Share

Bertemu Kembali

“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.

Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?

“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.

Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.

“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.

“Kau bisa bekerja mulai besok lusa. Tentu saja kau tidak sendiri. Pengurus rumahku, Sana, akan memberi tahumu pekerjaan yang harus kau lakukan," kata Dean sambil menatap lurus ke arah Hazel. Sepertinya gadis itu sengaja menghindari dirinya.

"Gunakan waktu sebaik mungkin untuk dua hari ini,” pungkas Dean sebelum meninggalkan kamar Hazel.

Hazel tidak menanggapi. Dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Hazel memutuskan akan mengikuti permainan ini sampai akhir. Walaupun dia tidak bersalah, dia tahu tetap kalah juga.

***

Dean mengambil satu map yang tergeletak di atas meja kerjanya. Dia berencana menyibukkan diri agar pikirannya teralihkan dari masalah yang berkaitan dengan Hazel. Jangan sampai pekerjaannya berantakan hanya karena seseorang yang tidak terlalu penting.

Hari ini dia harus tetap bekerja walaupun tidak berada di kantornya. Ada beberapa laporan yang harus dia periksa. Juga, dia masih perlu memikirkan cara untuk mengambil alih perusahaan properti itu. Ada baiknya bila dia bisa bertemu dengan pemilik perusahaan itu secara pribadi, sehingga dia bisa melakukan pendekatan dari hati ke hati.

Dering telepon seluler di atas meja membuyarkan lamunan Dean. Dia segera meraih ponselnya, dan menjawab panggilan telepon itu. Telepon dari asisten pribadinya.

"Ya, Sam. Apakah ada yang perlu kau sampaikan?" tanya Dean seraya mengerutkan keningnya. Sebelumnya dia telah memerintahkan Samudra untuk tidak menghubungi dia bila tidak ada sesuatu yang penting.

Samudra berdeham sebentar, lalu menjawab, "Brian baru saja datang ke kantor mencari Tuan, tapi saya sudah bilang ke dia kalau hari ini Tuan menghadiri pertemuan di luar kota."

"Kenapa dia baru mencariku sekarang? Bukankah dia sudah terlambat?"

"Dia bilang dia tidak berani menemui Anda setelah melihat berita yang beredar. Setelah menenangkan pikirannya dia ingin mendiskusikan masalah ini dengan Tuan. Dia menyadari masalah ini berhubungan dengan dia," jelas Sam.

"Baiklah, aku akan menghubungi dia segera," ucap Dean, lalu mengakhiri panggilan itu.

Dean hampir melupakan akar masalahnya dengan Hazel. Seharusnya dia tahu semua berkaitan dengan Brian. Beberapa hari ke belakang dia hanya memusatkan perhatiannya pada gadis itu. Sekarang dia harus mendengar penjelasan dari adiknya juga.

Dean langsung menghubungi adiknya. Tidak menunggu lama Brian mengangkat teleponnya. Sepertinya ini akan menjadi diskusi yang panjang dan tidak bisa selesai tanpa bertemu secara pribadi.

"Kata Sam kau datang ke kantor mencariku," ucap Dean tanpa basa-basi.

"Ya, aku pikir bisa menemuimu di sana. Sayangnya aku harus kembali ke rumah tanpa mendapatkan apa-apa," jawab Brian dengan suara berat.

"Untuk apa kau mencariku? Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan," sindir Dean terang-terangan.

"Tentu saja aku ingin membicarakan banyak hal, terutama yang berkaitan dengan Olivia," kata Brian berterus-terang.

"Aku rasa kita tidak bisa berbicara di telepon. Kalau kau mau kau bisa datang ke rumahku." Dean berhenti sejenak. Mungkin setelah bertemu Brian, prasangka buruknya terhadap Olivia sedikit berubah.

"Nanti malam aku akan ke sana menemuimu, sekalian makan malam. Sudah lama sekali kita tidak mengadakan acara makan bersama," ucap Brian lalu menutup teleponnya.

***

Hazel memutuskan keluar kamar karena merasa bosan harus mendekam di sana sendirian sepanjang waktu. Dia tidak terbiasa berpangku tangan, hanya tidur-tiduran. Tujuannya sekarang adalah dapur. Berhubung sebentar lagi malam tiba, pasti ada yang bisa dia kerjakan di sana.

"Kau meninggalkan tempat tidurmu?" tanya Sana, pengurus rumah Dean, dari balik meja dapur. Kepalanya sempat terangkat sedikit, lalu menunduk lagi. Tangannya bergerak cepat menyiapkan bahan makanan.

"Iya, pusing di kepalaku sedikit berkurang. Dan aku merasa bosan," jawab Hazel santai.

Tidak ada rasa canggung yang Hazel rasakan saat bertemu Sana malam ini. Beberapa hari sebelumnya dia telah berkenalan dengan Sana. Meskipun usia mereka terpaut lima tahun, Hazel tidak mengalami kesulitan saat mengakrabkan diri dengan wanita itu.

"Apa kau membutuhkan bantuan?" Hazel berjalan mendekati Sana, dan menunggu dengan sabar.

Sana melihat ke sekeliling dengan sekilas. Masih banyak yang harus dia lakukan. Sebenarnya dia butuh bantuan, tapi dia ragu meminta pada Hazel. Terlebih kondisi Hazel yang belum benar-benar pulih.

"Kau bisa mengiris sayuran itu." Sana menunjuk keranjang sayur yang tergeletak tidak jauh darinya, lalu berkata lagi, "Aku akan membuat lauknya."

"Kita menyiapkan makanan sebanyak ini, apakah nanti ada tamu yang datang?" tanya Hazel disela-sela pekerjaannya.

"Aku tidak tahu. Tuan Dean hanya menyuruhku menyiapkan makanan dalam porsi banyak." Sana menjawab sambil mengaduk-aduk potongan daging ayam di dalam wajan.

Hazel lalu memilih diam. Dia sedikit menyesal karena telah bertanya. Seharusnya dia bisa menahan diri dari rasa ingin tahunya yang cukup besar. Sebagai orang asing, tentu ada beberapa hal yang tidak patut dia ketahui.

"Sekarang, bawa ke sini sayurannya," ucap Sana, menyadarkan Hazel dari lamunannya.

Hazel menyerahkan keranjang itu. "Mungkin aku bisa menata gelas dan piring di atas meja," kata Hazel setelah menyadari tidak ada lagi yang perlu dia lakukan di dapur.

"Silakan, kalau kau tidak keberatan," tukas Sana, lalu membuka lemari di atas kompor. Dia mengambil dua buah piring dan gelas.

"Karena aku tidak tahu berapa orang yang datang, jadi kita menyiapkan peralatannya untuk dua orang lebih dulu." Sana menyerahkan barang itu pada Hazel.

Hazel mengangguk pelan. Dia mengikuti perintah Sana. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju ruang makan. Lalu dia menyadari sesuatu. Masih ada barang yang tertinggal, dan dia baru ingat.

"Aku membutuhkan serbet makan."

Hazel kembali ke ruang makan. Tidak lama setelah semua siap, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya tamu yang mereka tunggu telah datang, batin Hazel dalam hati. Dia harus segera memberi tahu Sana untuk mengeluarkan makanannya.

"Kau ... apa yang kau lakukan di sini?"

Langkah Hazel terhenti tiba-tiba. Dia memutar tubuhnya. Matanya membelalak lebar saat melihat sosok laki-laki yang berdiri beberapa meter darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status