di wajahmu, Leticia." Pria itu memanyunkan bibir sambil memainkan alis. "Kau juga harus memakai mini dress dan setidaknya high heels 10 cm. Pekerjaannya mudah, hanya menemani para pria minum, dansa, karaoke atau bahkan sesekali kau akan diminta untuk menemani mereka tidur." Tatapan Fico penuh syarat akan arti. Mata Leticia terbelalak mendengar penuturan pria berambut cepol itu. Jika hanya menemani minum, dansa, dan bernyanyi dia akan menyanggupi. Hanya saja, menemani tidur, dia takkan bisa menentang prinsip menjaga kesucian hanya untuk sang suami kelak. "Apa aku bisa menolak