Juan dan Nero masih mengobrol saat Nero melihat Kania yang masih berdiri begitu lama dengan posisi membungkuk ke dalam mobil. Nero pun mengernyit dan mendekati Kania sambil mencoba melirik apa yang Kania lakukan. "Kania?" panggil Nero akhirnya. Kania yang tersentak kaget pun hanya bisa mengerjapkan matanya dan menyimpan kembali sepatu yang ia lihat tadi lalu memasang senyuman manisnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Ah, iya, Sayang?""Apa berat? Sini kubantu!" Nero mengambil beberapa berkas yang sudah ditumpuk oleh Kania dan siap diangkat. "Terima kasih, Sayang!" seru Kania sambil masih tersenyum menatap Nero.Nero sendiri pun masih mengangkat berkasnya dan ia terdiam sejenak menatap Patra yang masih tertawa senang bersama Selly dan Axel. Nero mengembuskan napas panjang dan langsung saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum ia melangkah mengikuti Juan. Sementara Kania ikut terdiam dan langsung menoleh ke arah tatapan Nero tadi.Kania pun kehilangan senyumnya sama sekali
"Terima kasih banyak, Pak Barry.""Sama-sama, Bu Kania. Aku menantikan presentasinya besok.""Tentu, Pak Barry. Terima kasih."Kania dan Axel pun tersenyum ramah sebelum mereka berpisah dengan Pak Barry dan setelah itu, Kania pun kembali memasang ekspresi datarnya sampai Axel yang melihatnya pun mengernyit. "Hei, mengapa kau begitu murung, Kak? Bukankah seharusnya kau senang tanggapan dari Pak Barry begitu baik, kans kita cukup besar untuk mendapatkan hatinya di proyek ini! Selain itu kau juga bisa berlibur di tempat yang indah ini bersama Kak Nero kan?"Kania yang mendengarnya hanya terdiam dan mengangguk. "Tentu saja aku senang, Axel. Banyak hal yang seharusnya membuat aku senang.""Hmm, lalu apa yang membuatmu cemberut sekarang?""Tidak, aku tidak cemberut. Benarkah aku cemberut?""Astaga, Kak Kania! Kau pikir aku ini sungguhan karyawanmu, hah? Aku ini adikmu, tentu saja aku mengenalmu. Kakakku adalah wanita yang sangat ramah, murah senyum, dan selalu positif. Tidak seperti raut w
"Baiklah, aku bersedia berinvestasi untuk proyek ini!" kata Pak Barry siang itu. Semua orang sudah begitu tegang sejak pagi dan Patra pun menampilkan presentasi terbaiknya di hadapan Pak Barry di ruang kerja pria itu. Patra menjelaskan semuanya dengan sangat baik sampai Axel dan Juan pun tersenyum puas. Axel sendiri ikut membantu menjelaskan bagiannya dan singkat kata, semuanya berjalan begitu lancar dan sukses. Patra pun hampir saja melonjak kegirangan mendengar ucapan Pak Barry. "Anda ... Anda serius, Pak Barry?" tanya Patra tidak yakin. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" balas Pak Barry santai seolah memutuskan menggelontorkan uang begitu banyak sama sekali tidak ada artinya untuk pria itu. "Ah, tidak ...." Patra begitu sungkan. "Selama kau yang memimpin proyeknya, aku setuju!""Eh? Aku ... tentu aku yang memimpin proyek ini!""Baiklah, aku setuju! Aku menunggu dokumen legalnya untuk kutandatangani dan aku akan segera mengirim uangnya untuk berinvestasi di proyek ini." Se
Brak!Nero menutup pintu kamarnya dengan begitu kesal. Tanpa mempedulikan Kania, Nero pun terus berjalan mondar mandir sambil mengembuskan napas panjang dan hati Kania pun makin sakit melihatnya. "Ada apa, Nero?" Kania berhasil bertanya dengan suara yang sudah bergetar. "Apa yang ... membuatmu sampai semarah ini?""Tidak ada, Kania! Aku hanya sedang kesal! Tidurlah duluan!" Nero mengedikkan kepalanya ke arah ranjang. Namun, Kania hanya melirik ranjangnya lalu tertawa pelan menatap Nero. "Ranjang itu sama sekali tidak hangat untukku, Nero. Kita tidur satu kamar tapi aku merasa seperti sedang tidur sendiri."Nero langsung terdiam mendengarnya. Ia pun menatap Kania dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Kania? Kemarin malam aku memang baru kembali ke kamar tengah malam karena itu, aku langsung tidur!""Kau tahu bukan itu maksudku, Nero!""Tidak! Aku tidak mengerti maksudmu, Kania! Apa yang sebenarnya kau bicarakan?"Kania menelan salivanya dan memaksakan senyumnya. "Selama tiga
"Tinggalkan Nero atau ayahmu akan membusuk di penjara!" Seorang wanita bengis berkata dengan pandangan yang tajam. Dan wanita itu adalah ibu dari Nero, kekasih Patra. Patra pun terus menggeleng dan berlutut di depan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. "Bu, tolong jangan lakukan ini pada ayahku!" "Ayahmu itu hanya supir rendahan yang sudah berani membawa lari uang perusahaan yang begitu banyak! Sudah untung aku masih mau membebaskannya!""Tapi, Bu ....""Tapi apa lagi? Aku sudah berbaik hati memberimu pilihan! Kalau mau ayahmu bebas, maka tinggalkan Nero! Kalau kau masih tidak mau meninggalkan Nero maka sekarang juga aku mau semua uangku kembali!"Patra tidak pernah menyangka ia akan dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit. Ia tidak bisa memilih. Kebebasan ayahnya, atau hubungannya dengan Nero. Keduanya sama pentingnya untuk Patra."Mengapa kau diam? Tidak bisa memilih?" bentak ibu Nero lagi. "Kalau begitu kuanggap kau bisa mengembalikan uang itu! Setelah ini, tidak
"A-apa maksud Ibu? Patra tidak mungkin pergi, dia tidak mungkin meninggalkan aku!" Nero menolak mentah-mentah perkataan ibunya.Tidak mungkin Patra pergi begitu saja tanpa alasan.Nero tahu wanita itu sangat mencintainya. Selama ini mereka sudah berjuang keras untuk mendapatkan restu sang ibu. Bahkan untuk bertemu pun, mereka harus bertemu secara diam-diam."Aku mau pergi mencari Patra!" Nero berniat menyibak selimut besarnya, tapi untuk bergerak pun ia tidak punya tenaga.Semua orang menahan tubuhnya, tetapi suatu yang aneh terjadi."Mengapa aku tidak bisa bergerak?" Semua anggota tubuh Nero bisa ia rasakan, kecuali kakinya. "Ada apa dengan kakiku? Mengapa kedua kakiku tidak bisa digerakkan?" Wajah Nero mengerut dengan raut kepanikan.Ia bertanya-tanya pada orang-orang yang ada di kamar, mencari jawaban.Ibu Nero hanya bisa terdiam dengan rahang mengeras dan tidak menanggapi Nero lagi hingga tidak lama kemudian, dokter pun menjelaskan kondisi Nero.Mayat hidup.Mungkin dua kata itu a
Enam tahun kemudian.Hari ini mungkin adalah hari terbaik bagi Patra karena akhirnya ia mulai bekerja juga. Dari puluhan lamaran kerja yang ia sebar, ada 18 perusahaan yang memanggilnya interview, tapi semuanya gagal dan Patra ditolak. Perusahaan ini adalah perusahaan ke-19 tempat ia diinterview dan akhirnya ia diterima. Patra pun berdiri memandang gedung bertingkat di hadapannya itu dengan takjub. Akhirnya, impiannya untuk bekerja di perusahaan besar pun terwujud. Beberapa tahun terakhir adalah tahun-tahun yang sangat berat bagi Patra. Berjuang menyembuhkan diri dari depresi, lalu mengejar beasiswa dan menyelesaikan kuliahnya sebagai lulusan terbaik, tapi hanya bekerja sebagai pegawai toko dengan gaji di bawah UMR, beban kerja berat, dan tanggung jawab yang tidak kunjung berkurang. Namun, semua itu belum seberapa dibandingkan luka enam tahun lalu, kenangan yang selalu menghantuinya.Nero Hadiwijaya.Hanya dengan mengingat namanya, tubuh Patra menegang. Rasa trauma itu seolah mamp
"Akhh!" Patra masih memekik kaget saat mendadak Nero menjambak rambutnya. "Mengapa kau begitu takut melihatku, Patra?"Jantung Patra berdebar begitu kencang hingga tubuhnya gemetar saat akhirnya tatapannya bertemu dengan tatapan Nero. Ya, itu Nero. Walaupun wajah tampan itu sudah terlihat makin matang dan dewasa.Walaupun suara itu pun sudah berubah menjadi lebih berat dan dalam.Namun, Patra tidak akan mungkin melupakan pria yang sudah merasuk ke hatinya begitu dalam sekaligus sudah menghancurkan hidupnya sehancur-hancurnya.Pria itu ... alasan dari semua nasib buruk dalam hidup Patra dan pria yang paling tidak ingin ia temui lagi seumur hidupnya. Patra menatap Nero dengan tatapan yang goyah. "K-kau ...," ucap Patra lirih dan menggantung.Dan kegugupan Patra pun membuat Nero tersenyum begitu puas. "Ya, aku! Mengapa mendadak kau gemetar? Seperti melihat hantu saja! Kau pasti tidak menyangka akan bertemu lagi denganku kan? Tapi ya, kita bertemu lagi, Patra Aurora!" Senyuman sinis
Brak!Nero menutup pintu kamarnya dengan begitu kesal. Tanpa mempedulikan Kania, Nero pun terus berjalan mondar mandir sambil mengembuskan napas panjang dan hati Kania pun makin sakit melihatnya. "Ada apa, Nero?" Kania berhasil bertanya dengan suara yang sudah bergetar. "Apa yang ... membuatmu sampai semarah ini?""Tidak ada, Kania! Aku hanya sedang kesal! Tidurlah duluan!" Nero mengedikkan kepalanya ke arah ranjang. Namun, Kania hanya melirik ranjangnya lalu tertawa pelan menatap Nero. "Ranjang itu sama sekali tidak hangat untukku, Nero. Kita tidur satu kamar tapi aku merasa seperti sedang tidur sendiri."Nero langsung terdiam mendengarnya. Ia pun menatap Kania dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Kania? Kemarin malam aku memang baru kembali ke kamar tengah malam karena itu, aku langsung tidur!""Kau tahu bukan itu maksudku, Nero!""Tidak! Aku tidak mengerti maksudmu, Kania! Apa yang sebenarnya kau bicarakan?"Kania menelan salivanya dan memaksakan senyumnya. "Selama tiga
"Baiklah, aku bersedia berinvestasi untuk proyek ini!" kata Pak Barry siang itu. Semua orang sudah begitu tegang sejak pagi dan Patra pun menampilkan presentasi terbaiknya di hadapan Pak Barry di ruang kerja pria itu. Patra menjelaskan semuanya dengan sangat baik sampai Axel dan Juan pun tersenyum puas. Axel sendiri ikut membantu menjelaskan bagiannya dan singkat kata, semuanya berjalan begitu lancar dan sukses. Patra pun hampir saja melonjak kegirangan mendengar ucapan Pak Barry. "Anda ... Anda serius, Pak Barry?" tanya Patra tidak yakin. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" balas Pak Barry santai seolah memutuskan menggelontorkan uang begitu banyak sama sekali tidak ada artinya untuk pria itu. "Ah, tidak ...." Patra begitu sungkan. "Selama kau yang memimpin proyeknya, aku setuju!""Eh? Aku ... tentu aku yang memimpin proyek ini!""Baiklah, aku setuju! Aku menunggu dokumen legalnya untuk kutandatangani dan aku akan segera mengirim uangnya untuk berinvestasi di proyek ini." Se
"Terima kasih banyak, Pak Barry.""Sama-sama, Bu Kania. Aku menantikan presentasinya besok.""Tentu, Pak Barry. Terima kasih."Kania dan Axel pun tersenyum ramah sebelum mereka berpisah dengan Pak Barry dan setelah itu, Kania pun kembali memasang ekspresi datarnya sampai Axel yang melihatnya pun mengernyit. "Hei, mengapa kau begitu murung, Kak? Bukankah seharusnya kau senang tanggapan dari Pak Barry begitu baik, kans kita cukup besar untuk mendapatkan hatinya di proyek ini! Selain itu kau juga bisa berlibur di tempat yang indah ini bersama Kak Nero kan?"Kania yang mendengarnya hanya terdiam dan mengangguk. "Tentu saja aku senang, Axel. Banyak hal yang seharusnya membuat aku senang.""Hmm, lalu apa yang membuatmu cemberut sekarang?""Tidak, aku tidak cemberut. Benarkah aku cemberut?""Astaga, Kak Kania! Kau pikir aku ini sungguhan karyawanmu, hah? Aku ini adikmu, tentu saja aku mengenalmu. Kakakku adalah wanita yang sangat ramah, murah senyum, dan selalu positif. Tidak seperti raut w
Juan dan Nero masih mengobrol saat Nero melihat Kania yang masih berdiri begitu lama dengan posisi membungkuk ke dalam mobil. Nero pun mengernyit dan mendekati Kania sambil mencoba melirik apa yang Kania lakukan. "Kania?" panggil Nero akhirnya. Kania yang tersentak kaget pun hanya bisa mengerjapkan matanya dan menyimpan kembali sepatu yang ia lihat tadi lalu memasang senyuman manisnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Ah, iya, Sayang?""Apa berat? Sini kubantu!" Nero mengambil beberapa berkas yang sudah ditumpuk oleh Kania dan siap diangkat. "Terima kasih, Sayang!" seru Kania sambil masih tersenyum menatap Nero.Nero sendiri pun masih mengangkat berkasnya dan ia terdiam sejenak menatap Patra yang masih tertawa senang bersama Selly dan Axel. Nero mengembuskan napas panjang dan langsung saja mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebelum ia melangkah mengikuti Juan. Sementara Kania ikut terdiam dan langsung menoleh ke arah tatapan Nero tadi.Kania pun kehilangan senyumnya sama sekali
Axel menghentikan mobilnya di parkiran kantor pagi itu. Ia baru saja menjemput Patra dan mereka sudah sangat terlambat pagi itu. Patra pun sudah siap berlari, tapi Axel mendadak mengulurkan tangannya ke arah Patra sampai Patra mengernyit bingung. "Apa? Kita sudah terlambat!""Aku tahu!" Axel mengedikkan kepalanya ke arah uluran tangannya. "Berlari bersama akan lebih cepat!"Patra pun terdiam sejenak dan bermaksud menolak, tapi belum sempat penolakan itu keluar dari mulutnya, Axel sudah menyambar tangan Patra dan menggenggamnya erat. Patra sempat tersentak kaget, tapi ia tidak sempat protes lagi karena Axel sudah mengajaknya berlari begitu cepat. "Akkhh, Axel!"Namun, Axel hanya tertawa begitu senang dan Patra pun akhirnya ikut tertawa senang. Menyenangkan sekali berlarian seperti anak kecil dari parkiran yang begitu luas sampai ke lobby perusahaan. Mereka pun terus tertawa bersama sambil sesekali Axel menoleh menatap Patra. Sedangkan Nero yang melihatnya dari balkon tentu saja l
"Astaga, Axel! Aku benar-benar tidak menyangka kau begitu gentle!" sahut Kania tiba-tiba. "Kau baru mengenalnya sebentar tapi kau sudah begitu yakin padanya.""Haha, aku sudah sangat yakin dengan perasaanku, Kak. Semakin diyakinkan lagi, yang ada malah aku semakin menyukainya. Bahkan aku tidak tahan berjauhan dengannya. Aku benar-benar seperti orang bodoh saat ada di dekatnya.""Wah wah, aku yakin kali ini Axel serius. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya." Kania melirik Nero dan Juan yang sudah mematung tanpa ekspresi. Kania dan Axel pun mendadak heboh sendiri menceritakan tentang Patra, tapi mendadak Nero berkomentar. "Kapan kau mau menyatakan perasaanmu, Axel? Di villa nanti? Kau tidak bisa melakukannya, Axel!" geram Nero dengan nada meninggi. "Momennya tidak pas. Kalau kau ditolak, kau akan down dan tidak bisa bekerja lagi! Kau mau mempertaruhkan nama perusahaan hanya karena ungkapan cinta, hah?" "Jangan kekanakan, Axel! Lagipula seperti dia juga menyukaimu saja!" geram Nero
"Pihak investor mau kita menemuinya di villanya besok lusa, Patra. Jadi bersrmangatlah. Namanya Pak Barry, kita harus berhasil melobinya untuk berinvestasi di proyek itu!" seru Axel pagi itu. Patra yang mendengarnya pun berdebar, tapi ini proyek pertamanya. Karena itu, Patra harus berusaha keras untuk mendapatkan investasi itu. Di sisi lain, Juan sedang sangat gelisah dan terus mengikuti Nero ke mana-mana. Nero mabuk semalam saat mengatakan akan memutuskan Kania dan ketika Juan meminta penjelasannya, Nero malah tertidur. "Semoga saja dia tidak ingat apa yang sudah dia katakan tadi malam." Juan terus bergumam sendiri. "Apa Kania tidak ke kantor pagi ini? Dia tidak memberitahuku soal jadwalnya pagi ini," kata Nero yang melangkah masuk ke ruang kerjanya. "Eh, mengapa mendadak kau mencari Kania?" sahut Juan tegang. "Memangnya mengapa aku tidak boleh mencarinya? Tidak biasanya dia tidak memberitahu jadwalnya.""Err, apa sekarang kau mempedulikan Kania?""Heh? Aku tidak mengerti maks
"Nero ... lepas ..." Patra masih mencoba bicara walau bibirnya saat ini sedang dikunci oleh Nero. "Mmphh ...." Beberapa kali Patra berusaha mendorong Nero namun semakin Patra mendorong, Nero semakin maju sampai Patra terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Nero terus memagut bibir Patra begitu lama, mengabaikan Patra yang terus memberontak. Hingga akhirnya Patra pun menyerah, alih-alih mendorong, Patra malah mencengkeram kemeja pria itu. Tanpa disadari, Patra mulai membalas pagutan bibir pria itu. Nero yang merasakannya sempat tersenyum kecil, sebelum ia kembali melahap bibir Patra. Tubuh Patra pun mulai melemas, menandakan bahwa wanita itu sudah pasrah dan tangan Nero pun berhenti mengungkungnya. Tanpa melepas pagutan bibirnya, Nero pun mulai menangkup dan membelai kepala Patra dengan sayang. Dan untuk sesaat, mereka begitu menikmati tautan bibir mereka, sama seperti dulu saat mereka masih sepasang kekasih. Hanya saja, bedanya kalau dulu mereka hanyalah sepasang remaja yang m
Nero memicingkan matanya mendengar pertanyaan Kania pada Patra.Walaupun Nero cukup kaget dengan pertanyaan kepo itu, namun Nero sendiri cukup penasaran apa jawaban Patra. Namun, Patra sama sekali tidak berniat menjawabnya. Patra pun melirik Axel, seolah meminta bantuan dan Axel yang pengertian pun lagi-lagi menyelamatkannya. "Haha, Bu Kania! Lagi-lagi Anda membuat Patra takut!" "Ya ampun, maaf ya, Patra! Aku tidak bermaksud membuatmu takut, aku hanya penasaran. Tapi kalau kau tidak mau bercerita juga tidak apa." Kania melirik Axel dan memberi kode tidak bisa membantu lagi. Patra tersenyum canggung, tapi Axel terus berusaha mencairkan suasana sampai pembicaraan mereka menjadi lebih santai, walaupun tatapan Nero tidak berhenti terpaku pada Patra. Sampai tidak lama kemudian, ponsel Kania dan Axel berbunyi pada saat yang hampir bersamaan. Mereka pun mendadak sibuk mengangkat teleponnya masing-masing. "Astaga, Nero! Maaf aku harus segera pulang. Ibuku baru saja dijambret dan dia san