“Pagi-pagi udah cemberut aja Lo, Del?” celetuk Jessy.
Adelia menghela nafas kasar. Ia mengacak-acak rambutnya yang telah tersisir rapi sejak sepuluh menit lalu.
“Ehm, Lo nggak ngantor?”
“Bos baru gue berulah!! Arghh!!? Pengin gue tabok muka tuh orang!?” ucap Adelia menggebu.
“Kenapa lagi?”
“Gue udah siap-siap berangkat, tiba-tiba dia telepon nyuruh gue nggak masuk. Kenapa nggak dari semalem aja ngomongnya? Padahal tadi malam juga nelpon gue!”
Jessy mengernyit heran. “Boss Lo semalem telepon? Ngapain? Ah, ja...”
“Jangan mengada-ada. Gue dan dia nggak ada hubungan apa pun.” desis Adelia tajam.
“Hahaha, awas aja Del! Nanti lama-lama benci jadi cinta loh?” Jessy semakin terkikik geli.
“Dalam mimpi!?” Adelia kembali ke kamar, ia menghempaskan tas kerja dan I-Pad -nya di kasur. Ia segera mengganti pakaiannya dengan sehelai gaun santai dan menghapus lipstik merah di bibirnya.
Tak lama kemudian Adelia keluar dari kamar menuju dapur. Ia ingin memasak beberapa menu masakan untuk meredam emosi yang ingin meledak.
Niat hati ingin menenangkan diri, Adelia dikejutkan oleh tingkah Jessy yang mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas ke meja dapur.
“Lo berantakan dapur gue!?” Seru Adelia.
Jessy dengan raut polosnya tersenyum geli. “Lo duduk di sana deh. Biar gue yang masak. Gini-gini gue udah belajar masak sejak Lo tinggal ke New York.”
“Emang Lo bisa bedain garam sama gula?” tanya Adelia sanksi.
Jessy melotot, “Gue kan sering masakin Kevin di apartemennya. Jadi bukan masalah sulit buat gue.”
“Kevin? Masak di apartemen? Lo...”
Ups, Jessy tak sengaja membongkar kebiasaannya menjadi asisten pribadi CEO di tempatnya bekerja sejak satu tahun yang lalu tanpa sepengetahuan Adelia.
“S-santai Del. I-ini nggak se...”
“Sejak kapan?” tanya Adelia menuntut.
Jessy menggaruk tekuknya yang tidak gatal. “Ehm, s-satu tahun lalu.” Jessy melihat respon Adelia yang datar. “G-Gue cuma sebatas itu kok. Nggak pake aneh-aneh.”
Adelia menghembuskan nafas kasar. Ia terdiam. Bukan karena dirinya tak suka bila Jessy dekat dengan laki-laki. Namun ia takut bila laki-laki itu hanya memanfaatkan kepolosan sahabatnya.
“Yang penting Lo hati-hati aja. Dan inget pesen Gue!” ucap Adelia.
Mendapat respon bagus dari Adelia membuat Jessy tersenyum simpul. Ia menghambur ke arah Adelia dan memeluk gadis dua puluh enam tahun itu dengan erat.
“Terima kasih ya, Del. Gue janji nggak akan aneh-aneh kok.” janji Jessy.
Adelia menepuk-nepuk punggung Jessy lembut. Bagaimanapun juga Jessy berhak mendapat kebahagiaannya sendiri.
“Jadi, Lo mau masakin apa buat gue?”
Jessy melonggarkan pelukannya. “Lo duduk aja disana. Gue masaknya cepet kok.” Jessy mendorong tubuh Adelia untuk duduk di kursi.
Selanjutnya, gadis dengan rambut pirang itu mulai memasak bahan yang telah ia keluarkan dari lemari pendingin. Sesekali ia menengok ke arah Adelia yang tampak memperhatikan setiap gerak-geriknya.
Dua puluh menit kemudian Jessy menyajikan dua mangkuk salad, satu piring buah yang telah dipotong dan dua gelas susu.
“Belajar dari mana bikin salad seenak ini?” tanya Adelia dengan nada datar.
“Ehm, ini Kevin yang ngajarin,” jawab Jessy melebarkan senyumannya.
“Lo sering ke apartemennya?”
“Enggak sih. Cuma kadang-kadang aja. Dia sering makan di luar sama relasi bisnisnya sih.” Ucap Jessy sembari menikmati salad di mangkuknya. “Trus rencana Lo apa hari ini?” tanya Jessy.
“Rebahan di kamar. Entar malem Bos baru gue minta di temenin ketemu relasi bisnisnya.” Jawab Adelia malas.
“Nonton film kartun terbaru yuk. Gue udah beli disc-nya kemarin.” Ajak Jessy antusias.
Adelia memutar bola mata malas. “Iya deh.”
Jessy memekik girang. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu akan menjadi seperti anak-anak bila berhubungan dengan dunia kartun. Adelia tersenyum geli melihat tingkah kekanak-kanakan Jessy yang ia lewatkan selama sebulan. Bagi orang lain mungkin hanya hal sepele, tapi bagi mereka ini adalah kebahagiaan.
*
“Lo yakin mau bawa Sekretaris itu ke pertemuan entar malem?” tanya Tommy untuk kedua kalinya.
Alex tak menanggapi ocehan sahabat sekaligus asisten pribadinya. Ia hanya fokus dengan beberapa dokumen yang diantar Tommy ke rumahnya. Kini keduanya berada di ruang kerja yang berada di sebelah kamar pribadi Alex.
“Dokumen ini udah semuanya atau masih ada yang perlu gue lihat?” tanya Alex datar.
“Udah semua. Lainnya udah di beresin sama Mr. William. Untuk yang di California semua sudah di handle oleh CEO baru,” jawab Tommy.
Alex membubuhkan beberapa tanda tangan di beberapa dokumen dan menumpuk di meja kerjanya. Ia beralih meraih ponsel dan menghubungi salah satu Butik ternama di New York untuk memesan gaun yang akan dikirimkan kepada Adelia.
Sontak saja perlakuan istimewa yang dilakukan Alex mengundang sejuta pertanyaan di otak Tommy.
“Lex, gue pikir sekarang Lo berubah ya? Lo suka dengan Sekretaris itu ya?” selidik Tommy.
Bukannya menjawab, Alex malah memberikan sebuah seringai aneh. Membuat Tommy sulit menerka pemikiran sahabat sekaligus Bos-nya itu.
“Gue ngelewatin sesuatu ya? Atau telah terjadi sesuatu antara Lo dan Adelia?”
“Lebih baik Lo ngelamar jadi wartawan deh.” Celetuk Alex. “Kepo!!”
Tiba-tiba Tommy terbahak-bahak mendapati jawaban Alex bernada ketus itu. Otaknya dengan cepat menganalisa dengan baik. Sahabat yang baru saja move on ini pasti sedang jatuh cinta.
“Lo mendingan pulang. Dan besok, jangan dateng terlalu pagi!” usir Alex.
“Ehm, OK! Gue akan dateng lebih siang besok.” Tommy beranjak dari posisinya. Sebelum mencapai pintu kerja Alex, ia kembali berbalik. “Jangan terlalu mudah menjatuhkan hatimu untuk kedua kalinya jika tidak ingin merasakan sakit yang sama.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Tommy benar-benar meninggalkan laki-laki dingin itu seorang diri.
Mendengar nasehat Tommy membuat Alex semakin melebarkan senyumannya. Beberapa rencana apik telah tersusun rapi di otak pintarnya. Bagaimanapun caranya, ia harus memiliki perempuan itu untuk dirinya.
Alex membuka sebuah aplikasi pesan yang ia terima dari Butik yang baru masuk ke ponselnya. Ia tersenyum puas setelah melihatnya. Ingatannya kembali pada kejadian tiga minggu yang lalu.
Flashback tiga minggu yang lalu
Pagi ini Alex mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan sedang menuju sebuah apartemen di pinggiran Kota California. Ia sedang mengamati seorang perempuan dengan dress pendek berwarna biru sedang keluar dari area apartemen itu.
Kebiasaan ini sudah satu minggu ini dilakukannya. Setiap pagi, sebelum ia ke kantor laki-laki bersetelan jas mahal itu akan berhenti di sekitar apartemen hanya untuk mengamati seorang perempuan.
Seorang perempuan yang tanpa sengaja ia temukan di salah satu kelab malam kala itu. Perempuan dengan aroma vanila yang membuatnya terbayang-bayang. Memalukan memang. Seorang Alexander Johnson tergila-gila pada perempuan asing.
Tapi selama itu, Alex hanya mampu memandang tanpa mau mendekat. Ia lebih memilih memperhatikan dari jarak jauh dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang perempuan itu.
Saat suatu pagi Alex mendapati perempuan itu pindah, ia segera menyewa beberapa detektif untuk mencari keberadaan perempuan itu. Dan BINGO!!
Perempuan yang diam-diam sudah mengisi hatinya itu melamar pekerjaan di Johnson Corporation di New York.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Alex segera mengecek kebenarannya dengan menghubungi pihak HRD di Johnson Corporation di New York . Dan setelah mendengar laporan langsung dari sana ia semakin melebarkan senyuman di bibirnya.
Flashback off
Aku tidak akan pernah melepaskanmu gadis manis. Setelah pertemuan itu, aku semakin yakin untuk memilikimu. Dan aku pastikan tidak butuh lama untuk membuatmu jatuh ke pelukanku.” Monolog Alex.
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny