Share

Prang-in Aja

Bianca masih terdiam hingga Morgan bertemu dan berbincang ringan dengan relasi bisnisnya. Entah apa yang mereka bicarakan, Bianca tidak berminat mendengarnya.

Baru setelah kantung kemihnya terasa penuh, Bianca menepuk pelan lengan Morgan dan berbisik ditelinganya. “Aku butuh toilet.”

“Ya. Kau tahu tempatnya, kan?”

Bianca mengangguk dan bergegas mencari toilet. Menurut pelayan yang ia tanyai, toiletnya terletak di sudut kiri ruangan. Setelah menyelesaikan urusannya, Bianca mencuci tangannya di wastafel dan memperhatikan wajahnya sendiri lamat-lamat. Riasannya masih baik-baik saja, jadi Bianca tidak perlu memperbaikinya.

“Baiklah. Sekarang saatnya acara utama akan dimulai!”

Suara MC yang bergema dan dapat didengar Bianca di toilet. Ia bergegas keluar agar tidak ketinggalan acara utama yang menurutnya adalah tiup lilin. Ia harus segera di samping Morgan jika tidak ingin Morgan bingung mencarinya.

“Adriana, sekarang waktunya tiup lilin!”

Bianca tiba di gerombolan orang di tengah ruangan dan ia belum menemukan keberadaan Morgan. Matanya masih sibuk mencari Morgan dan akhirnya ia melewatkan acara tiup lilin Adriana. Bianca tidak perduli selama ia membutuhkan Morgan, jangan sampai pria itu diam-diam meninggalkannya sendiri.

“Sekarang waktunya potong kue. Nona Adriana, silahkan potong kuenya dan berikan kepada tiga orang yang menurutmu spesial.”

Dan akhirnya! Bianca menemukan Morgan berada di barisan paling depan. Syukurlah, setidaknya Morgan tidak meninggalkannya pulang.

“Suapan pertama untuk Mama, kedua untuk Papa, dan yang terakhir adalah orang yang spesial untukku. Dari dulu sampai sekarang, Morgan.”

Langkah Bianca untuk mendekati Morgan berhenti saat itu juga. Ia tetap di barisan belakang, tubuhnya yang mungil tidak terlihat di antara kerumunan orang-orang membuatnya seperti tidak dibutuhkan. Siapa yang menyangka bahwa Bianca adalah pacar Morgan, nama lelaki yang disebutkan oleh Adriana sebagai salah tiga orang yang spesial untuknya?

“Aku?” Morgan mengerjap bingung. Adriana hanya memberikan jawaban melalui anggukan kepala dan Morgan tidak memiliki pilihan lain selain maju dari tempatnya berdiri. Ia berdehem saat tidak sengaja bertukar pandang dengan Ayah Adriana yang pernah menjalani meeting bersama dengan beliau.

Lalu ketika mata Bianca dengan jelas melihat Adriana menyuapkan sepotong kue tart untuk Morgan dan sorakan penuh godaan bergemuruh di sekitarnya, Bianca merasakan dirinya kosong. Dirinya seolah bukan hal penting yang perlu dijaga perasaannya. Dirinya seolah pajangan mati di dinding, yang tidak dianggap sebaik manusia kepada manusia.

Perasaannya semula tidak enak dan kini ditambahkan oleh goresan perih yang lagi-lagi ditorehkan oleh orang yang sama. Morgan, sebenarnya kau manusia atau bukan?

Pita suara Bianca mendadak hilang, membuatnya hanya mampu menggigit bibir dan mengepalkan tangannya kuat. Katakan, siapa gadis yang kuat melihat kekasihnya tengah tersenyum indah untuk perempuan lain sedangkan dengan dirinya tidak melakukan itu? Meskipun hanya berlandaskan perjodohan, tidak bisakah Morgan melihat Bianca dengan mata terbuka bagaimana perasaan gadis itu terhadapnya? Sekalipun? Tidak bisakah Morgan menghargainya?

Tidak ada hentakan marah kaki bertumit high-heels Bianca.

Tidak ada teriakan kebencian Bianca yang memekakkan telinga.

Dan tidak ada rengekan cemburu yang mengusik telinga Morgan.

Bukankah seharusnya si gadis manja melakukan itu?

Morgan tidak mendengarnya. Tidak mungkin gadis itu masih di toilet sebab Morgan sempat melihat bayangan Bianca melintas menuju ke tengah ruangan. Dan tidak mungkin gadis itu tidak cemburu jika melihat kemesraan Morgan dan Adriana yang seperti sepasang kekasih barusan. Morgan harus bisa menjelaskan kepada Bianca sebelum-

Prang!

-sebelum Bianca berusaha menghancurkan pesta Adriana karena cemburunya yang kekanakan.

Dentingan gelas pecah menjadi jawaban Morgan atas pertanyaannya. Bianca disana, berdiri tegak di samping seorang pelayan sibuk memunguti beberapa gelas yang terberai di lantai dan membersihkan genangan air di sekitarnya.

Semua pandangan tertuju pada Bianca. Dan pikiran negatif Morgan memberikan pencerahan.

Bianca sengaja menjatuhkan gelas kaca untuk menghancurkan pesta Adriana. Hanya itu yang ada di pikiran Morgan dan ia tidak memiliki kesabaran untuk tidak menarik tangan Bianca menjauh dari pecahan kaca dan puluhan pasang mata.

***

Bianca tidak menolak ataupun membalas saat Morgan menariknya keluar ruangan. Pria itu langsung menghempaskan tangan Bianca begitu mereka tiba di parkiran yang sepi.

“Udah puas?”

Tidak ada jawaban dari Bianca yang menundukkan wajahnya dalam.

“UDAH PUAS NGANCURIN PESTA ADRIANA KARENA SIFATMU ITU, HAH?!”

Tidak ada tanggapan lagi.

“Jawab aku Bianca!” bentak Morgan menyurutkan keberanian Bianca untuk membalasnya dengan kata-kata kasar pula.

“Iya, soalnya aku nggak suka kak Morgan dekat sama cewek itu! Apa-apaan?! Terus terang menyukai seseorang yang jelas-jelas sudah memiliki pacar. Sebenernya dia punya malu atau tidak?!”

“Kau-” Mata Morgan menyalang, menandakan emosinya sudah berada di puncaknya. “Sudah kubilang jangan ngancurin pesta Adriana karena sifat kekanakanmu! Apa kamu nggak bisa lebih dewasa, hah? Demi Tuhan, Adriana hanya teman kuliahku! Kamu nggak sepantasnya cemburu kaya gitu hanya buat urusan kecil!”

“Liat pacarku disuapi cewek yang menyukainya, jadi aku tidak boleh cemburu?!”

“Terserah!” Morgan memutuskan untuk mengakhiri perdebatan tak berujung antara ia dan Bianca. Napas Morgan terengah dan Bianca-pun sudah menangis pelan menimbulkan getaran di bahunya yang ringkih.

“Kamu jahat, kak Morgan!”

“Ya! Kubilang terserah!” Pria itu menyibukkan diri dengan ponselnya sejenak, lalu melirik Bianca sekilas. “Pulanglah. Pak Agung akan jemput kamu sebentar lagi. Aku harus balik ke dalam buat beresin kekacauanmu.”

“Kak!”

“Berhenti merengek!”

Bianca masih tergugu kendati wajahnya basah oleh air mata. Morgan tidak menaruh perhatian tentang bagaimana Bianca menangis sesenggukan di hadapannya. Morgan sudah diselimuti oleh amarah dan pertahanan diri untuk tidak membentak Bianca lebih parah. Bianca adalah gadis manja, tidak menutup kemungkinan jika Bianca akan mengadukan perlakuan kasarnya. Bukan karena Morgan ingin menjaga imej, hanya saja ia malas mendengar orangtuanya kembali memberi wejangan yang belum tentu disanggupi oleh Morgan. Harusnya orangtua Morgan tahu jika putranya sudah muak menghadapi sifat manja dan kekanakan sementara dirinya paling membenci orang yang bersifat serupa.

“Mas Morgan.”

Seseorang menghampiri Morgan dan Bianca yang masih terdiam di kaki masing-masing. Tidak ada yang berbicara saat sepuluh menit Morgan menunggu sopir pribadinya datang untuk mengantar Bianca ke rumahnya. Lelaki paruh baya yang baru datang itu tidak banyak bertanya, meskipun matanya menangkap aura tidak mengenakkan dari sepasang kekasih majikannya itu.

“Pak Agung, tolong anterin Bianca pulang. Aku harus kembali ke dalam.” Morgan berucap sementara Bianca sibuk membersihkan sisa air matanya. Pria itu sempat melirik sekilas ke arah Bianca tanpa mengeluarkan suara.

“Baik, Mas.” Pak Agung beralih pada Bianca. “Ayo Nona, saya antar.”

Bianca berbalik mengikuti Pak Agung tanpa melirikkan mata basahnya ke Morgan. Bianca terlanjur kesal setengah mati, ia ingin berteriak kesal namun ia tahu Morgan akan lebih murka setelahnya.

“Aku sangat membencimu!”

Morgan tidak peduli bagaimana hari esoknya setelah kejadian malam ini. Semoga saja ia tidak perlu tenaga besar untuk membuat Bianca memaafkannya.

***

Di dalam mobil, Bianca melanjutkan tangisnya. Perasaannya campur aduk. Antara kesal, cemburu, dan marah, semuanya berkumpul menjadi satu membentuk buliran air mata yang terus merembes membasahi wajah cantiknya. Pak Agung tidak perlu bertanya, tugasnya hanya mematuhi perintah Tuan mudanya untuk mengantar gadis itu pulang. Itu saja.

Kecuali saat Bianca tiba-tiba berbicara, “Pak Agung, bisa berhenti sebentar di Coffee Shop itu? Aku mau membeli kopi sebentar.”

“Baik Nona, akan saya belikan.”

“Nggak usah. Pak Agung nunggu di parkiran saja, aku nggak lama kok.”

“Tapi Nona, Mas Morgan memerintah saya untuk mengantar Nona pulang, bukan-”

Bianca menyela, “Nggak apa-apa. Biar aku yang ngomong langsung sama kak Morgan besok.”

Pak Agung tidak memiliki pilihan lain selain menyanggupi permintaan Bianca. Lagipula Bianca terlihat tidak dalam kondisi baik, jadi Pak Agung tidak berani untuk menolaknya.

“Sebentar, ya, Pak.” ujar Bianca sebelum keluar dari mobil. Beruntung ia membawa tas kecil berwarna hitam yang juga menemaninya di pesta. Paling tidak ia membawa dompet yang berisi kartu kredit dan ponsel kesayangannya. Oh ya, tidak lupa ia membersihkan sisa air matanya meskipun siapa saja pasti tahu ia baru saja menangis.

“Baik, Nona.”

Jadilah Pak Agung menunggu di mobil sementara Bianca memasuki Coffee Shop yang terletak di pinggiran jalanan ramai itu. Coffee Shop itu cukup luas hingga kesannya tidak terlalu ramai. Hal itulah yang membuat Bianca tertarik untuk mendatanginya, di lain alasan ia juga membutuhkan ketenangan dari segelas capucinno yang baru saja ia pesan dari seorang waiter.

“Secangkir capucinno dan bonus muffin green tea untuk cewek yang lagi patah hati.”

Pesanan Bianca sampai dan seseorang meletakannya di atas meja. Bianca mendongak malas menanggapi perkataan si waiter yang nyatanya tidak benar itu. Yeah, Bianca tidak sedang patah hati, tapi errr … di makan api cemburu, mungkin?

“Aku bukan cewek yang lagi patah hati!" balas Bianca disambut ekspresi terkejut oleh waiter muda yang membawakan pesanannya.

“Lalu? Kau keliatan sedang nggak baik, Nona.”

Bianca memutar bola matanya malas. Ia sungguh tidak berminat untuk berbincang dengan siapa pun terlebih yang mengajaknya berbicara adalah seorang waiter. Well, apakah waiter itu tidak mengerti tentang menjaga privacy pelanggannya?

“Apa ini? Perasaan aku nggak memesan muffin.” Bianca menunjuk kue berwarna hijau yang terletak di sebelah capucinno-nya.

“Ini adalah bonus yang selalu diberikan untuk seorang pelanggan yang jadi teman pemilik Coffee Shop ini.”

“Apa? Jadi aku berteman dengan pemilik tempat ini? Memangnya siapa pemiliknya?”

“Sebelum itu,” Si waiter tidak bersopan santun mengambil tempat duduk di depan Bianca. “Kamu nggak mau inget-inget wajahku dulu, nih, Nona … Audriana Putri Hardianto?”

Bianca tentu terkejut saat waiter itu mengetahui namanya. Dan yang lebih mengejutkan, Bianca seperti pernah melihat wajah lelaki di hadapannya.

“Oke. Sebenarnya aku adalah pemilik Coffee Shop ini, dan itu berarti kamu itu temanku.”

“Tunggu bentar! Kamu-” Terpujilah pada ingatan Bianca yang masih berfungsi dengan baik.

“Aku Rafael.”

“Rafael?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status