"Bersihkan lantainya dan juga sepatuku! SEKARANG!"
Untuk sesaat, Patra hanya terdiam mendengar perintah tegas Nero, seolah mempertimbangkan haruskah ia menurutinya atau tidak.
Di hatinya, ia terus mengingatkan dirinya kalau ia bukan Patra yang dulu lagi, Patra yang bisa ditindas dan direndahkan.
Walaupun Patra tadi memang menangis, tapi tangisan itu hanyalah ungkapan emosi dan rasa kagetnya mendengar apa yang sudah dilakukan oleh Nero.
Ya, Patra menangis bukan karena ia lemah.
Patra sudah bukan gadis remaja lagi yang begitu naif dan begitu halu membayangkan cinta yang menggebu.
Patra yang sekarang adalah Patra yang sudah sadar hidup itu tidak akan berjalan seindah drama-drama yang sering ia tonton, yang membuatnya menangis semalaman namun terus tersenyum sendiri keesokan harinya.
Karena pada kenyataannya hidup itu kejam. Dalam hidup, selalu akan ada pilihan yang harus dipilih, walaupun pilihannya sama-sama tidak menyenangkan.
Kesadaran itu juga yang membuat Patra sama sekali tidak membantah tuduhan Nero barusan.
Untuk apa? Pembelaan diri Patra hanya akan membuat situasi makin rumit. Haruskah Patra mengatakan kalau ia tidak mengambil uang itu? Haruskah Patra mengatakan kalau ibu Nero menyuruh orang menodai dirinya dengan begitu keji?
Lalu apa yang Patra harapkan dengan semua itu? Apa Patra berharap Nero akan percaya lalu bersimpati padanya?
Tidak! Terlepas dari apa pun kebenarannya, semuanya tidak penting lagi untuk Patra.
Menjelaskan semuanya hanya akan membuat ikatan baru di antara mereka yang mungkin akan kembali berakhir tragis seperti 6 tahun yang lalu.
Dan bukan itu yang Patra inginkan. Patra hanya ingin menghilang selamanya dari hidup Nero dan keluarganya. Seandainya ada tombol delete, bahkan Patra ingin menghapus semuanya tentang Nero dari hidupnya.
Bagi Patra, kisah cinta Nero dan Patra sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi.
Patra menelan salivanya dan mengangguk. Dengan kedua tangannya, ia segera menghapus semua air matanya habis tanpa sisa.
"Baiklah, Pak Nero!" jawab Patra akhirnya setelah terdiam cukup lama.
Patra pun bergegas keluar dari ruangan Nero dan kembali lagi dengan lap dan kain pel.
"Bisakah Anda membuka sepatu? Aku akan membersihkannya dulu." Patra menatap Nero dengan berani seolah barusan tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Dan kali ini Nero yang terdiam, bahkan Nero memicingkan matanya menatap Patra yang sudah berdiri di hadapannya.
Mengapa Patra nampak baik-baik saja dan menjalankan perintahnya begitu saja?
Bukankah tadi Patra sempat menangis? Seharusnya saat ini Patra makin mengamuk, memaki Nero, memukul, berteriak, atau apa pun itu.
Baiklah, bukannya Nero menyukai drama seperti itu, tapi melihat Patra yang terpuruk akan menjadi kesenangan tersendiri bagi Nero.
Tapi mengapa Patra tidak melakukan apapun sekarang?
Nero terus berkutat dengan pikirannya sendiri dan Patra yang tidak mendapat jawaban pun kembali bertanya dengan sopan.
"Maaf, bisakah Anda melepas sepatunya dulu, Pak Nero? Aku harus membersihkannya," ulang Patra.
Dan Nero pun mengedipkan matanya. Ini tidak seperti yang ia bayangkan dan ia tidak menyukainya.
"Aku tidak akan melepas sepatuku! Berjongkoklah dan bersihkan sepatuku seperti ini saja!"
Dengan santai satu tangan Nero berpegangan pada kursi dan ia mengangkat kakinya agar Patra bisa membersihkan sepatunya.
Patra pun melirik sepatu Nero dengan tatapan yang kembali goyah.
Kali ini ia benar-benar direndahkan harus membersihkan sepatu Nero seperti ini, seperti bersimpuh di kaki Nero.
Tapi baiklah! Tidak akan ada drama, tidak boleh ada tangisan, Patra adalah wanita kuat!
Ya, wanita yang sudah melalui begitu banyak hal untuk bertahan hidup sama sekali bukanlah wanita biasa.
"Baiklah, kalau itu yang Anda mau, aku akan membersihkannya." Patra tersenyum singkat, sebelum ia berjongkok di depan kaki Nero.
Dengan cekatan, Patra menahan kaki Nero lalu mengelap sepatu itu sampai kering dan kembali mengkilap.
Patra menurunkan kembali kaki Nero dan membersihkan lantainya dengan begitu cepat agar ia tidak harus berdua lebih lama lagi bersama Nero.
Sedangkan Nero hanya terus menatap wanita yang sedang berjongkok di bawahnya itu.
Tentu saja Nero puas sudah berhasil memberikan pelajaran pertama untuk Patra walaupun semuanya terasa aneh. Mengapa rasa puasnya tidak seperti yang ia bayangkan?
"Sudah, Pak Nero! Aku permisi!" Patra bangkit berdiri dan berpamitan sambil tetap tersenyum singkat.
Tanpa menunggu jawaban Nero, Patra pun langsung melesat keluar dari ruangan, sedangkan Nero hanya bisa memandangi pintu yang tertutup itu seperti orang bodoh.
**"Akkh, lepas!" jerit Patra. Brata tidak tahu siapa yang lewat. Ia hanya mendengar ada yang mendekat dan ia pikir itu anak buahnya. Brata pun sudah bersiap meminta pertolongan namun ia membelalak saat tatapannya bertemu dengan tatapan Patra. "Patra, awas!" teriak Nero. Dan Patra yang tegang pun langsung saja melayangkan tongkat pemukulnya ke wajah Brata dengan asal. Tang!Tongkat itu pun mendarat dengan sempurna ke pipi Bram sampai Bram kembali memekik. "Akkhh!"Rasanya seperti baru saja ditampar oleh raksasa, perih dan sangat keras. Patra gemetar dan ketakutan karena tindakannya sendiri namun ia tidak punya waktu untuk meratapinya. Patra pun segera berlari ke arah Patrick dan Nerisa lalu langsung memukul punggung satu anak buah. Buk bukPatra memukulinya 2x hingga anak buah itu membungkuk kesakitan dan saat anak buah lain melihatnya, dengan asal namun sekuat tenaga, Patra pun mengayunkan tongkatnya. Tang!Lagi-lagi tongkat itu mendarat di pipi seorang anak buah sampai pria it
Zen adalah orang pertama yang menemukan lokasi Patrick dan Nerisa. Zen langsung membunyikan klaksonnya saat melihat Brata di sana. Tin tin tin tin tinNero yang terus berkomunikasi dengan Zen pun mendengarnya dan langsung melesat mengikuti Zen hingga ia juga bisa melihat kerumunan orang di sana. Untuk sesaat, Brata dan semua anak buah menoleh kaget melihat mobil Zen, apalagi saat Zen menghentikan mobilnya dan langsung keluar dengan wajah garangnya. "Serang!" teriak Zen yang langsung saja maju menghajar beberapa anak buah. Satu anak buah Zen sempat menghubungi teman-temannya sebelum ia juga maju bersama satu orang lainnya. Mereka hanya bertiga di mobil Zen sehingga secara jumlah mereka kalah dari anak buah Brata namun kondisi tubuh mereka yang masih fit tentu saja lebih bertenaga dibanding anak buah Brata yang sudah bertarung sejak tadi. Buk buk bukBaku hantam pun tidak terhindarkan lagi sampai para pria yang sedang menjaga Nerisa dan Patrick pun ikut panik. "Sialan! Masukkan m
Cintya akhirnya tiba di rumah di tengah sawah sesuai dengan lokasi yang dikirimkan Brata. Ia pun menatap lekat pada rumah kecil itu dan mendadak ia teringat bahwa tempat ini sepertinya familiar, walaupun Cintya sendiri tidak ingat kapan ia pernah ke sini. Cintya keluar dari mobilnya. Dengan langkah yang tergesa ia berjalan sambil menatap para anak buahnya yang sekarang sudah berbalik mengabdi pada Brata. Para anak buah itu berkumpul di depan rumah itu dan semua perhatian teralih pada Cintya. "Brengsek kalian! Berapa banyak dia bisa membayar kalian, hah? Brata itu hanya pria miskin yang brengsek tanpa aku!" seru Cintya saat ia sudah menatap salah satu mantan anak buahnya. "Kami hanya menjalankan perintah dari orang yang selalu bersikap baik pada kami, Bu Cintya. Pak Brata bersikap baik tapi kau tidak," jawab pria itu dengan berani. "Kurang ajar kau!" Cintya mengangkat tangannya untuk menampar pria itu namun belum sempat tangan itu menyentuh pipi pria itu, tangan Cintya sudah ditah
Cintya menyetir mobilnya sendiri menuju ke alamat yang diberikan oleh Brata dengan jantung yang sudah berdebar kencang. Sementara Juan dan Axel pun mengikuti di belakang bersama satu mobil anak buah lainnya dengan tetap memperhatikan jarak aman agar kalau ada yang mengawasi, mereka tidak ketahuan. Saat akan keluar rumah tadi, para anak buah Cintya langsung mengenali teman mereka yang mengabdi pada Brata dan langsung mengeroyok mereka sehingga tidak ada yang bisa memberikan laporan pada Brata tentang Cintya. Sedangkan beberapa polisi pun juga mengikuti mobil Cintya dari jarak yang tetap aman. "Apa menurutmu Tante Cintya itu cukup stabil untuk menyetir sendiri? Aku khawatir dia akan berhalusinasi dan membuatnya tertabrak sendiri!" seru Juan yang masih menyetir. "Entahlah, Kak! Tapi sejak tadi laju mobilnya cukup stabil walaupun kecepatannya di atas rata-rata!""Justru itulah yang aku takutkan! Dia akan menabrak dan mati sendiri! Bukannya sampai ke sawah tapi malah sampai ke alam
Semua orang masih terdiam menatap Cintya dan mendengar suara tegasnya, namun tidak ada satu pun yang berani membantah lagi. Ekspresi wajah Cintya sudah terlihat begitu yakin dan sorot mata itu pun sudah begitu tajam. "Apa lagi yang kalian tunggu? Semakin kita terlambat, entah apa yang akan dilakukan Brata brengsek itu pada Nerisa!" seru Cintya yang memang hanya peduli pada Nerisa. Bahkan Cintya pun sudah tidak peduli lagi pada keberadaan Patra, wanita yang sangat ia benci. Nero yang mendengarnya hanya melirik Axel dan Juan sebelum ia mengangguk. Baru saja mereka akan melangkah, namun ponsel Cintya sudah berbunyi sampai Cintya pun mengernyit. Dengan cepat Cintya mengeluarkan ponselnya dan ia langsung menegang melihat nama Brata di sana. Brata sendiri juga masih ada di mobil menyusul para anak buahnya mengejar Nerisa. Anak buah yang ia utus untuk menangkap Cintya mengalami kesulitan mendekati rumah wanita itu yang masih dijaga polisi hingga akhirnya Brata memutuskan untuk menele
Untuk sesaat, suasana hening karena Nero dan Patra masih terlalu syok mendengar suara Nerisa.Sampai Nerisa yang merasa tidak mendapat jawaban pun berteriak lagi. "Patra, kau mendengarku kan? Kami sedang melarikan diri dengan motor dan ada 2 mobil yang mengejar kami! Tolong kami! Beritahukan Nero untuk menolong kami!" teriak Nerisa lagi. Seketika Nero dan Patra pun langsung panik. Nero langsung menyambar ponsel Patra dan berbicara dengan Nerisa. "Nerisa! Nerisa! Kau benar Nerisa kan? Kau benar Nerisa kan?""Nero! Kau Nero kan? Nero ...." Nerisa langsung menangis senang dan haru. "Aku Nerisa! Aku dijebak oleh Brata dan disekap di hotel murahan! Dia mencoba melecehkanku tapi aku menusuk alat vitalnya dengan pecahan kaca! Aku tidak tahu bagaimana keadaannya tapi sekarang 2 mobil anak buahnya sedang mengejar kami dan terus berusaha menabrak kami!""Di mana kau sekarang? Katakan di mana posisimu? Zen!" Nero makin panik dan langsung berteriak memanggil Zen. "Aku ... Patrick, di mana ki