"Akhh!" Patra masih memekik kaget saat mendadak Nero menjambak rambutnya.
"Mengapa kau begitu takut melihatku, Patra?"
Jantung Patra berdebar begitu kencang hingga tubuhnya gemetar saat akhirnya tatapannya bertemu dengan tatapan Nero.
Ya, itu Nero.
Walaupun wajah tampan itu sudah terlihat makin matang dan dewasa.
Walaupun suara itu pun sudah berubah menjadi lebih berat dan dalam.
Namun, Patra tidak akan mungkin melupakan pria yang sudah merasuk ke hatinya begitu dalam sekaligus sudah menghancurkan hidupnya sehancur-hancurnya.
Pria itu ... alasan dari semua nasib buruk dalam hidup Patra dan pria yang paling tidak ingin ia temui lagi seumur hidupnya.
Patra menatap Nero dengan tatapan yang goyah. "K-kau ...," ucap Patra lirih dan menggantung.
Dan kegugupan Patra pun membuat Nero tersenyum begitu puas.
"Ya, aku! Mengapa mendadak kau gemetar? Seperti melihat hantu saja! Kau pasti tidak menyangka akan bertemu lagi denganku kan? Tapi ya, kita bertemu lagi, Patra Aurora!"
Senyuman sinis itu pun makin melebar. Nero melepaskan jambakannya pada rambut Patra begitu saja dengan kasar, sampai tubuh Patra sedikit terhuyung.
"Kita bertemu lagi setelah sekian lama!" tegas Nero lagi. "Hmm, coba kuhitung sudah berapa lama!" Nero melirik singkat ke atas seolah menghitung, sebelum akhirnya ia kembali menatap Patra. "Kurasa sudah sekitar 6 tahun dan entah kau senang atau tidak bertemu denganku lagi, Patra!"
Nero mundur selangkah sambil menyeringai dan meneguk minumannya, namun tatapannya tidak pernah lepas sedikit pun dari Patra.
Sesak napas ....
Patra mendadak mengalami sesak napas. Ini adalah situasi yang benar-benar tidak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya, bertemu lagi dengan Nero dalam kondisi seperti ini, sebagai pimpinan perusahaan dan cleaning service.
Hati Patra rasanya teriris saat ini dan ia tidak tahu harus berkata apa.
Nero yang melihat ekspresi Patra pun tersenyum miring, ekspresi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, tapi ia begitu menikmatinya.
Nero memutar gelas wine di tangannya sambil memicingkan mata menatap Patra.
"Jadi bagaimana kabarmu? Haruskah kita berbasa-basi dengan saling menanyakan kabar? Toh, kurasa kau juga tidak peduli padaku!"
"Kau bahkan tidak peduli kalau aku sempat lumpuh setelah kecelakaan waktu itu. Jangan bilang kau tidak tahu aku mengalami kecelakaan!" Nero menaikkan alisnya.
Patra yang mendengarnya pun membelalak. Nero lumpuh? Patra tidak pernah tahu tentang Nero yang lumpuh setelah kecelakaan karena memang sejak memutuskan untuk pergi, tidak pernah sekalipun ia mencari tahu lagi tentang Nero.
Hatinya sudah penuh dengan kesedihan dan keterpurukan sampai tidak ada tempat lagi untuk memikirkan hal lain. Lagipula saat itu Patra juga sudah memutuskan untuk menghapus Nero dari hidup dan ingatannya.
"Selama 2 tahun setelah kecelakaan itu, hidupku kuhabiskan di atas kursi roda. Kau tidak pernah tahu betapa kerasnya aku mengikuti terapi dan memaksa diriku untuk berjalan lagi," ucap Nero dengan penuh tekanan, namun ada luka di setiap ucapannya.
Seketika mata Patra pun berkaca-kaca. Menyakitkan sekali mendengar semua ini.
Patra tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang, bersyukur karena Nero sudah baik-baik saja atau malah marah karena hidup Patra sendiri juga hancur karena pria itu.
"Mengapa ekspresimu berubah menjadi begitu sedih, Patra? Apa kau sedih karena aku begitu menderita dulu? Oh, tidak perlu berpura-pura bersimpati padaku karena aku baik-baik saja sekarang!"
Nero merentangkan kedua tangannya seolah menunjukkan pada Patra kalau ia baik-baik saja. Ekspresi Nero yang tadi begitu emosional pun sudah kembali menjadi seringaian mencemooh.
"Lihat! Aku sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal! Aku sangat sehat sekarang! Kau tahu kan aku bukan pria yang mudah menyerah! Walaupun aku akui aku sempat terpuruk dan mengalami titik terendah dalam hidupku ...."
"Namun aku bangkit, Patra! Aku bangkit dan melanjutkan hidupku yang ternyata jauh lebih berharga daripada hanya sekedar meratapi wanita sepertimu!"
Patra menelan saliva. "Wanita ... sepertiku?" lirih Patra lagi dengan hati yang makin perih.
"Ya, wanita sepertimu! Wanita yang tidak punya hati! Dan untuk wanita sepertimu, aku sudah menyiapkan kejutan besar untuk membalas semua sakit hatiku!"
Patra kembali membelalak dengan jantung yang masih memacu tidak karuan karena ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Nero.
"Apa ... apa maksudmu?"
Nero tetap menyeringai sambil mulai melangkah mendekati Patra. "Hmm, baiklah, sepertinya harus kujelaskan padamu karena aku bukan orang yang suka berpura-pura sepertimu, Patra!"
Nero melangkah perlahan mengelilingi Patra sambil terus memutar gelas winenya, sesekali merentangkan tangannya dengan gaya yang dramatis, seolah ia sedang memimpin sebuah rapat besar.
"Setelah mengambil alih perusahaan, aku mencarimu. Singkat cerita ... kau tahu mengapa kau tidak pernah beruntung setiap melamar kerja di perusahaan lain, hmm?"
Patra mengernyit dan makin tidak mengerti dengan ucapan Nero. "Aku ... tidak mengerti. Apa hubungannya semua itu ... denganmu?"
"Ada! Tentu saja semuanya ada hubungannya denganku karena akulah yang sudah melakukannya. Menjegal karirmu sampai tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimamu bekerja."
"Dan di sinilah akhirnya, sekalipun kau sudah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, kau tetap berakhir denganku!" imbuh Nero.
Seketika Patra menahan napasnya dan membelalak begitu lebar mendengar pengakuan itu.
"Pasti awalnya kau berpikir bekerja denganku adalah sebuah kebetulan kan? Tapi kutegaskan padamu kalau tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini!"
Nero menghentikan langkahnya tepat di belakang Patra lalu ia mendekatkan wajahnya sampai ke samping telinga Patra dan berbisik di sana.
"Kebetulan itu aku yang menciptakannya."
**"Aku mencintaimu, Patra! Aku berjanji akan menikahimu! Percayalah padaku! Tunggu aku! Tunggu aku! Aku akan datang! Aku akan datang, Patra!"Nero terus menatap kekasihnya dengan penuh cinta dan Patra pun tersenyum menatapnya balik. Perasaan mereka pun penuh cinta dan mereka saling melempar senyum. Namun entah apa yang terjadi saat mendadak scene berubah menjadi malam yang gelap gulita di sebuah taman yang sepi. Beberapa orang pria menangkap Patra dan terus menariknya pergi. "Patra! Lepaskan dia!" teriak Nero. "Nero ...." Patra terus menatap Nero meminta pertolongan. "Patra, jangan pergi! Jangan bawa Patra pergi!""Nero ...."Nero terus mengernyit dalam tidurnya saat mimpi-mimpi itu terus mengusiknya. Nero pun menggelengkan kepalanya dengan gelisah. "Patra ... Patra ...," lirih Nero dalam tidurnya. Sampai seketika Nero pun membuka matanya kaget dan menarik napas yang sangat panjang seolah ia baru saja tenggelam di lautan yang dalam. "Patra!" teriak Nero kencang dan akhirnya ia
"Jadi begitu saja ya! Nero juga sudah setuju untuk menikah tapi karena ini mendadak, kita akan mengadakan acara sederhana saja, seperti yang kubilang resepsinya belakangan, bagaimana?" Cintya tersenyum begitu senang saat pagi itu bertamu ke rumah keluarga Kania. Robert dan Esty yang mendengarnya hanya saling melirik dengan perasaan yang masih tidak jelas. Semua yang Axel sampaikan masih membekas dalam benak mereka dan sebenarnya mereka pun mulai ragu untuk melanjutkan pernikahan ini. Apalagi Axel belum pulang sejak semalam dan ponselnya tidak bisa dihubungi. "Hmm, begini, Bu Cintya ... sebenarnya kami masih agak tidak tenang dengan penolakan Nero waktu itu jadi kami rasa ...." Belum sempat Robert menyelesaikan ucapannya, namun Kania sudah menyelanya dengan lantang. "Aku setuju! Aku setuju menikah dengan Nero dua hari lagi! Aku akan langsung pergi ke butik kenalanku, dia bisa menyiapkan gaun yang indah untukku dalam waktu cepat. Tidak masalah, Tante. Tolong atur semuanya dan aku
"Ibu! Keluarkan aku, Ibu! Keluarkan aku!"Buk buk bukNero terus memukul pintu kamarnya dan ia pun terus mencoba menekan gagang pintunya tapi percuma saja karena pintunya terkunci sekarang. "Sial! Ibu tahu tanganku terluka kan? Seluruh tubuhku juga penuh luka! Ibu begitu tega mengurungku dalam keadaan seperti ini? Bagaimana kalau aku mati, hah?" teriak Nero lagi tapi tetap tidak ada suara dari luar. "Sial!" umpat Nero lagi sambil meninju pintu kamarnya sampai tangannya tergores dan lecet. Nero pun memejamkan mata frustasi dan terus mengumpat. "Akkhh, Patra, semoga saja kau baik-baik saja bersama Axel! Kau sama sekali tidak boleh tertangkap, Patra! Kau tidak boleh tertangkap!"Nero mengembuskan napas yang sangat panjang dan berat dengan air mata yang kembali menetes. Perlahan Nero pun menyandarkan punggungnya ke pintu dan ia duduk di lantai dengan begitu putus asa. "Bodohnya kau, Nero! Bodohnya kau! Selama ini kau benar-benar seorang pecundang! Mengapa hidupmu seperti ini? Mengap
"Hei, benar, ini mobil Nero! Tapi ke mana orangnya?" Juan bertanya dan Axel pun menggeleng. Juan melirik ke dalam minimarket dan akhirnya bertanya pada kasir yang untungnya mengingat Nero. "Oh, dia membeli air mineral, lalu jalan kaki ke arah sana.""Oh, ke sana?""Itu arah rumah Patra, Kak. Benar kan dia pasti pergi mencari Patra!" sahut Axel tiba-tiba. "Ck, ponselnya tidak bisa dihubungi, ayo kita susul saja!" Juan memencet ponselnya sambil berterima kasih pada kasir dan langsung naik ke mobil. Axel pun melanjukan mobilnya ke rumah Patra. Axel memang berjanji untuk menemui Patra malam ini dan ketika akan pergi dari apartemen Juan tadi, Juan meminta ikut sekalian untuk mencari Nero karena Juan tidak bisa menghubungi Nero sejak tadi."Sudah ada nada suaranya tapi dia tidak mengangkat teleponnya," gumam Juan sambil masih berkutat dengan ponselnya. Namun, Axel sudah tidak menanggapinya. Axel membelokkan mobilnya ke gang rumah Patra dan ia langsung mengernyit melihat dua mobil terp
Jantung Patra makin meronta tidak karuan saat mendengar ucapan Cintya, apalagi tidak lama kemudian, Brata langsung memegangi kedua lengannya dari belakang. "Selesaikan dia segera, Brata! Lalu bawa dia bersama kita!""Tentu, Bu! Ayo, cantik!" Brata memeluk lengan Patra dan menyeretnya ke belakang. Patra pun meronta sambil berteriak. "Aakkhh, tolong! Lepaskan aku! Lepaskan aku!"Tubuh Patra gemetar hebat. Air matanya mengalir deras dan sekelibat bayangan akan pelecehan yang ia alami dulu pun sudah berputar di otaknya, perlahan traumanya menyerang, membuatnya lemas dan tidak kuat lagi meronta. Bahkan Patra pun sudah memejamkan matanya tidak sanggup lagi menatap apa pun. Patra sudah putus asa karena ia tahu tenaganya tidak akan cukup untuk melawan semua orang itu, bahkan ia pun sudah tidak mampu mengendalikan tubuhnya saat ini.Tapi dalam hatinya sungguh Patra masih berharap keajaiban datang padanya kali ini sehingga ia tidak harus mengalami hal menyakitkan itu lagi. Dan sedetik kemu
Brata melajukan mobilnya ke rumah Patra malam itu. Setelah gagal mengejar Nero, Brata sempat dimarahi habis-habisan oleh Cintya dan Brata pun makin giat mencari tahu semua, termasuk mengikuti Axel. Hingga akhirnya ia tahu tentang Patra. Cintya pun mendadak berencana menjadikan Patra umpan sampai Nero bersedia menikah dengan Kania. Dan di sinilah ia berada, menatap punggung Patra dari mobilnya sambil menyeringai. "Wanita itu sudah sedikit berubah. Tidak terlalu kampungan seperti dulu. Tapi itik buruk rupa selamanya akan tetap menjadi itik buruk rupa!"Patra sendiri yang sudah bersiap membuka pintu rumahnya langsung mengernyit menatap mobil yang berbeda dengan mobil Nero maupun Axel, apalagi di belakang mobil itu ada mobil lain yang juga berhenti, seolah memang mengikuti mobil itu. Dan semua energi Patra pun seolah tersedot saat melihat sosok bengis itu bersama majikannya. Cintya, ibunya Nero. Dan Brata, anjing kesayangannya. Rasanya atmosfer di halaman rumah Patra itu pun mend
Lagi dan lagi, Nero harus berkelahi dengan para anak buah Brata dan ibunya yang menghadangnya. Nero terus mengumpat kesal namun ia pun terpaksa meladeni mereka semua sementara Cintya melenggang begitu saja masuk ke kamarnya. "Kali ini jangan sampai dia lolos, Brata!" perintah Cintya. Brata mengangguk seperti biasanya dan memanggil makin banyak anak buah ke sana.Baku hantam pun tidak dapat terelakkan lagi. Keributan terjadi di dalam rumah dan meja kursi pun berserakan tidak karuan. Para pelayan hanya bisa memekik melihatnya. Apalagi saat Nero menyambar pisau roti di meja makan dan mencoba menakuti para anak buah dengan pisau itu. Dan lagi-lagi, Nero berhasil lolos walau sedikit babak belur karena ia juga terkena hantaman dan tendangan beberapa kali. Nero langsung melempar pisaunya begitu saja sambil berlari kencang menuju mobilnya dan langsung saja melajukannya keluar dari pagar rumah sebelum pagar itu ditutup. Beberapa anak buah sempat menghadang di depan mobil Nero sama seper
"Ayo makanlah! Setelah makan, kita akan pergi mengunjungi Tante Una ya," kata Patra pagi itu. "Eh, mengunjungi Tante Una? Mengapa begitu mendadak?" tanya Patrick sambil mengambil makanannya. "Hmm, tidak mendadak. Aku memang sudah berencana sejak beberapa hari yang lalu tapi karena Ayah sakit jadi aku mengurungkan niatku," dusta Patra. Tentu saja Patra tidak akan mengatakan tentang Cintya yang ada di kota yang sama dengan mereka. Patra tidak mau membuat ayahnya panik karena itu, Patra berniat mengamankan dulu ayah dan adiknya. "Ah, begitu. Tapi Ayah kan juga baru sembuh, apa tidak apa melakukan perjalanan jauh?""Tidak apa. Ayah bisa tidur di jalan nanti.""Eh, kau yakin tidak apa, Kak?""Hmm, yakin. Sudah, makan saja! Setelah makan, kita berkemas ya! Kau cuti kuliah dulu beberapa hari, oke?""Aku sedang libur. Hanya perlu cuti bekerja saja. Tapi bisakah perginya nanti setelah aku pulang kerja saja?""Err, tidak bisa, Patrick. Hmm, maksudku ... karena perjalanan jauh jadi berangka
"Mengapa kau harus bersikap seperti itu, Axel? Ada apa denganmu?" Robert berteriak penuh amarah sedangkan Esty hanya bisa memeluk Kania karena ketakutan akan amarah suaminya itu. "Tante Cintya itu bukan orang baik, Ayah! Aku hanya sedang berusaha menghindarkan kita dari orang tua kejam seperti Tante Cintya!""Apa maksudmu, Axel? Selama ini Bu Cintya selalu baik pada kita, bahkan dia juga terkenal sebagai pengusaha yang sangat kompeten dan berwibawa! Siapa yang tidak kenal Cintya Hadiwijaya di dunia bisnis?""Memang dia sangat mencintai bisnisnya, Ayah! Hanya bisnis yang menjadi nomor satu di dalam hidupnya sampai semuanya boleh dikorbankan tapi tidak dengan bisnisnya! Bahkan pernikahan Kak Kania dan Kak Nero juga dipaksakan demi bisnisnya kan?""Axel, kau ini bicara apa? Kasihan Kania!" bentak Esty kesal. "Semua yang kukatakan adalah kebenaran, bahkan semua orang harus mengetahuinya! Tante Cintya itu adalah wanita jahat yang bisa menghalalkan segala cara demi keinginannya! Bukankah