Adelia merenggangkan otot-otot leher dan tangannya lantaran pegal setelah menonton film kartun kesukaan Jessy selama dua jam lamanya.
Gadis dua puluh lima tahun itu terlelap di pelukan Adelia. Selalu seperti ini ketika mereka bersama. Adelia tidak segan-segan memanjakan dan menuruti keinginan Jessy.
Pelan-pelan Adelia membaringkan tubuh Jessy ke sofa agar gadis itu terlelap lebih lama.
Setelah memastikan Jessy nyaman dalam posisi tidurnya, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya. Ia melirik jam kecil yang berada di sebelah lemari pendingin.
"Masih ada waktu untuk berendam sesaat," gumam Adelia dalam hati.
Setelah mencuci gelas yang baru saja ia gunakan, Adelia beranjak menuju kamar mandi yang berada di kamarnya. Ia mengisi bathtub dengan air hangat. Tak lupa ia menambahkan sabun dengan aroma mawar ke dalamnya.
Ia menutup kran ketika air sudah memenuhi lebih dari separuh dari bathtub-nya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam sana, Adelia mengambil handuk besar dan dua handuk kecil.
Adelia membuka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya tanpa terkecuali. Ia masuk ke dalam bathtub dan merendam tubuhnya hingga sebatas leher. Ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata. Menikmati rasa hangat yang membuatnya rileks.
Satu jam kemudian Adelia memutuskan untuk menyudahi acara berendamnya. Ia beranjak pelan dan mengguyur tubuhnya di bawah shower.
Tak butuh lama waktu yang diperlukan Adelia untuk menyelesaikan acara mandi dan keramas. Kini ia keluar dengan membalut tubuhnya dengan handuk dan begitu juga dengan kepalanya.
Ia mengambil pakaian santai beserta bra dan celana dalam senada. Memakainya dengan cepat dan segera mengeringkan rambutnya yang basah.
“Del?!”
Suara Jessy yang serak membuat Adelia menoleh ke arah pintu. Ia mematikan hair dryer dan menyisir asal rambutnya yang telah mengering.
“Lo udah bangun?”
Jessy tak langsung menjawab. Gadis itu menghampiri Adelia dan menyusupkan wajahnya di leher Adelia.
“Kenapa? Belum puas tidurnya?”
Jessy menggeleng pelan. Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya.
“Mandi gih! Lo nanti mau berangkat jam berapa?” tanya Adelia lembut di akhir pertanyaannya.
“Jam enam. Entar Kevin jemput gue,” jawab Jessy sengau.
“Ya sudah. Mandi sana!” perintah Adelia.
Gadis itu mengeratkan pelukannya sesaat sebelum benar-benar mengurai pelukan itu.
Bagi Jessy, Adelia sudah seperti saudaranya sejak mereka berteman di Sekolah Dasar. Kedua orang tua Jessy telah meninggal di saat dirinya masuk ke Sekolah Menengah Pertama karena kecelakaan.
Sejak saat itulah Jessy meminta kepada Ibu Adelia untuk tinggal bersama mereka. Namun di saat menginjak ujian akhir di Sekolah Menengah Pertama, Ibunya Adelia pun meninggal karena sakit. Sehingga sejak saat itu Jessy dan Adelia tinggal bersama sampai saat ini.
Jessy berjalan gontai menuju kamar mandi satu-satunya di unit itu. Ia harus segera mandi sesuai perintah Adelia kalau tidak ingin gadis itu menceramahi dirinya panjang lebar.
Adelia menggelengkan kepala geli melihat tingkah Jessy yang masih saja manja kepadanya.
Walaupun gadis itu sering membuat Adelia kesal, tapi tetap saja Adelia akan merindukannya bila tidak bersama.
Ting tong ... Ting tong ...
Suara bel pintu membuat Adelia segera keluar melihat siapa yang datang.
Sebelum membuka pintu, ia melihat melalui interkom. Dahinya mengerut kala melihat dua wajah wanita asing. Namun saat menangkap papan nama dan logo yang berada di baju mereka, ia langsung membuka pintu.
“Selamat sore Nona? Benar dengan tempat tinggal Nona Carmen Adelia Giovanni?” Tanya wanita itu sopan.
“Benar. Saya sendiri pemilik nama yang Anda sebutkan tadi. Ada keperluan apa mencari saya?”
“Saya salah satu pegawai dari Anderson Butik, Nona. Saya mendapat tugas dari atasan saya untuk membawa gaun untuk Nona dan satu MUA untuk membantu Nona bersiap-siap. Kami datang atas pesanan dari Mr. Alexander Johnson.” Jawab wanita itu sopan.
“Alexander Johnson?!” geram Adelia lirih. Kemudian Adelia kembali menatap kedua wanita di hadapannya. “Tapi saya tidak memerlukannya. Lebih baik Anda berdua kembali ke Butik kalian dan katakan pada pimpinan kalian kalau saya bisa bersiap-siap sendiri. Terima kasih.” Adelia menutup pintu apartemennya setelah mengucapkan kalimat tersebut.
'Laki-laki itu! Seenaknya saja ngatur-ngatur gue! Lihat aja entar!'
Belum sampai dua menit, ponsel Adelia berdering. Dari nada deringnya Adelia tahu itu dari Bos arrogan-nya.
'Arrghhhh! Laki-laki itu benar-benar!'
Dengan tergesa-gesa Adelia mengambil ponselnya yang berasa di atas kasur. Dan benar saja, nama Alexander Johnson terpampang di layar datar ponselnya.
Adelia menyentuh layar datar ponselnya dan mendengarkan setiap perkataan laki-laki yang sedang melontarkan perintah yang harus ia lakukan.
“Ha...”
>> “Cepat bersiap-siap dengan orang yang telah aku siapkan untukmu!” Perintah Alex.
“Kenapa Anda seenaknya begini? Saya bisa bersiap-siap sendiri tanpa ha..”
>> “Bersiap sekarang atau aku ke sana menunggu di unit kamu untuk bersiap-siap!” perintah Alex dengan nada tuntutan.
“Anda...”
>> “Aku tidak menerima penolakan,” ucap Alex tajam dengan menekankan setiap kata.
Setelah perkataan Alexander Johnson yang tidak mau dibantah itu, panggilan ponsel tiba-tiba diputuskan sepihak.
"Arghhhhh! Kenapa gue harus berurusan dengan laki-laki seperti itu Tuhan! Bisa gila lama-lama kalau gue di dekatnya!" gerutu Adelia.
Jessy yang baru saja selesai mandi mengernyit heran melihat Adelia menggerutu tak jelas.
“Lo kenapa, Del?” tanya Jessy dengan nada heran.
Adelia menghirup napas dalam-dalam guna menetralkan emosinya. Kedua pipinya memerah karena amarah yang memenuhi otaknya.
“Bos gue berulah lagi!!” geram Adelia.
Dengan langkah kaki seribu, Adelia kembali membuka pintu unit apartemennya. Dan benar saja, kedua wanita dari Anderson Butik masih berdiri di sana tanpa bergeser sedikit pun. Mereka menatap Adelia dengan senyum sopan.
“Ehm, silahkan masuk,” ucap Adelia sopan.
Setelah kedua wanita itu masuk, Adelia menutup pintu unit dan mempersilahkan mereka duduk di sofa mini yang berada di ruang tamu.
“Silahkan duduk sebentar. Saya ambilkan mi..”
“Tidak perlu Nona. Kami akan membantu Anda bersiap dan saya akan segera kembali ke Butik. Karena kami masih banyak pekerjaan.” Tolak wanita itu sopan. “Mari biarkan teman saya membantu Nona berhias dan mengganti pakaian Nona.”
“Ah. OK! Kita bersiap di kamar saja,” jawab Adelia langsung.
Adelia berjalan menuju kamar di ikuti kedua wanita yang membawa koper di masing-masing tangannya. Jessy menatap heran kepada dua wanita di belakang sahabatnya.
“Siapa?” bisik Jessy lirih.
“Suruhan Alexander Johnson. Siapa lagi yang seenaknya saja selain dia!”
Mendengar perkataan sahabatnya membuat Jessy tersenyum geli. Karena tak biasanya Adelia sekesal ini dengan laki-laki.
“Ya sudah. Lo siap-siap sana. Gue juga mau siap-siap. Kevin jemput setengah jam lagi,” ucap Jessy enteng. Gadis itu keluar kamar membawa kotak make up-nya. Ia akan bersiap di ruang menonton saja.
Dua puluh menit kemudian Adelia telah siap dengan rambut yang sedikit curly dan gaun panjang berwarna navy. Gaun yang punya potongan rendah di dada dengan kedua bahu yang terekspos tanpa lengan. Di tambah dengan bagian punggung yang sedikit terbuka. Membuat penampilan gadis itu tampak memesona. Gaun itu memperlihatkan lekukan tubuh yang pas di setiap tempat yang tepat.
Apalagi belahan gaun di satu sisi yang mencapai pertengahan pahanya, membuat salah satu kaki Adelia yang jenjang tampak lebih terlihat sempurna.
Sebagai penyempurnaan terakhir, sepasang highells tujuh senti berwarna senada membuat dirinya bak putri di negeri dongeng. Cantik dan memikat. Itulah dua kata yang pas untuk di sematkan pada penampilan Adelia malam ini.
“Benar-benar sempurna. Nona cantik sekali,” puji kedua wanita itu.
“Ah, terima kasih. Ini juga karena bantuan kalian. Terima kasih membuat saya secantik ini,” ucap Adelia tulus.
“Ah, ada yang ketinggalan. Ini salah satu pesanan Mr. Johnson.” Salah satu wanita itu memberikan satu clutch navy kepada Adelia.
“I-ini berlebihan sekali!” desis Adelia.
“Baiklah Nona. Kami permisi dulu ya, karena kami masih harus kembali ke Butik,” pamit kedua wanita itu.
“Ah, iya. Terima kasih.”
Kedua wanita itu berlalu dari kamar Adelia. Mereka tampak menyapa Jessy yang telah bersiap.
Jessy menatap takjub tanpa kedip, ke arah Adelia yang kini keluar dari kamar.
Merasa diperhatikan oleh Jessy, Adelia mendesis malas. Ia merasa Jessy terlalu berlebihan.
“L-Lo cantik banget, Del?” puji Jessy takjub.
Adelia memutar bola mata malas. “Biasa aja deh!” desis Adelia.
“T-tapi ini benar-benar luar biasa Del? Selama ini gue belum pernah lihat Lo yang kayak begini.” Ucap Jessy tanpa dibuat-buat.
“Please, Lo jangan kayak baru kenal gue deh. Geli gue dengernya.”
“Dasar!! Di puji cantik bukannya seneng malah kayak gitu. Ekspresi apaan itu!” Gerutu Jessy tak jelas. Membuat Adelia tersenyum geli.
Dering ponsel Jessy membuat gadis dengan gaun merah menyala itu segera menerima panggilan yang tertera di layar ponselnya.
“Ok. Aku turun sekarang,” ucap Jessy.
Jessy mengambil clutch-nya dan berpamitan kepada Adelia sebelum benar-benar pergi.
“Gue duluan ya, C... Adelia yang cantik,” ringis Jessy lucu.
Mau tak mau kelakuan Jessy yang lucu itu membuat Adelia tertawa pelan.
“Ya udah sana!! Buruan berangkat!”
“Bye ... Bye ... Mmuach!!!”
Adelia tersenyum geli melihat tingkah konyol Jessy. Tak lama kemudian, satu panggilan masuk ke ponselnya. Siapa lagi kalau bukan Alexander Johnson, Bos arrogan-nya.
“Ha...”
>> “Turunlah sekarang!! Aku sudah sampai di apartemen kamu.” Ucap Alex dengan nada perintah.
“OK!!” jawab Adelia ketus.
'Kuatkan hati ini Tuhan. Semoga Gue bisa sabar menghadapi Bos macam dia.'
Lift turun dengan perlahan dari lantai dua puluh menuju lantai dasar. Saat pintu membuka, Adelia melangkah dengan anggun. Setiap pijakan kakinya menimbulkan suara yang begitu merdu.
Tak jauh dari dirinya, Alexander Johnson yang memakai tuksedo navy bersandar pada pintu Lamborghini Aventador miliknya. Saat menyadari kehadiran Adelia dari jarak beberapa meter saja, laki-laki itu menatap tanpa kedip ke arah gadis bergaun navy, serasi dengan setelan tuksedo yang di pakainya.
Alex meneguk ludah. Ia tak mempunyai imajinasi sebaik ini. Gaun navy yang ia pilih benar-benar membuat aura Adelia menguar tajam dan begitu memesona.
Detak jantungnya bertalu begitu kencang seakan ingin melompat dari tempatnya. Berlebihan!! Tidak. Nyatanya itulah yang terjadi.
Saat jarak Adelia semakin dekat, Alex harus menahan nafasnya. Harum Vanila yang ia hirup malam itu kembali merasuki hidung hingga ke paru-parunya.
Alex mengulurkan tangan ke arah Adelia. Laki-laki itu pikir Adelia akan menolak. Tapi saat gadis itu menyambut uluran tangannya, ia merasa dunia berhenti berputar. Ditambah dengan ajakan halus yang Adelia ucapkan.
“Ayo kita berangkat sekarang.”
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny