Bianca belum pernah sebahagia ini semenjak dua bulan menjadi kekasih Morgan. Tadi sore Morgan mengirimkan pesan untuk bersiap-siap menghadiri pesta ulangtahun putri relasi bisnis pria itu. Pria itu akan menjemputnya pukul tujuh malam, dan itu berarti dua jam dari sekarang. Selama ini Morgan tidak pernah mengajaknya ke acara penting seperti itu, karena Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk acara selain bekerja di kantor. Jadi saat Morgan mengiriminya pesan, Bianca bahagia bukan main.
Bianca harus tampil special untuk acara perdananya dengan Morgan, berharap tidak ada cela kesalahan sedikitpun pada tampilannya malam ini.
Saat sedang disibukkan dengan memilih aksesoris yang cocok, tiba-tiba ponselnya berdering dan Bianca langsung mengangkatnya begitu tahu siapa subyeknya.
“Mama!”
'Ugh, ada apa, Sayang? Apa ada berita bagus?'
Bianca tersenyum lebar sebelum menjawab. “Morgan ngajak Bianca ke pesta ulang tahun relasi bisnisnya, Ma.”
‘Oh ya? Pantesan putri Mama kedengeran sangat bahagia?'
“Mama!” Bianca merasakan pipinya menghangat dan saat ia melirik ke kaca rias wajahnya terlihat memerah. Sial! Mama berhasil menggodanya.
'Hahaha! Pokoknya putri Mama harus dandan super cantik malam ini!'
“Jadi selama ini Bianca nggak cantik?”
'Bukan kayak itu, Sayang ~ Putri Mama udah cantik bahkan pas masih di rahim Mama. Tapi, paling nggak buat kak Morgan terpesona oleh kecantikanmu. Oke?'
“Bianca akan nyoba narik perhatian kak Morgan, Ma!”
“Ya Tuhan, Morgan sepertinya akan jatuh cinta beneran sama putri Mama yang cantik!'
Ekspresi Bianca berubah dan Mama tidak perlu tahu putrinya tidak lagi merona. Diam-diam Bianca mengamini ucapan Mamanya. Ya, semoga itu benar.
Morgan benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bukan hanya cinta bertepuk sebelah tangan yang dialami Bianca.
“Oh ya, Ma. Kenapa nelpon?”
'Ah, Mama lupa! Mama cuman mau bilang kalau Mama dan Papa nggak jadi pulang besok. Mungkin lusa, atau minggu depan. Papamu masih harus ketemuan sama teman lamanya. Maaf ya, sayang?’
Bianca mengerucutkan bibirnya yang terpoles liptint pink. Sedikit kesal karena Mamanya kembali mengingkari janjinya untuk pulang. Padahal Mama sudah berjanji untuk membantu Bianca membuatkan puding untuk Morgan.
“Huh Mama! Padahal Bianca udah kangen banget sama Mama, sama Papa juga!”
'Maaf ya, sayang. Mama janji deh kalau pulang bakal beliin hadiah spesial. Oke?’
“Apa itu?.” tanya Bianca seketika luluh oleh iming-iming hadiah. Biasanya, Mama akan pulang membawa hadiah yang tak terduga. Seperti tempo hari, saat Mama dan Papa baru pulang dari perjalanan bisnis, Bianca mendapatkan satu set peralatan make up dengan label harga yang lumayan menguras dompet Papa. Padahal hanya beberapa yang berderet di meja rias Bianca, sisanya tersimpan di dalam laci.
‘Rahasia! Pokoknya Bianca nggak boleh marah sama Mama dulu.”
“Ya, ya, ya. Aku ngerti.” Merajukpun percuma, kalau Mama juga tidak ada disini untuk membujuknya. Biasanya Mama akan membujuknya dengan membuatkan makanan favorit Bianca, selain iming-iming hadiah tentunya.
'Ya udah, Mama tutup ya? Sayangnya Papa masih mandi jadi nggak bisa ngobrol sama Bianca. Oh ya, bilang sama Adian, jangan sering-sering main hp, Ujian Nasional sebentar lagi. Mama mencintaimu Bianca~'
“Oke, Ma! Cepet pulang, ya? Miss you...”
‘Iya sayang. Miss you too, bye!'
“Bye, Ma!”
Bianca meletakkan ponselnya di atas meja rias sementara dirinya melihat alat-alat make up di sekitarnya. Sudah selesai. Hanya sedikit sentuhan di wajah dan rambutnya, Bianca tidak akan mengolesi make up secara berlebihan. Toh, sebagus apa pun dandanannya, Bianca yakin tidak akan berguna, jika Morgan-pun tidak melihat fisiknya.
“Nona, gaun Nona sudah saya siapkan di atas ranjang.” Seorang pelayan berbicara dan dibalas anggukan oleh Bianca. Sepergian pelayan itu, Bianca melihat satu persatu gaun barunya yang tertata rapi di atas ranjangnya. Gaun dengan warna berbeda itu tampak tidak menarik perhatian Bianca. Bianca melihatnya tanpa minat, bukan karena gaun-gaun itu tidak bagus melainkan karena Bianca tidak bersemangat untuk memilih dan mencoba ditubuhnya.
Entahlah, perasaan Bianca mendadak tidak enak beberapa saat setelah menutup telpon Mama. Bianca merasa suatu hal buruk akan terjadi, tapi ia tidak tahu apa itu. Ia hanya berharap hal buruk itu tidak akan menimpa orang terdekatnya.
Karena itulah Bianca akhirnya memilih gaun berwarna hitam yang paling sederhana diantara gaun lainnya. Jika Mama tahu pasti beliau tidak akan membiarkan Bianca memakai gaun itu terlebih Bianca akan menghadiri acaranya dengan pacarnya.
***
Pukul tujuh kurang dua belas menit, Morgan telah berdiri di depan pintu rumah megah kekasihnya Pria itu tampak dingin seperti biasa, kemeja biru pekat didalam jas formal melengkapi penampilannya menjadi lebih maskulin. Rambut hitam legamnya ia sisir ke samping dengan tambahan gel rambut dan membuat penampilannya semakin menyilaukan mata.
“Aku lama banget, ya?”
Suara perempuan tiba-tiba memasuki gendang telinga Morgan. Pria itu mendongak dan mendapati Bianca telah berdiri di hadapannya dengan senyuman lebar. Bianca datang dengan gaun berwarna hitam selutut dilengkapi dengan aksesoris liontin putih dan arloji kecil di pergelangan tangan kirinya. Wajahnya natural dan rambutnya hanya dibuat curly di ujungnya. Nyaris seperti Bianca di hari-hari biasanya. Tidak ada perubahan yang berarti bagi Morgan, padahal mulanya Morgan pikir Bianca akan berdandan habis-habisan terlebih ini pertama kalinya Morgan memperkenalkan Bianca sebagai sang kekasih di hadapan relasi kerjanya.
Sejujurnya Morgan berniat datang sendiri tanpa mengajak Bianca. Namun entah darimana ayahnya mengetahui pesta itu, jadi orangtuanya meminta Morgan untuk mengajak Bianca. Karena itu Morgan terpaksa mengajak Bianca ke pesta itu. Dicatat, ter-pak-sa karena permintaan ayah dan ibunya.
Morgan tidak berminat mengajak Bianca karena ia sudah memastikan tabiat Bianca jika dirinya dekat dengan anak relasi kerja bisnisnya. Adriana, putri relasi bisnis Morgan yang juga teman kuliah Morgan dulu. Morgan tentu tidak hanya membicarakan bisnis tetapi juga kisah selama perkuliahannya beberapa tahun lalu. Sedangkan Bianca tidak mau tahu, gadis itu tidak akan suka Morgan dekat dengan Adriana. Mungkin jika Bianca tahu Adriana pernah menyatakan perasaannya pada Morgan dulu –walaupun Morgan menolaknya-, Bianca pasti tidak akan mengizinkan Morgan datang ke pesta itu.
“Kak Morgan! Kamu ngelamun?”
Morgan tersentak dan kembali memfokuskan pandangan kepada Bianca. “Ayo berangkat.”
Morgan melangkah terlebih dahulu menuju mobilnya, sementara Bianca kembali tersenyum paksa mendapati perlakuan Morgan yang ogah-ogahan. Hanya singkat, Bianca lalu berlari meraih lengan Morgan untuk ia gelanyuti.
***
“Selamat ulang tahun, Adri—nama panggilan Adriana—!”
Morgan memberikan ucapan selamat serta senyuman yang membuatnya semakin tampan. Senyuman yang jarang ia sunggingkan termasuk kepada Bianca. Bianca hanya sesekali melihat senyuman itu saat Morgan berkunjung di rumahnya dan bertemu dengan orangtua Bianca. Tentu saja Bianca tahu itu hanya senyum tanda kesopanan.
“Makasih banyak, Gan. Kamu kok kelihatan beda sekarang.”
“Beneran?”
“Iya. Kamu lebih keliatan manly daripada pas kuliah dulu. Apa karena sekarang udah jadi Presiden Direktur perusahaan Ayahmu?”
“Itu nggak ada hubungannya, Adri!”
Morgan dan Adriana asyik tertawa kecil dan melupakan satu sosok bertubuh mungil di sebelah Morgan yang sedari tadi memainkan jemarinya di kemeja biru pekat milik Morgan dan sibuk melihat sekeliling. Bianca tidak berniat menginterupsi meskipun mulutnya gatal untuk merengek meminta pulang. Ya, dia ingin pulang sebab tidak tahan dengan kedekatan Morgan dan Adriana. Lihatlah, bahkan Bianca belum pernah melihat Morgan tertawa serenyah itu selama hidupnya!
“Ngomong-ngomong, dia pacarmu?” tanya Adriana begitu menyadari seseorang berbaju hitam di sebelah Morgan.
“Ya. Aku pacar kak Morgan. Namaku Bianca.” Bianca mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Ia tetap memperlihatkan wajah riangnya meski sedikit dipaksakan. Sedangkan yang diuluri tangan memberikan tatapan yang sulit di artikan dan ia membalas uluran tangan Bianca.
“Aku Adriana. Pemilik pesta ini. Selamat datang di pestaku!” Adriana membalas tidak kalah riang.
“Selamat tahun untukmu.”
Perilaku Bianca berhasil membuat Morgan melirik penuh tanda tanya. Semula Morgan berpikir Bianca akan berbuat nekad seperti berucap sinis pada Adriana atau lebih parah dari itu dilihat dari gadis itu yang terus-terusan menarik ujung kemejanya. Namun ternyata pikirannya tidak terbukti. Bianca malah tersenyum riang seolah tidak ada yang ia permasalahkan.
“Yaudah. Adri, aku pergi dulu. Aku mau nemui beberapa orang.”
“Iya, Gan. Nikmatilah pesta ini. Aku ke yang lain dulu.”
Adriana tersenyum ke arah Morgan namun berubah ekspresi saat melihat wajah Bianca. Bianca bisa menyadari itu, tatapan lain yang diberikan Adriana kepada Morgan sangatlah berbeda. Hingga Morgan menarik tangannya ke sudut ruangan, Bianca masih sempat melirik Adriana dari ujung matanya. Tampaknya si gadis ulangtahun tidak menyadari dan terlalu sibuk dengan tamu-tamunya.
“Sebenernya siapa Adriana itu, Kak?” tanya Bianca disela perjalanannya ke relasi bisnis Morgan.
“Temenku kuliah. Aku kan udah bilang tadi!” jawab Morgan datar.
“Tapi aku ngerasa dia suka kak Morgan.” Bianca mencebikkan bibir tipisnya, rasanya ia begitu enggan memanggil nama Adriana dari mulutnya.
“Bianca, ayolah, jangan kaya ini! Jangan hancurin pesta ulangtahun Adriana karena sifat kekanakanmu!”
Bianca lantas terdiam. Perkataan Morgan rupanya berhasil menyentuh dasar hatinya. Menciptakan luka perih yang membuatnya meringis.
'Ngancurin? Bukannya kak Morgan sendiri yang ngancurin perasaanku? Sebenarnya di mana letak kesalahanku sebenernya?'
Bianca masih terdiam hingga Morgan bertemu dan berbincang ringan dengan relasi bisnisnya. Entah apa yang mereka bicarakan, Bianca tidak berminat mendengarnya.Baru setelah kantung kemihnya terasa penuh, Bianca menepuk pelan lengan Morgan dan berbisik ditelinganya. “Aku butuh toilet.”“Ya. Kau tahu tempatnya, kan?”Bianca mengangguk dan bergegas mencari toilet. Menurut pelayan yang ia tanyai, toiletnya terletak di sudut kiri ruangan. Setelah menyelesaikan urusannya, Bianca mencuci tangannya di wastafel dan memperhatikan wajahnya sendiri lamat-lamat. Riasannya masih baik-baik saja, jadi Bianca tidak perlu memperbaikinya.“Baiklah. Sekarang saatnya acara utama akan dimulai!”Suara MC yang bergema dan dapat didengar Bianca di toilet. Ia bergegas keluar agar tidak ketinggalan acara utama yang menurutnya adalah tiup lilin. Ia harus segera di samping Morgan jika tidak ingin Morgan bingung mencarinya.“Adria
“Rafael!”Bianca terlihat gembira mendapati salah satu teman sekolahnya saat tingkat dasar dulu. Sungguh ia tidak menyangka Rafael yang dulu sering di ejeknya karena memiliki tubuh gendut justru kini tidak kalah dengan bintang film yang sering Bianca tonton di televisi. Hal itulah yang membuat Bianca sulit mengenali lelaki bertubuh tinggi itu ketika pertama bertemu.“Jahat sekali, sih! Padahal aku langsung inget pas pertama kali liat wajahmu.” gerutu Rafael dengan ekspresi sebal yang di buat-buat. Hal itu sukses membuat Bianca tergelak, dan memberikan sebuah pukulan kecil di bahu lelaki itu. Well¸dilihat dari gelakan tawa yang cukup keras membuktikan bahwa Bianca sedikit lupa dengan kekesalannya pada Morgan.“Maklumlah, kamu keliatan beda banget sekarang. Dulu gendut kayak boneka teddy bear. Haha!”“Sialan. Tapi sekarang aku keliatan ganteng, kan?”“Yah, sedikit.” Rafael memberikan p
Bianca tahu hal ini akan terjadi. Menemukan Morgan berdiri bersandar di mobil mewahnya adalah salah satu hal menggembirakan. Bianca mengintip, setelah Pak Utomo -Kepala Pelayan di kediamannya- memberitahu soal Morgan yang menunggunya di bawah, Bianca tidak langsung menghampiri pria itu. Bianca sengaja membiarkan Morgan duduk diam di ruang tamu sementara ia bergembira di balik pintu kamarnya. Kejadian itu berlalu setengah jam yang lalu, kemudian Morgan mengetuk pintu kamar Bianca dan tentu saja tidak dijawab apapun oleh Bianca. Dan berikutnya pria itu menyerah, namun tidak langsung memasuki mobil dan malah berdiri di samping mobilnya.Bianca hanya tidak tahu jika Morgan menemukannya yang sedang mengintip dari jendela kamarnya. Hal itulah yang membuat Morgan mendesis malas dan menahan diri untuk tidak masuk mobil, kembali ke kantor, dan menggeluti berkas-berkas rumit yang tidak lebih rumit menghadapi perempuan berumur dua puluh tahun bernama Bianca.Morgan tidak habis pi
“Aku ... tunangannya.”Ekspresi terkejut didapatkan Bianca dari wanita itu. “Maafkan saya, Nona. Saya tidak tahu. Mari saya antar ke ruangan Direktur.”“Tidak perlu!” tolak Bianca halus. “Aku bisa kesana sendiri. Tapi, pastikan Morgan tidak tahu kedatanganku.”“Baik, Nona. Ruangan Presdir ada di lantai 6. Anda bisa menggunakan lift khusus Presdir di sebelah sana,” ucap resepsionis itu seraya memberitahu Bianca letak lift yang bisa ia gunakan.“Baiklah. Terima kasih.”Bianca berlalu menuju lift, dengan tangan kiri yang menggenggam box makanannya dan tas kecil tersampir di lengan kanannya.Tak butuh waktu lama bagi Bianca untuk sampai di lantai 15. Begitu keluar dari lift, Bianca sudah bisa menebak di mana ruangan Morgan karena satu-satunya pintu yang berada di koridor bertuliskan Ruang Presiden Direktur yang terletak di atas pintu berkaca buram, lalu sebuah meja lengkap d
Setelah di kantor Morgan, menangis di tangga darurat, dan menghabiskan beberapa menit di toilet untuk membenahi penampilannya, Bianca memutuskan untuk keluar dari kantor perusahaan keluarga Morgan. Tak ia perdulikan siapa pun yang menyapanya, termasuk wanita di meja resepsionis yang sempat ia tanyai tadi. Bianca sudah terlalu lelah, hingga rasanya membalas sapaan-pun adalah hal yang berat untuknya.Dengan langkah kaki mungilnya, Bianca berjalan menyusuri taman kota yang letaknya cukup dekat dari kantor Morgan. Ia sengaja tidak menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput, sebab Bianca masih ingin sendiri dan tidak di ganggu. Bianca memang lelah, namun ia membutuhkan suatu hiburan untuk mengusir kemarahannya pasca ia mendengar perkataan Morgan yang -sungguh- menyakiti hatinya. Bolehkah Bianca bertanya, di mana hati seorang Morgan hingga ia setega itu?Bianca menemukan satu bangku panjang yang kosong, disekitarnya-pun cukup sepi. Maklum saja, sekarang matahari tepat di p
Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.Morgan … Bianc
Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali. Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya. “Jalan, Pak!” Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu