Share

BAB 8

Penulis: Nenghally
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-03 09:00:14

Rian terdiam di atas tangga, tubuhnya membeku seolah-olah udara dingin tiba-tiba memenuhi rumah besar itu. Kata-kata Zara menggema di telinganya, begitu tajam, begitu jelas.

Ia menatap Zara dari kejauhan, matanya menyipit, mencoba mencari jawaban di wajah istrinya. Tapi yang ia temukan hanyalah amarah yang membara, disertai kesedihan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

“Zara...” suara Rian akhirnya keluar, serak dan nyaris tak terdengar.

Zara tidak menoleh. Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak tangannya sendiri hingga terasa sakit. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan lagi.

“Aku serius, Rian,” katanya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.

Rian turun perlahan, satu langkah demi satu langkah. Tapi Zara mengangkat tangannya, menghentikan gerakannya.

“Jangan mendekat,” katanya, matanya yang sembab menatap langsung ke arah Rian. “Kamu sudah terlalu jauh dariku selama ini, Rian. Tidak perlu berpura-pura peduli sekarang.”

Rian menelan ludah, merasa dadanya sesak. “Apa yang kamu bicarakan? Kenapa tiba-tiba seperti ini?”

Zara tertawa kecil, namun tidak ada keceriaan di dalamnya. “Tiba-tiba? Ini bukan tiba-tiba, Rian. Aku sudah menahan ini selama lima tahun. Bertahan dengan diam kamu, rahasia kamu, sikap dingin kamu. Aku lelah.”

Rian menggeleng, mencoba memprotes, tapi Zara memotongnya. “Aku bahkan tidak tahu siapa kamu, Rian. Aku tidak tahu apa yang kamu sembunyikan dariku. Aku lelah mencoba memahami seseorang yang bahkan tidak mau berbagi apa-apa denganku.”

“Zara, kamu tidak mengerti,” Rian akhirnya berbicara, mencoba mendekatinya lagi. Tapi Zara tetap bergeming, tatapannya tidak berubah.

“Kamu benar,” katanya dengan nada getir. “Aku tidak mengerti. Dan kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk mengerti.”

Rian menarik napas dalam-dalam, wajahnya berubah gelap. “Kamu pikir aku tidak punya alasan? Aku melakukan ini semua untuk kamu.”

Zara terdiam sesaat, memproses kata-kata Rian. “Melakukan apa? Menyembunyikan semuanya dariku? Membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri? Itu demi aku?”

Rian tidak menjawab, rahangnya mengeras.

“Lihat? Kamu tidak bisa menjawab. Karena kamu tahu aku benar.” Zara melangkah mendekatinya kali ini, matanya tajam. “Aku tidak tahu lagi apa yang kamu pikirkan, Rian. Aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan. Tapi aku tidak bisa hidup seperti ini lagi.”

Rian membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi suara itu tidak keluar. Ia hanya bisa menatap Zara, wanita yang berdiri di depannya dengan hati yang terluka parah.

“Aku mau kita berpisah, Rian,” kata Zara dengan nada pelan tapi penuh kepastian. “Aku tidak mau terus menjadi istri yang kamu abaikan. Aku berhak untuk bahagia.”

Hening melingkupi mereka. Rian berdiri diam, pandangannya kosong, sementara Zara merasa dadanya semakin sesak. Air matanya tidak lagi mengalir, tapi hatinya terasa seperti kaca yang pecah menjadi ribuan serpihan.

“Kalau itu maumu,” akhirnya Rian berkata, suaranya rendah dan datar.

Zara menatapnya, mencari tanda-tanda emosi di wajahnya, tapi tidak ada apa-apa. Wajah Rian tetap seperti biasa. Dingin, tak terbaca.

“Besok aku akan bicara dengan pengacara,” lanjut Rian sebelum berbalik dan naik kembali ke tangga tanpa menoleh lagi.

Zara berdiri di sana, tubuhnya lunglai, menatap punggung pria yang selama ini berusaha ia cintai.

“Kamu... benar-benar...” Ucapan Zara tertahan, suaranya bergetar, tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar.

Rian tidak menjawab, tidak memberi sedikit pun penjelasan atau permohonan maaf.

Zara menggeleng perlahan, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. “Jadi, pernikahan ini benar-benar akan berakhir?” pikirnya, dadanya terasa sesak.

Rian akhirnya melangkah lagi, kali ini tanpa berhenti. Langkah-langkahnya terdengar menggema di tangga marmer rumah mereka yang luas, setiap bunyi seakan menghantam hati Zara.

Pagi harinya, tanpa banyak bicara, Zara mulai mengemas barang-barangnya. Ia memilih pakaian secukupnya, menyelipkan beberapa barang penting ke dalam koper kecil. Setiap tarikan resleting terasa seperti simbol perpisahan yang ia butuhkan. Tangannya gemetar, tapi ia terus melanjutkan.

Saat semua selesai, Zara menarik kopernya menuju pintu kamar. Namun, suara derit roda koper di lantai marmer yang hening membuat Rian terbangun.

"Zara?" panggil Rian, suaranya berat dan masih mengantuk.

Zara tidak menjawab. Ia melangkah keluar dari kamar, menarik kopernya ke tangga dengan tekad bulat.

Namun, baru beberapa langkah menuruni tangga, suara berat dan tegas Rian memecah keheningan.

"Zara, berhenti!"

Zara berhenti sejenak, tapi bukan karena perintah itu. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya. Perlahan, ia menoleh, menatap Rian yang berdiri di puncak tangga dengan piyamanya.

"Zara, kamu tidak boleh pergi!" serunya lagi, kali ini dengan nada lebih dingin, lebih menuntut.

Zara mengangkat dagunya sedikit, memperlihatkan tatapan penuh luka tapi penuh keberanian. “Apa hakmu menahanku, Rian?”

Rian mulai melangkah turun, mendekatinya. “Hakku sebagai suamimu. Kamu tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja.”

Zara mendengus kecil, sinis. “Suami? Kau bahkan tidak bertindak seperti seorang suami."

Rian terdiam sejenak, rahangnya mengeras. “Zara, kamu tahu ini bukan hanya tentang kita. Jika kamu pergi, ini akan menjadi skandal keluarga. Semua orang akan membicarakan kita. Apa kamu mau itu terjadi?”

“Skandal?” Zara tertawa pendek, penuh ironi. “Kamu selalu memikirkan reputasi keluarga, perusahaan, dan orang lain. Pernahkah kamu memikirkan aku, Rian? ?”

“Zara, dengar aku—”

“Tidak!” potong Zara tajam. “Aku sudah cukup mendengarkanmu. Rumah ini bukan lagi rumah. Ini seperti penjara bagiku!”

Rian terdiam di tengah tangga, matanya menatap Zara dengan intens. Ia mencoba membaca pikiran istrinya, mencoba mencari celah untuk membalas kata-katanya. Tapi Zara tidak memberinya kesempatan.

Ia menarik kopernya dengan satu tarikan keras, melanjutkan langkahnya menuruni tangga.

Rian bergerak cepat, melangkah turun untuk mengejar Zara. Tangannya terulur, meraih pegangan koper Zara, menghentikan langkahnya di dekat pintu utama.

“Zara, jangan lakukan ini,” katanya, kali ini dengan nada lebih lembut.

Zara menatap tangan Rian yang mencengkeram koper itu, lalu mendongak menatap wajahnya. “Lepaskan, Rian.”

“Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

Zara menghela napas panjang, menahan air mata yang sudah menggenang di matanya. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Rian? Kamu tidak mencintaiku. Kamu tidak peduli padaku. Lalu, kenapa kamu ingin aku tetap tinggal?”

“Karena aku...” Rian terdiam, lidahnya kelu. Kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya.

Zara tertawa kecil, getir. “Lihat? Bahkan untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, kamu tidak bisa.”

Rian melepas pegangannya perlahan, tapi tetap berdiri di hadapan Zara, mencoba menghalanginya pergi. “Zara, kita bisa membicarakan ini. Jangan bertindak gegabah.”

“Gegabah?” Mata Zara melebar karena marah. “Rian, aku sudah bertahan selama ini. Aku lelah, Rian. Aku lelah mencintai seseorang yang tidak pernah mencintaiku kembali.”

"Kamu... Mencintaiku?" tanya Rian, tak yakin dengan apa yang dia dengar.

Rian berusaha membuka mulutnya untuk membalas, tapi suara telepon rumah yang berdering tiba-tiba memecah ketegangan. Rian menoleh ke arah sumber suara, lalu kembali menatap Zara.

“Aku harus menjawab itu,” katanya, suaranya penuh keraguan.

Suara telepon rumah kembali berdering. Zara, menoleh ke arah sumber suara, wajahnya penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan ke arah meja tempat telepon berada. Tangannya terulur cepat, lalu dengan satu gerakan penuh amarah, ia meraih telepon itu dan melemparkannya ke lantai.

“Telepon sialan ini, selalu saja mengganggu!” teriak Zara, suaranya menggema di ruangan besar itu.

“Zara, apa yang kamu lakukan?” suara Rian terdengar tajam, tapi ia tetap berdiri di tempatnya.

Belum sempat Zara menjawab lagi, suara ponselnya tiba-tiba berdering, menggantikan suara telepon rumah yang tergeletak hancur di lantai. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel itu dari dalam tas. Layar ponsel menampilkan nama rumah sakit tempat Jerry dirawat.

Nafasnya terhenti sesaat. Dengan ragu, Zara menekan tombol jawab.

“Halo?” suaranya serak, nyaris berbisik.

Zara membeku. Matanya melebar, dan ponsel hampir terlepas dari genggamannya. Hatinya campur aduk antara lega, cemas, dan bingung.

“Dia sadar?” bisiknya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

Jerry sadar, apa yang harus ia lakukan sekarang? Pikirnya, sambil memandang Rian yang tetap diam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Shilla07
Nah, Zara tmbh bingung tuh skrg wkwkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Suami Pengganti   BAB 184 ( TAMAT )

    Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa

  • Terjerat Cinta Suami Pengganti   BAB 183

    Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita

  • Terjerat Cinta Suami Pengganti   BAB 182

    Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d

  • Terjerat Cinta Suami Pengganti   BAB 181

    Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny

  • Terjerat Cinta Suami Pengganti   BAB 180

    Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec

  • Terjerat Cinta Suami Pengganti   BAB 179

    Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status