Home / Romansa / Terjerat Cinta Sipir Penjara / Dituduh Telah Membunuh

Share

Dituduh Telah Membunuh

Author: mitchan
last update Last Updated: 2023-02-22 09:59:31

Saat ditanya, Heri hanya diam.

"Bagaimana jika kita melaporkan tindak pelecehan ini lebih dulu sebelum orang lain melaporkan putri kita? Dengan begitu putri kita tidak bersalah, ‘kan?" usul wanita paruh baya itu.

“Aku tidak mau terlibat dengan polisi. Kita ini orang miskin! Hukum di negara ini tidak pernah memihak kita!” sembur Heri setelah mendengar usulan dari Citra.

Citra tersentak. Air matanya sejak tadi sudah deras mengalir membasahi pipi, apalagi setelah Heri membentaknya dengan lantang. Hatinya semakin bertambah sakit saat Heri tidak menyetujui usulannya itu.

“Lalu bagaimana? Apa kita hanya akan berdiam diri sampai anak kita dilaporkan? Putri kita baru saja dilecehkan! Masa depannya telah hancur! Apa kau tidak memikirkan perasaannya?!” cecar Citra.

Citra sudah tidak mampu menahan dirinya ketika melihat sikap Heri yang begitu acuh. Suaminya itu sama sekali tidak mengambil tindakan setelah mengetahui anaknya dilecehkan. Bahkan, respons pertama Heri kepada Hazel sangatlah tidak pantas. Bagaimana bisa seorang ayah menyalahkan putrinya sendiri atas pelecehan yang diterimanya?

Ketika melihat emosi Citra meledak, Heri terkejut lalu ia langsung menampar pipi kiri istrinya itu.

“Beraninya kau! Kau pikir kejadian ini terjadi karena apa?! Karena putri bodohmu itu menolak untuk dinikahi pria kaya dan mapan seperti Rendra!” sungut Heri tak mau kalah dengan cecaran istrinya tadi.

Heri bangun dari tempat duduknya. Sebelum ia kembali ke kamarnya, ia mengatakan sesuatu pada istrinya itu.

“Terserah kalian mau melakukan apa! Aku tidak mau terlibat dalam masalah ini. Terserah kalian jika kalian memang ingin melaporkan kejadian ini ke polisi, tetapi keputusanku adalah kabur dari sini! Aku tidak sudi membela anak yang tak tahu diri itu!” tekan Heri.

Heri masih saja menyalahkan Hazel atas kejadian ini. Ia masih tidak mau menerima kematian Rendra yang dibunuh oleh putrinya. Pikirannya terfokus pada penolakan Hazel yang menyebabkan pelecehan ini.

Mendengar suaminya lepas tangan, tangisan Citra semakin kencang. Namun, ia tidak mau putrinya semakin sedih jadi ia membekap mulutnya sendiri dengan tangan.

Malam itu tidak ada keputusan yang diambil oleh ketiganya. Hazel juga masih menangis di kamar mandi sampai Citra harus membujuk putrinya itu untuk menyudahi aktivitasnya.

Ketika pagi menjelang, tubuh Hazel terasa sakit dan pegal-pegal. Semalam wanita itu sama sekali tidak bisa tidur. Ia selalu mencubit tangannya sendiri ketika hendak terlelap, karena setiap kali ia jatuh tertidur, ia memimpikan pelecehan yang dilakukan oleh Rendra.

“Nak, ibu sudah membuatkan bubur untukmu. Ayo dimakan dulu, sebelum dingin,” bujuk Citra saat melihat bubur buatannya tidak disentuh oleh Hazel.

“Aku langsung berangkat saja.”

Hazel berdiri dari kursinya. Ia meraih tas selempang yang ada di kursi sebelahnya lalu berjalan menghampiri ibunya itu.

Citra sudah membujuk Hazel agar putrinya itu tidak pergi ke kampus. Namun, Hazel bersikukuh untuk berangkat. Ketika berpamitan, Hazel bertanya kepada ibunya dengan suara lirih.

“Bu, apa ini salahku?” tanyanya.

Citra tahu bagaimana sakitnya menjadi Hazel. Ia hampir menangis, tetapi saat melihat putrinya hanya diam tanpa berekspresi, Citra memilih untuk mati-matian menahan air matanya itu.

“Tidak, Sayang. Jangan pernah berpikir seperti itu! Kau adalah korban dan dia pelakunya. Dia adalah orang yang pantas mendapatkan ini semua!” Citra meraih tangan putrinya itu, lalu memeluknya dengan erat.

“Aku ingin ke kantor polisi.”

Ketika mendengar keputusan putrinya itu, Citra hanya bisa mengangguk setuju. Seperti yang sudah diusulkannya semalam, ia memang ingin melaporkan tindakan Rendra atas pelecehan terhadap putrinya.

“Ibu temani, ya?” tawar Citra.

Hazel menggelengkan kepalanya. Ia menolak untuk ditemani oleh Citra. Wanita itu bilang jika Citra tidak seharusnya ikut karena ia merasa ibunya tidak harus menanggung masalah yang dideritanya itu. Lagipula ayahnya saja tidak peduli. Sejak tadi Hazel belum melihat ayahnya. Bahkan saat sarapan, Heri masih juga belum kelihatan batang hidungnya.

Seperti yang sudah dikatakan Heri semalam, rupanya pria itu berangkat pagi buta untuk mencari uang tambahan agar ia bisa pergi meninggalkan istri dan anaknya.

***

Hazel akhirnya berangkat. Ia bisa berangkat ke kampus dengan bersepeda, tetapi kali ini ia memutuskan untuk berjalan kaki. Tubuhnya terasa masih sakit, jadi ia tidak mau memaksakan diri untuk menggunakan sepedanya itu.

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk tiba di kampus jika berjalan kaki. Itulah sebabnya Hazel harus berangkat pagi-pagi sekali agar ia tidak terlambat tiba di kampusnya. Lagipula ia masih harus mampir ke kantor polisi seperti yang sudah ia rencanakan sebelumnya.

Beberapa tetangga Hazel sampai sekarang masih saja terheran-heran kenapa ia bisa melanjutkan pendidikannya. Hazel memang berasal dari keluarga miskin, tetapi ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh karena ia adalah siswi berprestasi di SMA-nya dulu. Jadi itulah sebabnya Hazel bisa menjadi salah satu mahasiswa di kampus ternama kota itu.

Setelah 25 menit perjalanan, akhirnya Hazel sampai di depan kantor polisi. Awalnya ia ragu untuk masuk, tetapi setelah memori menyakitkan itu kembali terlintas dibenaknya, ia melanjutkan langkah kakinya.

“Saya ingin membuat laporan,” ucap Hazel yang kini sedang berdiri berhadapan dengan salah satu polisi di kantor itu.

Polisi itu mengernyitkan alisnya. Ia memandangi Hazel dari atas sampai bawah. Penampilan Hazel seperti kebanyakan orang-orang yang selalu mampir ke kantornya untuk menanyai kelanjutan kasus soal pencurian hewan ternaknya.

“Ya, tapi jujur saja, Nona, ini masih terlalu pagi bagi kami untuk menerima atau memberikan tanggapan atas laporan kejahatan. Kembalilah sekitar 2 atau 3 jam lagi. Kami sudah siap untuk menerima laporan darimu,” tolak polisi itu sambil menatap kesal ke arah Hazel.

Hazel tersentak. Ia sangat kecewa dengan tanggapan polisi yang seharusnya melindungi dan memberikan keamanan untuknya. Karena penampilan Hazel yang sederhana, polisi itu mengira Hazel akan melaporkan hal sepele seperti pencurian ayam atau bebek yang akhir-akhir ini sering dilakukan oleh orang-orang di daerah sana. Polisi itu memang agak berat hati untuk membantu. Ia memang selalu menolak beberapa orang yang hendak melaporkan kasus karena tidak mau berpikir keras di jam-jam sepagi ini.

“Tunggulah di sana, Nona. Kami akan menerima laporanmu sekitar 30 menit lagi.”

Tiba-tiba seorang pria berseragam biru muda yang tadi berdiri di samping polisi itu berbicara sambil menunjuk ke arah sofa di sudut ruangan. Orang itu bukan petugas di kantor tersebut karena pakaiannya berbeda warna. Meskipun perintah tadi bukan berasal dari mulut polisi yang tadi Hazel ajak bicara, ia tetap menuruti perintahnya.

Hazel segera berdiri dari kursinya lalu berjalan ke sofa yang ditunjuk oleh pria tadi.

“Heh, sembarang kamu ya, Handika! Selama satu minggu penuh kami selalu menerima laporan tentang kasus pencurian ayam! Aku tidak mau mengurusnya. Kamu pikir tidak lelah, hah?” protes polisi yang tadi menolak Hazel.

Handika —nama pria yang menyuruh Hazel untuk menunggu itu— hanya memamerkan deret giginya yang rapi. Ia tersenyum lebar tanpa dosa karena secara tidak langsung ia baru saja mengatur pekerjaan temannya. Ia memiliki perbedaan tugas pokok dengan polisi berseragam cokelat itu, tetapi ia malah menyuruh temannya itu untuk menerima laporan Hazel sekitar 30 menit lagi.

“Masih mending hanya kasus pencurian ayam, bagaimana kalau pembunuhan? Memangnya kamu mau departemenmu didemo rakyat karena tak becus mengurusi keamanan wilayah?” balas Handika dengan santai.

“Aku sih cuma bertugas menunggu di penjara, ya. Kalau kamu ya siap-siap pusing saja sih,” ejek Handika kepada temannya itu karena ia tidak akan didemo kalau warga merasa dirugikan perihal keamanan kampungnya.

Handika adalah sipir penjara yang sengaja mampir ke kantor polisi untuk menemui temannya yang sedang bertugas itu.

“Kamu sama aja ya! Siap-siap menunggu seorang pembunuh di penjara.” Polisi itu balas meledek Handika.

Handika menanggapi ledekan itu dengan tawa renyahnya. Tanpa mereka sadari Hazel mendengar pembicaraan kedua pria itu. Jantungnya berdegup kencang saat obrolan tersebut mengarah ke kasus yang hendak ia laporankan.

Niat Hazel ke kantor polisi itu karena ingin melaporkan pelecehan yang dialaminya. Dan di dalam kasusnya itu ada kejadian pembunuhan yang tak sengaja ia lakukan.

Seketika niat Hazel menciut karena ia takut dan malu mengatakannya kepada polisi itu. Ia lalu berdiri dari sofanya. Wanita itu hendak berjalan ke arah pintu keluar untuk pergi, tetapi pintu kaca tersebut lebih dulu terbuka dengan kasar.

Brak!

Seorang wanita dewasa baru saja masuk ke kantor polisi itu. Ia sempat diam di depan pintu sambil memperhatikan sekitar. Wanita itu menatap tajam ke arah Hazel seolah ia sudah mengenal lama dan sekarang ia terlihat sangat membencinya.

“Wanita itu...." Wanita itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hazel.

Hazel mematung di tempat saat wanita itu menunjuk ke arahnya sambil menatap tajam.

"Dia telah membunuh suamiku!” tuduh wanita itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Mengapa Begitu Peduli?

    Tidak seperti kebanyakan sipir yang bertugas di lapas itu, nada bicara Handika saat ia memberi perintah kepada Hazel tidak kasar. Meskipun demikian, jika didengar baik-baik, Handika berbicara dengan nada dinginnya. Sejujurnya itu lebih menyeramkan daripada bentakan, tetapi Hazel mengabaikannya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan di lapas? Ia bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang tahanan, wajar saja jika sipir bersikap semena-mena dengannya. Perintah singkat itu langsung dituruti oleh Hazel meskipun dengan setengah hati ia melakukannya. Pikirnya daripada Hazel harus berdebat, lebih baik ia melaksanakan perintah itu. Hazel sadar diri dengan posisinya. Jika ia melawan perintah seorang sipir, mungkin ia bisa kena marah lagi seperti yang dilakukan Emma. Ya, meskipun sejauh ini Handika tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Satu-satunya sipir yang bersikap baik kepada Hazel di lapas itu adalah Handika. Setelah memastikan Hazel sudah duduk, Handika segera bergegas mengambil jatah m

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Hidup Serasa di Neraka

    “Berhenti membuatku muak dan mencari perhatian orang-orang di sini! Kau mencoba menarik simpati dengan bersikap lemah seperti ini, hah? Kau cuma perempuan kasar yang gila harta milik suami orang, jadi lebih baik kau pahami batasanmu,” cecar Emma. Emma melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Hazel. Hazel merasa lega karena Emma tidak lagi menahannya. Ia tidak lagi merasakan sakit akibat dari cengkeraman tangan Emma. Namun, ternyata Hazel salah. Emma kembali menyakiti Hazel dengan menjambak rambut panjangnya hingga kepala wanita itu sedikit terdongak. Sekarang Hazel bisa melihat langit-langit kantin di atasnya.“Ouch!” pekik Hazel kesakitan.Jambakan itu mengingatkan Hazel dengan kejadian buruk yang menimpanya. Ia teringat saat Rendra menarik rambut panjangnya dan ia didorong hingga wajahnya membentur cermin meja rias hingga pecah. Bahkan bekas lukanya masih belum terlalu kering karena ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Saat Hazel ditahan, ia hanya mendapatkan perawa

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Keputusan Handika

    “Jadi... pelaku pelecehan Hazel adalah kakakmu?" Dokter Lee tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetapi sebisa mungkin ia menjaga cara bicaranya agar tidak terlalu keras.Dokter relawan itu sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memastikan jika tidak ada orang selain mereka di lorong itu.Handika mengangguk dengan lemah. Ada perasaan lega meskipun hanya sedikit setelah ia membagi rahasianya itu. Setidaknya ia tidak harus menanggung beban itu seorang diri. Namun, tidak bisa dipungkiri jika perasaan bersalah akan selalu singgah di hatinya.“Jadi ini alasannya kenapa kau terlihat begitu peduli dengannya? Handika, ini terlalu berbahaya," kata Dokter Lee.Dokter Lee menanggalkan panggilan ‘Pak’ untuk Handika sebab ia merasa pria itu telah membuka hubungan lebih jauh dari sekedar rekan kerja. Mungkin teman, karena teman selalu berbagi rahasia.“Orang-orang mulai membicarakanmu di kantor. Aku tahu itu karena aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mungkin setelah ini

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Kabar Kehamilan

    “Bagaimana liburanmu? Masih ingin berbuat onar lagi?" cibir Emma.Emma tersenyum puas saat melihat penampilan Hazel yang berantakan. Di sel tikus, seorang tahanan tidak bisa mandi karena hanya ada satu closet duduk saja. Tak ada cermin ataupun wastafel yang menjadi sumber sanitasi bagi tahanan. Wajar saja jika penampilan Hazel sangat kumal. “Jika kau berbuat onar lagi, maka hukuman bisa ditambah menjadi 14 hari. Paham tidak?" Emma langsung mendorong Hazel dan menyuruh wanita itu untuk keluar dari sel tikus.Berbeda dengan Emma yang terlihat puas dengan kondisi Hazel, Handika justru menatap iba ke arah wanita itu. Berada di dalam ruangan sempit dengan banyak lampu yang amat terang membuat sepasang mata Hazel mengering. Rambut panjangnya kusut dan sedikit basah karena keringat, serta bibir dan kulitnya sangat kering —tampak sedikit pecah-pecah. Tubuh Hazel juga semakin kurus karena setiap Handika memberinya jatah makan, wanita itu tidak pernah menghabiskannya. Hanya beberapa sendok saja

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   “Menemanimu”

    Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Sel Tikus

    “Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Awal Konflik di Lapas

    “Sekarang kelihatan, 'kan, loe itu emang brutal kayak setan!" amuk Farah saat melihat temannya ditonjok oleh Hazel. Saat Farah sedang memisahkan Hazel dan Dita, Lela berlari ke arah pintu dan langsung mengulurkan tangan kanannya di sela-sela pintu besi sel tersebut. Wanita itu mulai berteriak meminta bantuan. “Ibu Polisi! Tolong! Tahanan nomor 1308 menggila!” teriak Lela. “Cepat, teman saya bisa mati kayak pengusaha tajir itu!" teriaknya lagi. Saat Lela sedang sibuk mencari bantuan dengan cara berteriak di sela pintu sel, Farah berniat membalas perbuatan Hazel. Dengan sekuat tenaga, Farah menjambak rambut Hazel dan membenturkan kepalanya ke tembok sel dengan keras. “Ugh!" Seketika telinga Hazel berdengung sesaat setelah kepalanya membentur tembok. Pusing! Itulah yang ia rasakan saat ini. Farah tidak main-main saat membenturkan kepala Hazel. Ia seolah tidak takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada Hazel. Kalau mati? Ia tidak peduli dan mengabaikan itu. “Loe gila!

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Ledakan Amarah

    Mendengar pernyataan itu, tubuh Hazel seketika menegang. Sejenak ia melirik ke kiri dan ke kanan untuk memastikan siapa saja yang mendengar pernyataan itu. Konyol! Setelah pengacara itu, sekarang hadirlah sosok Handika yang berusaha meyakinkannya untuk tetap berjuang. Pikiran Hazel berkecamuk. Jika boleh jujur, ia merasa senang sekaligus sedih. Senang rasanya ketika ada orang lain yang masih berusaha untuk mengembalikan kepercayaannya. Akan tetapi, perasaan sedih masih betah singgah di hatinya. Ia sedih karena semakin ia mencoba untuk percaya, maka memori kelam itu kembali terlintas di otaknya. “Lupakan soal obrolan tadi. Sekarang anda harus membawa saya kembali ke sel segera.”Bukannya menanggapi pernyataan Handika beberapa menit yang lalu, Hazel malah mengalihkan pembicaraan. Ia bahkan mengubah gaya bicaranya kembali formal seperti sebelumnya.Tangan Handika masih mengepal. Saat ini ia benar-benar membutuhkan pelampiasan. Namun, ia berusaha menahan diri untuk tidak memukul apapun

  • Terjerat Cinta Sipir Penjara   Teman?

    “Aku memang bodoh.”Kalimat sederhana itu mampu membuat Handika tersadar dari lamunannya. Ia sedikit terperanjat, tetapi detik berikutnya ia bisa menguasai diri.“Eh... apa...?” tanya Handika.Satu kata yang terucap dari mulut Handika tadi mampu memicu traumanya. Sebelumnya Hazel tidak sadar jika ia telah meluapkan emosinya di hadapan Handika. Kata 'tertipu' membuat Hazel teringat dengan alasannya mendekam di lapas itu. Karena tertipu ide busuk Rendra, ia berakhir di sel tahanan yang dingin itu.“Seharusnya, anda tidak melakukan ini,” kata Hazel.Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, Handika tahu jika yang dimaksud wanita itu adalah sikapnya saat ini. Sepasang mata indah Hazel menatap lekat ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Handika. Sikap wanita itu menyiratkan satu pesan yang seolah mengatakan jika ia tidak suka saat Handika menyentuhnya.“A... ya. Ini salah. Maaf,” balas Handika.Dengan berat hati Handika melepaskan genggamannya itu.”Segera obati lukamu, setelah i

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status