Share

Pengakuan

"Kau ….”

Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.

“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.

Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.

“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.

Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup.

"Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah menjadi kaku.

Saat melihat Hazel akan meninggalkan ruang makan, Dean berkata pelan, "Ikutlah makan bersama kami."

"Tidak, aku tidak ingin mengganggu kalian. Aku bisa makan di dapur," balas Hazel, lalu melangkah pergi meninggalkan mereka.

Di dapur yang sepi, Hazel makan sendirian karena sepertinya Sana telah kembali ke kamarnya. Dalam keheningan yang menyelimuti dia menelan makanannya cepat-cepat. Dia ingin segera meninggalkan tempat ini, dan masuk ke dalam kamarnya. Dengan begitu dia tidak perlu mendengar percakapan kakak beradik itu meskipun hanya samar-samar.

"Buatkan dua cangkir teh, lalu antarkan ke teras depan. Kami akan menunggumu di sana," ucap Dean di belakang Hazel yang sedang mencuci piring.

Hazel tidak menjawab. Bertindak seperti robot, dia pun memenuhi permintaan majikannya. Tangannya bergerak cepat menyeduh teh di teko, lalu dia bergegas ke teras.

“… Sejak awal aku sudah memberi tahu dia untuk tidak terlalu berharap banyak padaku.”

Tubuh Hazel membeku seketika di balik pintu yang terbuka saat mendengar suara Brian yang setengah berteriak. Dia menduga mereka pasti sedang membicarakan adiknya. Dia mencengkeram kuat-kuat nampan yang dia bawa. Takut teko dan cangkir yang berada di atasnya terlempar ke bawah, lalu hancur berkeping-keping.

“Tapi, sikapmu lah yang membuat Olivia menggantungkan harapannya padamu,” tukas Hazel memotong obrolan Dean dan Brian.

Hazel meletakkan nampan di atas meja dengan kasar. Wajahnya bersungut-sungut. Menghadapi dua orang yang tengah membicarakan adiknya, membuat dia tidak bisa berpura-pura bersikap baik atau tidak terjadi apa-apa.

“Hubunganku dengan Olivia tidak seperti yang kau bayangkan. Selama kami bersama, kami selalu bersenang-senang. Dia tahu tidak ada masa depan untuk kami,” timpal Brian.

Hazel menggeleng-geleng. “Itu menurutmu. Tidak untuk Olivia.”

“Seharusnya aku tidak mengundangmu ke sini bila tahu akan terjadi perselisihan di antara kalian,” sela Dean sambil menatap Brian. Setelah dari tadi hanya diam mengawasi dua orang di depannya, dia akhirnya ikut bersuara.

“Kau tahu?” Hazel menatap lurus Dean, lalu melanjutkan, “Adikku masih berusia dua puluh tahun saat adikmu mendekatinya. Sebelumnya Olivia tidak pernah dekat dengan seorang laki-laki. Adikmu lah yang memulai semuanya.”

Brian membungkam mulutnya. Memang benar dia yang mendekati Olivia. Tapi, dia tidak sepenuhnya bersalah. Olivia bersikap tidak seperti gadis polos saat bertemu dengannya.

"Olivia bersikap seperti gadis kebanyakan, menggoda laki-laki kaya dengan harapan laki-laki itu bisa memenuhi keinginannya. Dan, aku tertipu oleh sifat aslinya," elak Brian membela diri.

"Aku sangat mengenal adikku dengan baik. Adikku bukan gadis seperti itu. Banyak orang yang menjadi saksinya. Kau sengaja mendekatinya, lalu merayunya," ucap Hazel berapi-api dengan napas memburu. Dia tidak menyukai Brian yang menjelek-jelekkan adiknya.

"Dan ... usai mengetahui dia tengah mengandung anakmu, kau meninggalkannya seperti sampah," lanjut Hazel dengan tatapan tajam.

"Dia tidak mengandung anakku!" bentak Brian. Dia tidak bisa menahan diri lagi karena sejak tadi Hazel selalu memojokkannya.

Tangan Hazel terangkat secara otomatis, lalu menampar pipi Brian keras. Laki-laki itu benar-benar seorang pengecut. Berani-beraninya dia tidak mengakui kehadiran anaknya.

"Sekarang, setidaknya Olivia beserta bayinya telah beristirahat dengan tenang. Mereka tidak lagi merasakan sakit hati pada laki-laki brengsek seperti dirimu," ucap Hazel, "Ngomong-ngomong, kau pasti menyesal telah menolak anakmu. Sangat disayangkan, dia memiliki wajah setampan dirimu."

Hazel membalikkan badannya, mengayun langkah panjang meninggalkan teras rumah. Tubuhnya terasa kepanasan meskipun sejak tadi dia berada di luar ruangan yang sangat sejuk oleh semilirnya angin malam. Saat ini dia ingin menenggelamkan diri di kamarnya yang gelap.

"Aku tidak menyangka ternyata seperti itu ceritanya. Aku pikir kau tidak bersalah. Rupanya aku juga tertipu oleh kata-kata manismu," ucap Dean setelah keheningan yang berlangsung selama beberapa saat.

"Bukan seperti itu... aku tidak membohongimu. Olivia pandai memutarbalikkan fakta." Brian berusaha membela diri.

"Aku pikir kau telah berubah. Awalnya aku sempat ragu merestuimu menikahi Dania. Melihat sepak terjangmu selama ini, petualanganmu menggaet wanita. Aku sempat percaya kau sungguh-sungguh meninggalkan kebiasaan burukmu itu." Dean tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lalu melanjutkan, "Aku telah melakukan kesalahan yang besar."

Brian tidak bersuara. Dia tidak mencoba membantah ucapan Dean. Sekarang dirinya tidak lagi dipercaya oleh kakaknya, jadi percuma saja dia membela diri.

"Sebaiknya kita sudahi saja pertemuan malam ini. Tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan," ucap Dean pelan.

Dean beranjak dari kursinya. Dia meninggalkan Brian yang masih mematung di tempatnya. Brian hanya diam, pasrah dan tidak berani membantah.

***

Hazel terbangun keesokan harinya saat matahari telah merangkak naik sepenggalah. Buru-buru dia meninggalkan kamarnya. Meskipun sekarang belum waktunya dia untuk bekerja, dia tidak ingin hanya berdiam diri di kamar, tanpa melakukan aktivitas apa pun.

"Selamat pagi," sapa Hazel malu-malu pada Sana yang terlihat sedang menata lemari dapur.

"Selamat pagi," jawab Sana sambil lalu. Dia menoleh sebentar pada Hazel.

"Maaf, aku bangun kesiangan. Apa ada yang bisa aku kerjakan?" Hazel menatap ragu. Dia bingung harus berbuat apa.

"Sementara ini belum. Lagi pula Tuan Dean belum menyuruhku untuk memberimu pekerjaan," kata Sana. "Aku telah membuatkanmu sarapan. Nikmati lah selagi masih panas."

Hazel mundur beberapa langkah, lalu dia berbalik arah. Di atas meja dia melihat makanan yang telah disiapkan oleh Sana. Dia pun menikmati sarapannya pelan-pelan.

"Aku ingin berbicara denganmu. Di ruang kerjaku."

Hazel mengangkat kepalanya saat mendengar suara Dean tidak jauh darinya. Tatapan mata mereka saling beradu. Hanya sebentar karena Dean langsung pergi setelah itu.

"Aku sudah berada di sini sekarang. Jadi, cepat katakan apa masalahmu," ucap Hazel tidak lama kemudian. Dia bergegas menyusul Dean di ruang kerjanya karena tidak ingin laki-laki itu menunggu dia terlalu lama.

"Aku meminta maaf karena telah salah menilai adikmu."

Mulut Hazel menganga lebar usai mendengar pengakuan Dean. Dia tidak salah dengar 'kan? Tidak. Pendengarannya masih berfungsi normal. Tapi ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status