“Argh!” teriak Rendra sambil memegangi pelipisnya yang terasa sakit akibat pukulan dari Hazel.
Saat Rendra lengah, Hazel langsung menjejakkan kakinya bersamaan dengan kedua tangan yang mendorong tubuh pria itu. Beruntung kali ini usaha Hazel berhasil. Pria itu terjungkal ke belakang akibat tubuhnya tidak dalam posisi siaga.Hazel segera menyingkir dari atas kasur seraya merapikan penampilannya yang awut-awutan itu. Ketika Hazel bangun, tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Dengan terseok-seok, Hazel segera berlari ke pintu kamar itu untuk kabur. Kurang satu langkah lagi Hazel berhasil keluar dari kamar itu. Namun, lagi-lagi Rendra berhasil meraih gaun Hazel dan menarik tubuh perempuan itu ke arahnya.“Kau benar-benar tidak tahu diri!” bentak Rendra.Awalnya Rendra memang menarik tubuh Hazel agar mendekat. Akan tetapi, ketika tangan kiri Rendra berhasil menarik rambut panjang Hazel untuk kedua kalinya, pria itu langsung mendorongnya ke sebelah kanan, tepat ke arah meja rias yang ada di kamar itu.Bruak!Rendra mendorong kepala Hazel dengan kuat ke arah cermin hingga cermin itu pecah dan beberapa pecahannya berserakan di meja rias tersebut.“Kau memang tidak pernah belajar, Hazel! Oh, atau kau ingin melakukannya lagi dengan posisi seperti ini?” tanya Rendra."Dengan senang hati aku akan memuaskan calon istri keduaku ini,” bisik seduktif Rendra tepat di telinga Hazel.Senyum mengejek kembali terukir di wajah tegas Rendra. Pria itu kembali melancarkan aksinya dengan posisi seperti itu.Tidak ada yang bisa dilakukan Hazel. Tubuhnya semakin lemas, apalagi setelah Rendra membenturkan kepalanya di cermin itu dengan sangat keras. Hazel hanya bisa menangis keras sebab ia merasa semakin jijik terhadap tubuhnya. Ia tidak banyak memberontak, sebab kepalanya saat ini masih ditekan di depan cermin yang telah rusak itu. Rasa nyeri kian bertambah di area sekitar wajah bagian kanannya akibat pecahan cermin itu“Oh, shit! Jika kau bersedia menerima lamaranku waktu itu, aku tidak akan memaksamu untuk memuaskan hasratku.” Sambil terus melancarkan aksinya yang kasar itu, Rendra bergumam di belakang Hazel.“Hidupmu akan bahagia ketika menjadi Nyonya Rendra, percayalah,” Pria itu terus merancau keenakan.Tak tahan dengan pelecehan yang dilakukan oleh Rendra, akhirnya perempuan itu memilih cara terakhir. Tangan kanan yang selama ini Hazel gunakan untuk memegangi kepalanya yang didorong oleh Rendra kini ia gunakan untuk meraih pecahan kaca yang paling besar di dekatnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Hazel langsung menggoresnya pecahan kaca itu di tangan Rendra yang sejak tadi menahan kepalanya untuk tetap diam di depan cermin.“Argh!”Mau tidak mau Rendra melepaskan diri dari penyatuannya. Ia menjerit sambil memegangi tangan kirinya yang mengucurkan darah segar akibat pecahan kaca itu.Setelah terbebas dari jeratan Rendra, perempuan itu tidak segera pergi. Ia kembali menggoreskan pecahan kaca itu di wajah Rendra ketika tubuhnya sudah berbalik.Slash!“Argh!” Lagi-lagi Rendra menjerit kesakitan karena Hazel tak sengaja melukai mata kirinya.Rendra kehilangan keseimbangannya. Pria itu terjatuh ke belakang hingga ia terduduk di lantai. Awalnya Rendra fokus pada tangannya yang terluka, tetapi kini ia sibuk memegangi matanya yang mengeluarkan banyak darah.Hazel langsung menerjang tubuh Rendra. Kini gantian ia yang berada di atas. Saat tubuh Rendra berhasil terdorong ke lantai, Hazel lagi-lagi melukai wajah Rendra. Namun, kali ini tidak sekedar menggoreskan pecahan kaca itu, melainkan menancapkannya di mulut Rendra.“Argphh!” Rendra mengaduh sebab mulutnya sobek akibat ulah Hazel.Sebelum Rendra mendorong tubuh Hazel, ia kembali menancapkan pecahan kaca itu di perut Rendra.“H-Hazel....” Rendra merintih dan menyebut nama Hazel dengan lemah saat perutnya kembali ditusuk dengan pecahan kaca itu.“H-Hen... tikan.... A-Aku... mohon.” Dengan kesadaran yang hampir lenyap, Rendra memohon agar Hazel berhenti merobek perutnya dengan pecahan kaca itu.Sambil menangis Hazel terus menusuk-nusuk perut Rendra. Ia tidak begitu peduli ketika darah segar Rendra menciprat di wajahnya.“Salahmu... kenapa kau tidak berhenti saat aku memohon?” tanya Hazel sambil terus menusuk Rendra, tetapi tidak di perutnya lagi, melainkan di dadanya.Rendra tidak lagi merespons. Kedua matanya terbelalak dan tangannya tergeletak di lantai. Pria itu sudah tidak bernapas lagi. Dengan berlumuran darah, Hazel perlahan bangun dari tubuh Rendra yang sudah tak bernyawa itu. Perlahan pecahan kaca di genggamnya terlepas.Hazel memandangi tubuh Rendra yang mengenaskan itu tanpa berekspresi sedikitpun, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar. Tidak ada tangisan yang pantas bagi orang jahat yang telah merusak masa depannya.Setelah lumayan lama memandangi jasad Rendra, akhirnya Hazel keluar dari rumah itu. Seperti malam-malam biasanya, jalan yang biasanya dilalui oleh Hazel untuk sampai ke rumahnya tampak sepi. Tidak ada seorang pun yang melihat penampilan Hazel yang berantakan dan berlumuran darah itu.Sesampainya di depan rumah, Hazel mengetuk pintu dengan tangannya yang lemah dan gemetar. Cukup sekali mengetuk, pintu itu terbuka perlahan.“Ya Tuhan, apa yang terjadi? H-Hazel?!” Citra –Ibu Hazel– sangat terkejut saat ia melihat penampilan Hazel yang berantakan itu.Citra segera meraih tangan Hazel dan menuntunnya perlahan untuk masuk ke dalam rumah sebelum orang lain melihat penampilan putri semata wayangnya itu. Setelah Hazel duduk, Citra segera mengunci kembali pintu rumahnya itu.“Ya Tuhan....” Citra kehilangan kata-katanya saat ia mengamati penampilan Hazel untuk kedua kalinya.“Tunggulah di sini, ibu akan panggil ayah dulu,” ucap Citra sebelum ia meninggalkan Hazel sendirian di ruang tamu.Setelah Citra memanggil suaminya, kedua orang tua itu mendesak Hazel untuk bicara. Awalnya Hazel menolak untuk bicara. Hazel hanya menangis, tetapi setelah bentakan keluar dari mulut ayahnya, ia terpaksa menceritakan pelecehan yang ia terima. Kedua orang tua Hazel terkejut dan hampir tidak percaya. Namun, saat mereka melihat penampilan putrinya itu, mau tidak mau mereka harus percaya.“Besok aku akan menyerahkan diri ke kantor polisi,” ujar Hazel.“Kau gila?!” Ayah Hazel langsung menoyor kepala Hazel.“Kenapa kau begitu bodoh?! Kau merusak semuanya. Apa kau tidak takut membusuk di penjara, hah?” cecar ayahnya murka setelah mendengar keputusan Hazel."Hidup kita sudah lebih baik! Beruntung ibumu yang cacat ini mendapatkan pekerjaan di kedai milik Rendra! Lalu kenapa kau malah mengacaukannya?” Kemarahan Ayah Hazel akhirnya pecah. Sudah sejak tadi pria paruh baya itu menahan diri.“Apa katamu tadi? Kau membunuh Rendra? Apa kau sadar dengan yang kau lakukan itu?!” bentak Ayah Hazel sambil berkali-kali menoyor kepala putrinya."Dia adalah satu-satunya pria kaya yang mau menikahi perempuan miskin seperti dirimu! Kenapa kau menolak dan malah menghabisi nyawanya?!” murka Ayah Hazel sambil mencengkeram dagu putrinya itu.Heri –Ayah Hazel– memaksa putrinya itu untuk menatap dirinya yang sedang berdiri di depannya. Selama ini Heri memang berpihak kepada Rendra karena baginya bos istrinya itu selalu bersikap baik. Renda-lah yang menawarkan pekerjaan kepada istrinya yang pincang itu. Di tempat lain, Citra selalu ditolak karena dianggap hanya menghambat pekerjaan saja.Selain itu, hanya Rendra yang bersedia meminjamkan uang kepadanya setiap kali ia meminta. Namun, Rendra tidak melakukan kebaikan itu secara cuma-cuma. Rendra mau membantu Heri asalkan pria itu terus berusaha untuk membujuk Hazel agar mau dinikahi olehnya. Hanya Heri yang setuju dengan lamaran Rendra. Berulang kali Heri membujuk Hazel untuk menerima lamaran Rendra. Heri melakukan itu karena ia sudah bosan hidup susah. Menurutnya, Rendra adalah satu-satunya harapan hidup baginya. Namun sayang, Hazel telah menghancurkannya."Cepat bersihkan tubuhmu itu lalu tidur! Biar kami yang mencari solusinya!” Heri menarik tangan Hazel dan memaksanya untuk bangun.Setelah itu Heri mendorong tubuh Hazel ke arah kamar mandi seperti perintah yang diucapkannya tadi. Dengan terpaksa Hazel mengikuti perintah ayahnya itu. Ia berjalan perlahan ke arah kamar mandi. Sesampainya di sana, ia langsung jatuh terduduk di lantai keramik yang dingin itu. Ia kembali menangis sejadi-jadinya."Ini menjijikan!” teriak Hazel sambil mengusap kasar kulit tubuhnya.Hazel berharap rasa jijik akan hilang. Ia tidak mau mengingat pelecehan yang dilakukan oleh Rendra, tetapi otaknya terus merekam kejadian itu."Kasihan sekali putri kita," ucap Citra saat ia mendengar tangis putrinya di dalam kamar mandi."Salah dia! Jika dia tidak menolak saat Rendra melamarnya, ini semua tidak akan terjadi! Aku sudah pernah bilang, ‘kan, kepadamu? Tetapi kau sama bodohnya dengan putrimu itu!”Heri tak berhenti marah-marah. Pria itu langsung duduk di kursi rotan sambil memijat pelipisnya yang terasa nyut-nyutan. Citra hanya diam. Ini bukan sekali atau dua kali ia dibentak oleh suaminya. Heri selalu marah-marah dan menyalakan dirinya ataupun Hazel atas kesialan yang menimpa keluarganya itu."Lalu... bagaimana solusinya?" tanya Citra.Tidak seperti kebanyakan sipir yang bertugas di lapas itu, nada bicara Handika saat ia memberi perintah kepada Hazel tidak kasar. Meskipun demikian, jika didengar baik-baik, Handika berbicara dengan nada dinginnya. Sejujurnya itu lebih menyeramkan daripada bentakan, tetapi Hazel mengabaikannya. Apa yang bisa diharapkan dengan kehidupan di lapas? Ia bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang tahanan, wajar saja jika sipir bersikap semena-mena dengannya. Perintah singkat itu langsung dituruti oleh Hazel meskipun dengan setengah hati ia melakukannya. Pikirnya daripada Hazel harus berdebat, lebih baik ia melaksanakan perintah itu. Hazel sadar diri dengan posisinya. Jika ia melawan perintah seorang sipir, mungkin ia bisa kena marah lagi seperti yang dilakukan Emma. Ya, meskipun sejauh ini Handika tidak pernah bersikap kasar kepadanya. Satu-satunya sipir yang bersikap baik kepada Hazel di lapas itu adalah Handika. Setelah memastikan Hazel sudah duduk, Handika segera bergegas mengambil jatah m
“Berhenti membuatku muak dan mencari perhatian orang-orang di sini! Kau mencoba menarik simpati dengan bersikap lemah seperti ini, hah? Kau cuma perempuan kasar yang gila harta milik suami orang, jadi lebih baik kau pahami batasanmu,” cecar Emma. Emma melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Hazel. Hazel merasa lega karena Emma tidak lagi menahannya. Ia tidak lagi merasakan sakit akibat dari cengkeraman tangan Emma. Namun, ternyata Hazel salah. Emma kembali menyakiti Hazel dengan menjambak rambut panjangnya hingga kepala wanita itu sedikit terdongak. Sekarang Hazel bisa melihat langit-langit kantin di atasnya.“Ouch!” pekik Hazel kesakitan.Jambakan itu mengingatkan Hazel dengan kejadian buruk yang menimpanya. Ia teringat saat Rendra menarik rambut panjangnya dan ia didorong hingga wajahnya membentur cermin meja rias hingga pecah. Bahkan bekas lukanya masih belum terlalu kering karena ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Saat Hazel ditahan, ia hanya mendapatkan perawa
“Jadi... pelaku pelecehan Hazel adalah kakakmu?" Dokter Lee tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetapi sebisa mungkin ia menjaga cara bicaranya agar tidak terlalu keras.Dokter relawan itu sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia memastikan jika tidak ada orang selain mereka di lorong itu.Handika mengangguk dengan lemah. Ada perasaan lega meskipun hanya sedikit setelah ia membagi rahasianya itu. Setidaknya ia tidak harus menanggung beban itu seorang diri. Namun, tidak bisa dipungkiri jika perasaan bersalah akan selalu singgah di hatinya.“Jadi ini alasannya kenapa kau terlihat begitu peduli dengannya? Handika, ini terlalu berbahaya," kata Dokter Lee.Dokter Lee menanggalkan panggilan ‘Pak’ untuk Handika sebab ia merasa pria itu telah membuka hubungan lebih jauh dari sekedar rekan kerja. Mungkin teman, karena teman selalu berbagi rahasia.“Orang-orang mulai membicarakanmu di kantor. Aku tahu itu karena aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Mungkin setelah ini
“Bagaimana liburanmu? Masih ingin berbuat onar lagi?" cibir Emma.Emma tersenyum puas saat melihat penampilan Hazel yang berantakan. Di sel tikus, seorang tahanan tidak bisa mandi karena hanya ada satu closet duduk saja. Tak ada cermin ataupun wastafel yang menjadi sumber sanitasi bagi tahanan. Wajar saja jika penampilan Hazel sangat kumal. “Jika kau berbuat onar lagi, maka hukuman bisa ditambah menjadi 14 hari. Paham tidak?" Emma langsung mendorong Hazel dan menyuruh wanita itu untuk keluar dari sel tikus.Berbeda dengan Emma yang terlihat puas dengan kondisi Hazel, Handika justru menatap iba ke arah wanita itu. Berada di dalam ruangan sempit dengan banyak lampu yang amat terang membuat sepasang mata Hazel mengering. Rambut panjangnya kusut dan sedikit basah karena keringat, serta bibir dan kulitnya sangat kering —tampak sedikit pecah-pecah. Tubuh Hazel juga semakin kurus karena setiap Handika memberinya jatah makan, wanita itu tidak pernah menghabiskannya. Hanya beberapa sendok saja
Seperti yang tertulis di peraturan, sel tikus memang diperuntukkan bagi para tahanan yang membuat pelanggaran. Jadi, sel tersebut memang didesain khusus untuk memberi efek jera, salah satunya adalah membiarkan sel tersebut dalam kondisi sangat terang selama 24 jam. Tidak ada celah apapun. Ruangan itu benar-benar tertutup rapat. Untuk sirkulasi udaranya, ruangan itu hanya mengandalkan satu blower kecil di langit-langit atap. Sedangkan lampunya ada banyak dan semua menyala dengan terang dengan tombol yang ada di luar agar para tahanan yang sedang dihukum tidak bisa mematikannya.“Hazel...,” panggil Handika karena tidak ada balasan dari wanita itu.Semua kepedulian Handika itu adalah bentuk belas kasihannya. Ia tidak tega ketika melihat seseorang harus menanggung konsekuensi atas ulah yang tidak pernah dilakukannya.“Jawab aku,” pinta Handika.Hazel bisa mendengar suara Handika dengan jelas meskipun pria itu sedang berbicara dengan pelan dan sedikit lembut. Itu karena posisi Hazel masih
“Kau bisa membawanya setelah dia diobati. Kau bisa lihat sendiri, ‘kan? Kondisinya begitu berantakan,” jelas Handika. Handika menatap iba ke arah Hazel. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Karena ia menunduk, tetesan darah segar dari hidung lebih mudah jatuh membasahi pakaiannya. Handika bermaksud memutar otak untuk mencari alasan lain agar Emma tidak jadi membawa Hazel ke sel tikus. “Loe makin hari makin enggak masuk akal, Han. Aturannya kita baru bisa mengobati tahanan setelah mereka menjalani masa hukuman di sel tikus. Di lapas pria juga begitu, ‘kan? Jangan pura-pura lupa!” Saat sudah kesal seperti ini Emma tidak lagi berbicara dengan bahasa formal seperti kesehariannya di tempat kerja. “Sudah, mending loe diem aja, Han! Loe cuma pendatang di sini!” Emma sedikit menyentak tangan Hazel sebelum ia melanjutkan langkah kakinya. Ia mengabaikan Handika meskipun pria itu berulang kali memangil namanya. “Emma!” Handika tak menyerah. Sekali lagi ia memanggil Emma dengan sua