Suara Nero disertai hembusan napas pria itu di belakang telinga Patra alih-alih membuat tubuh Patra meremang malah membuatnya bergidik ketakutan.
Jantung Patra berdebar tidak karuan dan Patra benar-benar syok dengan apa yang diucapkan oleh Nero.
"Jadi ... kau yang membuatku ditolak di 18 perusahaan sebelumnya?"
Suara Patra bergetar, tapi ia tetap berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan, tidak peduli ke mana pun pergerakan Nero saat ini.
"Yap! Seperti yang sudah kau dengar tadi, aku yang melakukannya."
Tatapan Patra goyah dan air matanya sudah berkumpul di pelupuk matanya saat ini.
"Lalu ... apa yang akan terjadi kalau aku melamar kerja di tempat lain lagi dan bukan di Nero Company?"
"Kau akan tetap berakhir ditolak. Tidak akan ada perusahaan yang menerimamu bekerja selain Nero Company. Hanya aku yang boleh menjadi bosmu. Aku sudah mengaturnya dengan sempurna."
Nero mulai melangkah ke depan Patra dan berdiri menghadapnya lagi.
Seketika semua rasa simpati yang tadinya Patra rasakan pun lenyap tak bersisa.
Mengapa? Mengapa kejadian seperti ini harus terulang lagi?
Patra pikir setelah harga dirinya dihancurkan oleh ibu Nero, setelah Patra akhirnya setuju untuk pergi dari hidup Nero, ia pun akan terbebas dari semua ini, menjalani hidup barunya tanpa ada bayang-bayang Nero sama sekali dan menghapus pria itu selamanya dari ingatannya.
Walaupun sulit, tapi Patra yakin Patra bisa dan nyatanya ia juga hidup baik-baik saja selama beberapa tahun ini.
Tapi ternyata Patra salah. Lepas dari ibu Nero tidak lantas membuatnya lepas dari Nero.
"Mengapa kau harus melakukan itu padaku, Nero?" lirih Patra bertepatan dengan air matanya yang juga jatuh.
Nero pun memicingkan mata menatap wajah sendu itu, tapi Nero tidak akan kasihan pada wanita itu.
"Kau masih berani bertanya mengapa? Mengapa kau juga tidak menanyakan perasaanku waktu itu, Patra? Waktu kau meninggalkan aku tanpa kejelasan!"
"Atau baiklah, kalau kau bertanya mengapa, aku akan menjawab, tapi aku mau mendengarkan jawabanmu dulu."
Nero mendekatkan wajahnya. "Bagaimana rasanya tidur dengan anak orang kaya lalu dibayar dengan begitu mahal?"
"Tubuhmu dihargai dengan begitu mahal oleh Ibuku kan?" hina Nero dengan sarkastik sambil melirik tubuh Patra mencemooh.
Dan Patra pun langsung menatap Nero dengan nanar. Hatinya begitu sakit mendengar ucapan Nero.
Jadi, Nero mengetahui tentang ibunya yang memberikan uang dan Nero baik-baik saja dengan semua itu.
Patra pun hanya bisa menggelengkan kepala tidak percaya, apakah ia sudah salah menilai Nero waktu itu? Apakah pertanggungjawaban yang dimaksud Nero adalah uang? Jadi janji untuk menikahinya waktu itu juga palsu?
Entahlah, Patra tidak bisa berpikir sekarang, namun Patra benar-benar tidak bisa menerima ucapan Nero.
"Bagaimana perasaanku? Mungkin itu sama dengan perasaanmu yang begitu mudahnya tidur dengan seorang wanita dan membayar untuk servisnya!" sahut Patra akhirnya dengan hati yang sangat terluka.
Tapi Nero sudah tidak bisa menangkap luka tersirat itu karena ia pun merasakan luka yang sama.
Nero pun tertawa dengan gaya yang tetap merendahkan. "Baiklah, kuakui bagi pria, itu adalah hal yang biasa. Tapi terus terang aku masih penasaran, apa yang "orang kaya baru" lakukan dengan uang sebanyak itu, hah?"
"Menjalani kehidupan jetset? Berfoya-foya? Merasakan menjadi orang kaya hanya dalam sekejap mata? Bagaimana kau menghabiskan uang sebanyak itu begitu cepat sampai kau kembali hidup mengenaskan seperti ini, hah?"
Patra menelan salivanya. Mau tidak mau pikirannya pun melayang pada selembar cek dengan nominal yang sangat banyak waktu itu.
Kalau saja ... kalau saja Patra menerima uang itu, mungkin kehidupannya tidak akan sesulit ini. Kalau saja ia rela merendahkan harga dirinya dan membawa saja cek itu, mungkin dirinya tidak akan direndahkan lagi oleh Nero seperti ini.
Tapi pada kenyataannya, Patra terlalu bodoh. Ya, hanya orang bodoh yang menolak uang yang begitu banyak dan pergi hanya dengan luka di hati dan tubuhnya.
Patra meletakkan cek itu di meja rumahnya, sebelum ia dan keluarganya pergi dari sana.
Entah siapa yang akhirnya menemukan cek itu, anggap saja orang itu beruntung, tapi Patra tidak peduli lagi.
Patra pun tertawa nanar dan kembali menatap Nero. "Kau tidak akan mau tahu apa saja yang kulakukan, Nero ...."
"Pak Nero!" sela Nero mengingatkan. "Sejak tadi aku terus membiarkanmu memanggil namaku, tapi aku harus mengingatkanmu kalau sekarang aku adalah bosmu!"
Lagi-lagi Patra menelan salivanya dan hanya mengangguk. "Pak Nero!" ulangnya singkat.
Nero menyeringai. "Bagus! Aku memang tidak peduli lagi. Aku hanya terkejut ternyata di balik penampilan polosmu, tersembunyi kemampuan yang sangat menakjubkan dalam hal menghabiskan uang!"
"Ah, tapi sebenarnya kalau kau butuh uang, kau tidak perlu susah-susah mencari kerja kan? Kau tinggal mencari pria kaya dan tidur dengannya! Bukankah cara itu mudah dan sama-sama enak, hmm?" Nero pun tertawa keras dengan cara yang sangat merendahkan Patra.
Setengah mati Patra menahan dirinya untuk tidak melawan dan ia pun terus menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir itu.
Baiklah, Patra mengerti sekarang! Patra mengerti dengan jelas maksud Nero yang ingin membalaskan rasa sakit hatinya pada dirinya.
Dan tentu saja dalam kondisi seperti ini, apa pun pembelaan diri yang akan dikatakan Patra juga tidak akan mungkin mengubah pandangan Nero.
"Terserah! Terserah apa katamu dan terserah bagaimana kau mau memandangku, Pak Nero!" Patra berusaha mengucapkannya dengan begitu tegar.
Nero mengangguk. "Tentu saja semua terserah padaku! Aku juga tidak mau bicara panjang lebar lagi denganmu! Dan karena kau sudah memilih bekerja sebagai cleaning service, jadi ... mulai lakukanlah tugas pertamamu!"
Patra sedikit mengernyit mendengar kata "tugas pertamanya" apalagi saat perlahan Nero melangkah mundur menjauh darinya.
Dengan sengaja, Nero menumpahkan wine di gelasnya ke lantai sampai cairan itu memercik ke lantai dan ke sepatu mengkilap milik pria itu.
Patra sendiri hanya bisa menatap nanar pada apa yang dilakukan Nero karena sedetik kemudian, tugas pertamanya pun diberikan.
"Bersihkan lantainya dan juga sepatuku! SEKARANG!"
**"Oek ... oek ...."Setelah sembilan bulan kehamilan yang luar biasa dengan Oliver yang sedang manja-manjanya, berhasil dilalui oleh Patra, akhirnya lahirlah juga pelengkap kebahagiaan dalam keluarga Nero. Seorang bayi perempuan mungil yang sangat cantik yang dinamai Persia Hadiwijaya. Seluruh anggota keluarga pun bersorak senang menyambut kehadiran anggota baru dalam keluarga mereka itu, terutama Nero yang memang selalu lebay sejak Patra hamil anak kedua. "Lihatlah, Juan! Yang ini sangat mirip denganku! Oh, dia cantik sekali, Juan! Putriku! Putriku!" pekik Nero lebay saat menatap putri cantiknya dari kaca di ruangan inkubator."Sayang, kau lihat kan, Oliver? Itu adikmu! Dia cantik sekali! Besok saat kau besar, kau harus bisa menjaga adikmu, jangan sampai adikmu didekati oleh para pria hidung belang itu, kau mengerti kan?" Nero terus menatap Oliver yang sedang ada dalam gendongannya seolah Oliver mengerti apa maksudnya. Sampai Juan yang berdiri di samping Nero pun tertawa gemas. "D
Menjadi orang tua baru sama sekali bukan hal yang mudah. Nero dan Patra pun banyak belajar dalam satu bulan pertama yang sama sekali tidak mudah. Bayinya menangis dengan kencang di pagi maupun di malam hari dan menyusu dengan begitu kuat. Awalnya Patra kembali mendapat masalah saat ASI-nya tidak mau keluar dan Patra sangat frustasi. "Ternyata seorang wanita itu perjuangannya tidak ada habisnya. Saat baru menikah, wanita akan tertekan kalau belum hamil juga. Saat hamil, wanita juga akan mengalami morning sickness yang menyiksa, ditambah sakit pinggang dan sakit kaki saat perut mulai membesar, ditambah rasa sakit yang luar biasa saat melahirkan.""Kupikir setelah melahirkan, maka perjuangan selesai. Ternyata masalah ASI adalah masalah yang baru lagi. Rasanya sakit sekali karena dia menyedot dengan begitu kencang tapi ASI-nya tidak bisa keluar juga."Patra begitu stres saat awal ia melahirkan. Bukannya bermaksud mengeluh, tapi rasa stres dan frustasi membuat hatinya lelah. Bahkan te
Patra tidak pernah tahu ternyata rasanya hamil sangat nano-nano. Di awal kehamilan, Patra mengalami mual yang sangat parah. Patra lelah, tidak bisa makan, hidung sensitif, dan berat badan berkurang. Namun, saat itulah, ia merasakan kepedulian yang begitu besar dari semua orang. Bahkan, keluarga Axel dan Juan juga menunjukkan kepeduliannya sampai Patra merasa sangat dimanja. Esty, ibu Axel cukup sering datang berkunjung membawakan buah-buahan untuk Patra dan ia begitu antusias dengan kehamilan Patra. "Makan buah baik untuk kehamilan, selain itu nanti kulit bayinya bisa bagus. Ah, Tante ikut senang sekali! Anak-anak Tante belum ada yang menikah, Patra. Tapi Tante sudah merasa seperti akan punya cucu.""Terima kasih, Tante!" "Jangan sungkan, Patra! Kalau kau menginginkan sesuatu, telepon Tante saja! Nanti Tante akan membantu menyiapkannya!" seru Esty antuasias. Bukan hanya Esty, tapi Ruth, ibunya Juan juga ternyata sama antusiasnya. Beberapa kali Ruth datang membawakan makanan samb
Kepercayaan diri Patra melambung setelah berhasil menyempurnakan pernikahan dengan suaminya. Walaupun ia melakukannya setengah sadar di bawah pengaruh obat, tapi keberhasilan membuatnya sangat bahagia. Hubungan keduanya yang sudah mesra pun menjadi makin mesra dan Patra menjadi bersemangat untuk terus mencoba dan mencoba. "Ayo kita lakukan lagi!" seru Patra malam itu. Nero sampai menganga tidak percaya melihat istrinya yang agresif. "Kau yakin, Sayang?""Yakin! Sebentar aku minum obat dulu.""Hei, jangan pakai obat!" "Tapi aku takut tidak bisa, Nero!" "Pelan-pelan, Sayang. Kita akan melakukannya pelan-pelan sampai kau bisa menerimanya secara alami." Nero begitu sabar membimbing Patra. Percobaan pertama, Patra gagal. Percobaan kedua, Patra kembali memakai obat agar bisa memuaskan suaminya. Percobaan ketiga tanpa obat lagi. Mereka terus mencobanya tanpa lelah. Nero terus sabar dan Patra terus menahan dirinya dan mensugesti dirinya. Hingga akhirnya traumanya benar-benar sembuh
"Ah, ini indah sekali, Nero!" Nero mengajak Patra berbulan madu sekaligus mengajak Herdi dan Patrick jalan-jalan keliling dunia. Awalnya, Herdi terus menolak dengan mengatakan ia sudah tidak kuat bepergian, tapi Nero dan Patra memaksanya. Dan di sinilah mereka, berlibur bersama dengan bahagia"Ayo kita foto, Ayah, Patrick!" Patra memeluk Herdi dan Patrick dengan tawa sumringahnya, lalu mereka berfoto bersama. Begitu banyak foto yang mereka ambil dan kenangan itu begitu berharga. "Ah, Ayah sudah tidak kuat jalan! Kalian saja! Jalan berdua saja! Patrick, temani Ayah di sini!" Sekalipun berlibur bersama, tapi sebisa mungkin Herdi dan Patrick memberikan waktu untuk pasangan pengantin baru itu berdua saja. Nero dan Patra pun berjalan bergandengan tangan, sedangkan Patrick menemani Herdi. "Ini namanya bahagia! Ayah bahagia sekali!" "Aku juga, Ayah. Kak Patra akhirnya mendapatkan kebahagiaannya." "Ya, Ayah sangat puas dengan ending ini, puas sekali!" ucap Herdi penuh haru. Patrick
Saat malam pertama pernikahan biasanya diisi dengan hubungan ranjang yang intim, tidak begitu dengan Nero dan Patra. Patra belum siap dan Nero sendiri juga sangat mengerti istrinya. Walaupun Nero sangat menginginkan Patra, tapi mereka punya waktu seumur hidup untuk mencobanya. Trauma tidak akan semudah itu hilang. Sekalipun Patra sudah mencoba terapi dan konsultasi dengan psikolog sebelum menikah, Patra tetap belum siap. "Maafkan aku, Nero!" "Tidak apa, Sayang. Memilikimu bersamaku itu sudah sangat membahagiakan untukku. Kita akan mencobanya pelan-pelan, Sayang. Semua karena aku dan aku janji akan membantumu sembuh." Malam itu, Nero dan Patra berciuman dan berpelukan mesra, menghabiskan malam pertama mereka dengan berbagi cerita, kehangatan pelukan, dan tawa bahagia yang tidak berhenti merekah di wajah keduanya. Beberapa hari setelah pernikahan, akhirnya mereka bisa pulang ke rumah Tante Una, mereka sempat menginap di sana dan berkumpul bersama keluarga Patra.Para anggota kelua