Share

Terjerat Gadis Manja
Terjerat Gadis Manja
Penulis: R U M B L E

Hai Gadis Manja

“Kak!”

Satu panggilan yang berhasil menghentikan langkah Morgan. Lelaki itu menghembuskan napas kasar sekali sebelum membalikan tubuhnya berhadapan dengan gadis yang barusan memanggilnya.

“Kak Morgan nggak ngangkat telponku dan balas sms-ku. Sebenarnya kak Morgan kemana saja?” Gadis itu bergelanyut manja di lengan Morgan. Morgan tidak tertarik memandang kekasihnya yang bertubuh tinggi sepundaknya itu, bahkan ia berusaha melepaskan pegangan tangan ranting gadis yang cerewetnya melebihi Mama itu di lengannya.

Pantaskah Morgan mengklaim gadis bernama Bianca itu sebagai gadisnya sementara sikapnya tidak pernah menunjukkan rasa cintanya kepada Bianca? Morgan terkenal dengan sikapnya yang dingin, cuek dan tidak suka keramaian, berbanding terbalik dengan Bianca yang periang dan lebih sering terlihat manja kepada orang terdekatnya. Terkadang orang-orang tidak yakin bagaimana hubungan keduanya, Bianca terlihat seperti mengejar Morgan meskipun tak jarang Morgan berada di kampus untuk menemui Bianca ataupun menjemput gadis itu setelah berkuliah.

Ia dan Bianca memang hanya terlibat perjodohan, di mana orangtua Bianca yang menginginkan Morgan menjadi pendamping putri sulungnya serta orangtua Morgan yang juga berharap banyak untuk menjadi besan teman SMA-nya dulu itu. Sebenarnya kedua pihak orangtua tidak memaksa Morgan dengan kata lain memberikan kebebasan penuh untuk pria itu menolak atau menerima perjodohan itu. Namun, sebagai putra tunggal keluarga, Morgan menyadari orangtuanya berharap besar kepadanya. Siapa lagi yang bisa mengabulkan permintaan Papa dan Mama selain Morgan? Ditambah lagi orangtua Bianca yang juga berharap untuknya menerima Bianca.

Morgan memiliki pandangan sendiri terhadap Bianca. Baginya Bianca adalah gadis baik, pintar, periang, dan ramah terhadap siapapun meskipun ia merupakan putri sulung salah satu keluarga terkaya se-Indonesia. Morgan juga tidak bisa memungkiri kecantikan Bianca layaknya dewi dari langit, dengan kilauan mata rusa dan rambut cokelat madu sebahu yang menyilaukan.

Namun Morgan juga tidak menyukai salah satu sifat Bianca yaitu sifat manjanya. Hal yang membuat Morgan membenci Bianca adalah karena gadis itu mudah merengek, ingin semua keinginannya terpenuhi, dan sering marah tidak jelas hanya karena Morgan duduk satu kursi dengan klien-nya yang -demi Tuhan Morgan pastikan- hanya rekan bisnisnya. Morgan adalah pewaris tunggal perusahaan ayahnya, jadi bukan hal tabu jika ia membicarakan bisnis bersama manusia bergender wanita.

Seharusnya Bianca sadar dan memaklumi, namun yang ada dirinya tidak mau tahu. Bianca akan marah dan Morgan tidak memiliki pilihan lain selain mengalah dan membujuk Bianca sebaik mungkin.

Morgan berusaha melepas, namun Bi—nama panggilan Bianca—kembali melingkarkan tangannya tanpa peduli tolakan Morgan. Ia tahu Morgan tidak suka bermesraan di depan umum, tapi sekali lagi Bianca tidak peduli.

“Ayolah, Bi-”

“Jelaskan dulu pertanyaanku tadi!”

Pertanyaan yang mana? Morgan sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak mendengar pertanyaan Bianca.

“Ughh Kak Morgan menyebalkan!” Bianca merengek dan Morgan berdecak kesal. Ia sudah pusing dengan pekerjaan kantornya dan kini ditambah rengekan Bianca. “Kakak nggak nyoba selingkuh dibelakangku, kan?”

Pertanyaan yang sama ketika Bianca merajuk.

“Ya Tuhan, Bi. Aku baru selesai meeting, ketemuan sama tiga orang klien, terus jemput kamu yang nggak ngasih tau kalau udah selesai kuliah jam segini. Harusnya kamu ngasih tau dari awal, bukannya nelpon pas aku sedang meeting, Bianca!” jelas Morgan dengan mempertahankan nada suaranya. Meninggi sedikit saja, maka dipastikan Bianca menganggapnya marah dan gadis itu akan semakin merajuk nanti. Morgan masih memiliki jadwal lain selain membujuk Bianca yang merajuk parah.

“Oke. Aku ngerti.”

Lingkaran tangan di lengan Morgan berubah menjadi tarikan-tarikan halus di ujung kemeja Morgan. Siapa lagi pelakunya kecuali si gadis manja? “Maaf. Aku nggak akan curiga lagi!” ucapnya lirih.

Morgan menghiraukannya, ia sudah lama tidak mempercayai ucapan Bianca yang satu itu. Bagaimana bisa percaya Bianca tidak mencurigainya sedangkan hampir setiap hari alasan yang menjadikan bahan rengekan Bianca adalah karena kecurigaannya?

“Yaudah. Ayo kita pulang.”

Morgan meraih tangan kanan Bianca yang masih bertahan di ujung kemejanya. Si gadis tersenyum senang, menurutnya ini adalah salah satu tindakan romantis yang ia sukai. Meskipun tidak yakin itu romantis atau tidak bagi orang lain, tapi Bianca tetap menyukainya. Selama yang melakukan adalah Morgan.

***

Bianca yang tidur adalah satu-satunya wujud Bianca yang Morgan sukai. Entah kenapa melihat Bianca tertidur lebih menarik dibandingkan saat gadis itu terbangun beserta sifat manjanya yang memusingkan. Bianca nampak imut dan menggemaskan dalam tidurnya, bibirnya terbuka sedikit dan hembusan napas hangat terasa di sana. Posisinya menghadap ke kiri, memudahkan Morgan melihat campuran wajah imut dan cantik alami milik Bianca dengan leluasa. Tanpa sadar bibir Morgan melengkung ke atas kendati mata tajamnya tetap memperhatikan wajah Bianca yang masih tertidur meskipun mesin mobil sudah dimatikan.

Hingga beberapa menit Bianca belum juga terbangun membuat Morgan tergugah untuk memberikan kecupan singkat di bibir merah muda itu.

Satu kecupan dan Morgan kembali posisinya seolah tidak terjadi apa-apa. Kendati demikian, Morgan berusaha menyembunyikan debar jantungnya yang menggila dan tangannya yang tanpa diperintah menuju bibirnya. Mengelus bibirnya sendiri yang masih merasakan hangatnya bibir Bianca.

Dadanya berdebar dan hatinya menghangat. Seharusnya Morgan sudah menyadari bahwa si gadis manja berhasil mencuri perhatiannya, Dan hatinya, tentu saja.

Perlahan Morgan meletakkan tubuh Bianca di ranjang empuknya. Kamar Bianca terletak di lantai dua, didominasi oleh warna biru laut dan putih salju di dindingnya.

Morgan meninggalkan kamar Bianca setelah menutupi tubuh Bianca dengan selimut walaupun diluar cuaca panas. Maklum saja, sekarang masih pukul dua siang dan itu berarti Bianca sedang menikmati tidur siangnya.

“Kak Morgan!”

Seseorang memanggilnya saat Morgan baru menutup pintu. Dia adalah Adian, adik kandung Bianca yang kini menginjak usia tujuh belas tahun, berbeda tiga tahun dengan kakak perempuannya.

“Kamu baru pulang?” tanya Morgan—berbasa basi—sembari mengikuti langkah Adian menuju ruang televisi. Lelaki yang baru menginjak usia remaja itu mengangguk, dan meletakkan setoples keripik kentang di atas meja.

“Sebenernya ada latian dance. Tapi aku bolos. Capek banget abis mesra-mesraan sama soal ujian.” Adian menangkup keripik kentang di tangannya. “Apa Kak Bianca ketiduran?”

“Ya. Dia ketiduran di mobil, dan nggak bangun juga pas aku gendong dia ke dalem kamar.”

Adian meraih ponsel kesayangannya untuk ia mainkan. Sesekali tangannya sibuk memasukkan keripik kentang kemulutnya dan mengunyahnya. “Maklum, Kak. Kak Bianca memang begadang semalaman. Katanya sampe baru tidur jam dua pagi.”

Morgan mengangguk paham. Begadang memang bukan hal asing bagi mahasiswa pengenyam bangku kuliah. Apalagi minggu ini sedang jadwalnya ujian akhir semester gasal.

“Kak Morgan!”

Sosok yang menjadi bahan pembicaraan setengah jam lalu datang. Morgan menghentikan obrolan ringannya dengan Adian, sementara Bianca mengucek matanya sembari menuruni tangga, terlihat sekali ia masih mengantuk. “Kukira kakak sudah pulang!” ujarnya dan mengambil posisi ditengah antara Morgan dan Adian. “Hey! Geser sedikit!”

“Ck! Aku lagi main game, jangan ganggu!”

“Aku mau duduk di sebelah kak Morgan! Minggir!”

“Nggak mau!”

“Adian!”

Morgan memijat pelipisnya yang terasa pening. Morgan selalu tidak menyukai ini, mendengar keributan yang ditimbulkan oleh pasangan kakak beradik itu. Padahal hal yang diributkan juga bukan perkara besar.

“Bi, udahlah. Jangan gangguin adikmu.”

“Jadi kamu bela dia?!”

Ugh! Morgan merasakan kepalanya semakin berdenyut sakit menandakan emosinya sudah berada di ujung kepala dan bersiap meledak. Tidak, tidak! Morgan tidak boleh meledakkan emosi jika tidak ingin mendengar rengekan Bianca -lagi-.

“Bukan gitu maksudku, Bi. Tapi-” Morgan menghela napas kasar. “Udahlah. Aku mau balik ke kantor. Lanjutin aja kalo masih mau berantem.”

“Morgaan!!” Seperti yang Morgan duga, Bianca tidak akan membiarkannya pergi. Bianca selalu ingin Morgan membelanya dan membuatnya menang melawan adik laki-lakinya. Namun kali ini Morgan sedang lelah mengurusi rengekannya, bukankah seharusnya Bianca mengerti dilihat dari gurat wajah pria itu?

“Kak Morgan lagi capek, tau. Dasar nggak peka!”

Capek? Ya, Morgan memang capek. Bukan hanya capek karena pekerjaan kantornya yang setinggi gunung, tapi juga capek dengan sifat kekanakan dan manja Bianca.

Berterimakasihlah pada Adian yang jauh lebih peka daripada kakak kesayangannya.

“Yaudah. Kak Morgan nggak usah balik ke kantor. Istirahat aja di sini. Gimana?”

“Nggak bisa, Bi. Aku lagi ada jadwal penting. Lagian aku tadi nunda soalnya mau jemput kamu dulu.”

“Udahlah, kak. Kak Morgan butuh istirahat. Bolos satu hari nggak akan bikin perusahaan Papa bangkrut.”

Oh ya, Morgan lupa kalau Bianca juga memiliki kekeraskepalaan tinggi. Kalau Bianca sudah memaksa seperti itu, Morgan akan susah menjelaskan bahwa urusan kantor tidak semudah tugas kuliah di mana ia bisa membolos sesuka hati. Pekerjaan Morgan menyangkut ratusan pekerja dan Ia bertanggungjawab untuk itu. Aish, bagaimana cara menjelaskannya?

“Bi, cobalah buat nggak kekanakan sekali aja. Aku harus ngasih contoh yang baik buat bawahanku. Kalau aku bolos, itu bisa berdampak jelek pada kinerja mereka. Mereka akan semena-mena dengan kerjaan mereka. Kamu ngerti, kan?” ucap Morgan dengan pelan dan lembut. Semenjak menjadi kekasih Bianca dua bulan lalu, Morgan seakan diajarkan namanya kesabaran, terutama kesabaran dalam menghadapi sosok perempuan yang tidak pernah mendapat bentakan di hidupnya.

“Yaudahlah. Aku ngerti. Tapi abisnya dari kantor, Kak Morgan harus istirahat, oke?”

Morgan memberi anggukan setelah itu. Tidak ada senyuman di wajah tegasnya meski tangannya mengusap pipi Bianca lembut. Mengetahui Bianca menurut membuat Morgan bernapas lega. Morgan harus lebih dan lebih sabar menghadapi gadis itu.

“Kalau gitu aku pergi. Adian, aku pergi dulu!” pamit Morgan.

“Ya. Hati-hati!”

Morgan telah menghilang mengendarai mobilnya, tetapi Bianca masih tetap di posisinya. Diam-diam bibirnya mengulas senyum miris yang tidak pernah ia tunjukan oleh ekspresi wajah cerahnya. Bianca tidak ingin mengakui ini, namun perlakuan kaku dan keterpaksaan Morgan membuatnya sadar dengan jelas,

Morgan tidak menyukainya ....

Morgan tidak mencintainya ....

Dan Morgan hanya ingin menghormati orangtua Bianca tanpa memandang Bianca sebagai seorang gadis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status