“Bagaimana training-mu hari ini?” tanya Morgan, seraya menyangga kepalanya dengan sebelah lengan dan tubuh menghadap ke samping di atas ranjang. Ia menghadap Bianca yang baru saja keluar dari kamar mandi lalu duduk di depan kaca rias. Aroma manis sabun menguar, mengusik indera penciuman Morgan.
“Sangat baik. Ada mbak Sheril yang bantuin aku meriksa biodata pegawai biar aku nggak asing sama wajah mereka!” jawab Bianca sembari mengoles krim malam beraroma lemon di bagian wajahnya.
Bianca memutuskan untuk menyebunyikan fakta jika dirinya bertemu dengan Candra. Baginya itu tidak terlalu penting untuk menjadi bahan pembicaraan. Cukup dirinya saja yang terbawa emosi hingga harus bersembunyi di toilet untuk menangis dan menenangkan diri, tidak untuk menambah beban bagi Morgan.
“Sheril?” Morgan bangkit dan menghampiri Bianca. Tangannya meraih handuk kecil kering dan menggosokkannya pada rambut panjang Bianca yan
Karen terbangun saat matahari meninggi. Mata puppy-nya mengerjap, berusaha beradaptasi dengan sinar matahari yang cukup terik menembus jendela kecil di salah satu sisi flatnya.Ia berusaha bangkit, menyangga tubuhnya dengan lengan kirinya yang terasa kaku dan semakin terasa sakit ketika Karen memaksanya untuk terduduk sempurna. Dan satu detik kemudian, Karen menyadari jika dirinya tidak tidur di kasurnya.Karen mengernyit. Mencoba mengumpulkan satu persatu memorinya, tentang mengapa ia bisa berada di atas lantai dingin di depan pintu dengan tubuh yang sakit bukan main. Perlahan tapi pasti, Karen mengingatnya.Mengingat waktu di mana Eric datang, memaksa masuk, menyeret ibunya keluar, lalu Karen tidak mengingat apapun lagi selain rasa sakit yang menghantam punggungnya dan tamparan keras di pipinya hingga ia tak sadarkan diri. Hingga ia menyadari bahwa ia terbangun di pagi ini dengan suasana rumah yang tidak lagi sama.“IBU!&rdq
Ini pertama kalinya bagi Karen mendatangi perusahaan Morgan. Duduk di lobby, dengan tangan yang saling meremas, memperhatikan karyawan yang berlalu lalang dan berharap Morgan cepat-cepat datang.“Akh!” Dan sesekali Karen meringis ketika gelombang rasa sakit menghampiri punggungnya. Itu sangat menyakitkan, tapi Karen berusaha menahannya. Ia tidak boleh mengeluh di saat genting seperti ini.“Karen!”Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, Morgan datang dengan langkah lebar dan nafas terengah-engah. Karen berdiri perlahan dan bermaksud mengutarakan apa yang membuatnya nekat datang langsung pada Morgan.“Lebih baik kita tidak bicara di sini.” –tetapi Morgan lebih dulu menginterupsi dan Karen mengangguk. Tentu, mereka tidak mungkin membicarakan hal ini diantara banyaknya orang yang mungkin bisa mendengar.Tanpa tahu bahwa alasan Morgan yang sebenarnya adalah-“Karen?”
Karen tidak bisa tidur. Seberapa keraspun ia mencoba, ia tetap tidak bisa tertidur dan melupakan segala kekhawatirannya. Tubuhnya lelah, tetapi otaknya berbanding terbalik, mereka tidak bisa berhenti berpikir dan terus memutar hal yang sama.Nyonya Maudy. di mana ia sekarang?Apa Candra kembali memukulinya? Kembali menorehkan bekas luka yang bahkan baru sembuh beberapa hari yang lalu?Pemikiran negatif itu tidak lepas dari kepala Karen. Ia tidak mampu berpikir positif, karena pada nyatanya, apa pun tentang Candra dan Eric tidak pernah baik di mata Karen.Karen telah menutup dirinya dengan selimut kebencian.Kebencian karena ia masih mengingat jelas perlakuan buruk Candra kepada ibu kandungnya.Dan kebenciannya yang bertambah karena kemungkinan besar Maudy menjadi sasaran perlakuan buruk pria itu.Tanpa sadar jemari Karen mengepal. Menyimpan segala amarahnya di dalam kepalan tangannya.Cklek!“Kak Morgan-”
Bianca tidak tahu mengapa langkah kakinya bisa berhenti di sini. Ujung sepatu pantofel setinggi empat sentinya beradu dengan lantai ubin menciptakan suara yang menggema dalam bangunan sepi dan kotor itu. Keringat dingin mengalir hingga tungkai kakinya yang kini bergetar.Cukup merasa takut, namun mencoba menegarkan hatinya yang mulai goyah untuk berlari kembali ke mobilnya.Bianca meninggalkan mobil kantornya di luar, cukup jauh dari tempatnya sekarang. Ia melakukannya bukan tanpa alasan. Eric-lah yang memberikan perintah itu, dan Bianca tidak bisa mengingkari karena nyawa Maudy bergantung pada dirinya.Awal mula, Eric memang memberinya pilihan. Namun setelah pria itu mengirim alamat yang harus Bianca datangi, membuat Bianca tidak memiliki pilihan lain selain datang sendiri tanpa memberitahu Morgan, Pak Anwar, ataupun polisi yang paling bisa melindunginya. Ya, karena selain alamat, Eric juga mengirimkan sebuah foto yang langsung membuat Bianca sesak melihatnya.
Drrt drrt …Morgan tersentak dari lamunan saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia menegakkan tubuhnya sebelum menerima panggilan yang berasal dari anak buahnya itu.“Halo, ada apa?”“Saya hanya ingin memberi informasi, Bos. Nona Bianca baru saja pergi menggunakan mobil kantor dengan tergesa-gesa.”“Pergi? Kalian tidak membuntutinya?” Morgan merasakan detak jantungnya berpacu dengan cepat. Firasat buruk kembali menggelayuti dadanya hingga membuatnya sedikit sesak. Ia tahu ada hal yang disembunyikan Bianca, tapi bodohnya Morgan tidak berusaha mencari tahu. Dan bukan tidak mungkin jika firasat buruk Morgan disebabkan karena ada sesuatu yang akan terjadi pada Bianca.“Kami sudah membuntuti Nona Bianca, tapi …”“Tapi?”“Tapi kami kehilangan jejak. Jalanan terlalu ramai karena telah memasuki waktu makan siang. Kami sekarang sedang berusaha mengejar mobil nona Bian
Tak diduga, tiba-tiba Morgan berdiri, lalu menyambar kunci mobil di atas meja kaca dan membuat Reynald dan Vyan terkejut.“Lo mau kemana?” tanya Reynald. Meski tanpa bertanya-pun, Reynald dan Vyan sudah tahu apa yang akan dilakukan Morgan dengan kunci mobilnya.“Jangan gegabah, Morgan. Lo nggak boleh menyetir dengan keadaan yang-”“LALU APA GUE HARUS DUDUK DIAM di sini SEMENTARA GUE NGGAK TAU APA YANG DILAKUKAN SI KURANG AJAR ITU KE BIANCA?!”Ucapan Vyan langsung terpotong oleh teriakan Morgan yang penuh emosi. Sudah cukup lama Morgan menahan diri untuk tidak tersulut namun berakhir gagal. Ia tidak menemukan cara yang tepat untuk menenangkan hatinya sementara pikiran mengenai keselamatan Bianca terus terbayang di otaknya.“Elo-” Vyan, yang memiliki tingkat temperamen tinggi seperti Morgan, berniat untuk membalas teriakan Morgan dengan emosi yang tercetak jelas di wajahnya yang memerah. Sedetik sebelum
Reynald memelankan laju mobilnya saat mobil di depannya berhenti di tepi laut. Ia tidak berniat keluar dari mobil, meskipun ia melihat dari temaram lampu, Morgan keluar dari mobilnya dengan wajah dan pakaian sama-sama kusut. Ia membiarkan Morgan dengan dunianya sendiri, sibuk dengan ponsel ataupun putus asa yang menguasainya hingga ia berulang kali berteriak.Bukannya Reynald tidak perduli. Lebih tepatnya, Reynald tidak ingin mengganggu Morgan. Mungkin dengan bertindak seperti itu, Morgan mampu menumpahkan emosinya dan bisa lebih tenang.Sudah nyaris satu jam, namun tidak ada petunjuk yang berarti. Tidak untuk anak buah Morgan, ataupun Morgan sendiri yang mengemudikan mobilnya di seluruh penjuru kota. Tapi nihil. Eric dan Candra sangat rapi menyimpan Bianca dan mungkin Maudy di suatu tempat yang tidak terendus. Dan juga, nomor ponselnya yang tidak terdaftar sangat sulit untuk di lacak.Pengamatan Reynald terhadap Morgan harus berakhir tatkala ponselnya berdering
Ketakutan kembali menyergap dada Bianca. Hal yang jauh lebih menakutkan daripada terkurung di ruangan gelap selama beberapa jam adalah ketakutan bahwa Morgan kembali tidak memedulikannya, mengabaikannya, dan mungkin berniat meninggalkannya.Hal yang membuat Bianca mendapat setitik kekuatan untuk berdiri di atas tungkai kakinya yang masih bergetar dan lemah, mencoba berdiri dan menggapai punggung Morgan yang sudah berlalu.“K-kak Morgan ... Morgan ...”Pria itu hilang tertelan pintu, bersamaan dengan suara Bianca yang tercekat di tenggorokannya.Bahkan Morgan tidak berbalik meskipun Bianca yakin suaranya cukup terdengar di telinga Morgan.Detik itu pula, Bianca kembali terjatuh. Rasa sakit di perutnya kembali menyiksa, menjadikan kesakitan Bianca bertambah ribuan kali lipat. Kesakitan yang melibatkan fisik dan hatinya. “Akh ...”“Bianca!”***“Ini gawat, Ayah!”“Apa ya