Di kantor, suasana seolah menjadi canggung ketika beberapa karyawan dari divisi yang sama dengan Sarah mulai menegurnya secara terang-teragan. Mereka berkumpul di sudut ruangan, menatap tiap pergerakan Sarah cukup intens dengan ekspresi serius di wajah mereka."Sarah, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Mengirim dokumen ke ruangan pak bos lagi?" bisik salah satu karyawan perempuan dengan nada ketus.Sarah menatap mereka dengan tatapan bertanya, tidak mengerti apa yang salah. "Apa masalahnya? Aku hanya menjalankan tugasku."Karyawan lain yang duduk di sebelahnya menjelaskan dengan nada rendah. "Kamu harus berhati-hati dengan sikapmu, Sarah. Tuan Eduardo sudah memiliki istri. Jangan sampai sikapmu menimbulkan masalah di kantor."Sarah terlihat agak bingung dengan sikap rekan-rekannya yang bersikap sinis kepadanya. "Aku tak tahu kalau memberikan dokumen yang memang membutuhkan tanda tangan tuan Eduardo adalah hal buruk, sampai-sampai kalian menegurku seperti ini."Namun, suasana menjadi se
Saat berendam di bathub dengan bath bom yang membuat selurih air berwarna ungu dan berbuih dengan menguarkan aroma harum, Lena memejamkan matanya dan membiarkan pikirannya melayang jauh ke sehari sebelum dia pergi berbulan madu dengan Oliver.Hari itu, pagi-pagi sekali Esme datang bertamu dan segera menemui. Lena untuk memberikan sebuah bingkisan."Ini, kau harus menggunakan ini saat pergi bulan madu nanti. Ini akan sangat berguna untuk membantumu dan Oliver ketika sedang program untuk segera punya anak melalui bulan madu kali ini, " kata Esme seraya meletakan paper bag berisi box berwarna putih itu itu ke atas ranjang tepat di samping Lena."Apa isinya? Kau tak sedang memberiku benda aneh kan?" tanya Lena sedikit curiga."Tidak sama sekali. Itu bukan barang aneh, itu barang yang akan sangat berguna. Memakai itu, aku yakin peluang kalian untuk punya anak akan semakin besar. Pokoknya, yang utama adalah pikiran dan hatimu harus tenang. Kau tak boleh stress, ketika tubuh rileks dan kau b
"Aaaah," Oliver dan Lena mendesah bersamaan saat gelombang kenikmatan mendera keduanya.Sejurus kemudian, Oliver pun menarik dirinya menjauh dari Lena dengan napas terengah-engah dia berbaring di samping Lena dan memeluk istrinya itu erat-erat.Dalam posisi nyaman baginya itu, Oliver menghujami kecupan manis pipi lalu kemudian beralih ke perut Lena seraya berbisik. "Semoga usaha keras yang telah kita lakukan bisa membuat calon anak kita cepat ada disini."Lena merasakan hangatnya pelukan Oliver yang membuatnya merasa aman dan dicintai. Dia tersenyum bahagia saat Oliver kembali mencium pipinya dengan lembut."Terima kasih, Sayang," kata Lena dengan lembut, tangannya meraih tangan Oliver yang memeluknya.Oliver mengangguk, matanya penuh dengan rasa cinta saat dia memandang wajah Lena. "Kita akan melewatkan semua ini bersama-sama, Lena. Aku yakin kita akan memiliki anak. Kamu tak perlu khawatir lagi, Matthias pun pasti akan sangat bahagia jika bisa segera punya adik."Lena tersenyum, mer
"Maafkan aku. Tak seharusnya aku berlarian ketika tubuhku basah kuyup, aku benar-benar ceroboh karena hampir jatuh dan membuatmu cedera seperti ini." Dengan perasaan bersalah, Esme membantu membuka kaos basah yang dipakai Sebastian. Mengelap tubuh pria itu dengan handuk kering sebelum kemudian memasang koyo di bahu pria itu yang cedera karena menarik tubuhnya agar tak terjatuh. "Seharusnya kau tak perlu menarik tubuhku seperti tadi. Seharusnya kau biarkan saja aku terjatuh, mungkin kau tak akan cedera seperti ini." Sebastian mengulas senyum di wajahnya. "Aku baik-baik saja, sungguh. Bahuku hanya sedikit keseleo tapi itu bukanlah hal yang perlu kau khawatirkan. Kau sudah menempelkan koyo dan itu akan segera membuatku merasa lebih baik," ujarnya berusaha menenangkan Esme. Sebab, saat ini perrempuan itu menatapnya dengan kedua mata yang bekaca-kaca, siap menangis karena merasa bersalah. "Kau tak boleh berbohong tentang kau yang baik-baik saja padahal rasanya pasti bahumu sakit sekali."
Sarah diam-diam memperhatikan Sebastian dari meja kerjanya. Ruangan di divisi ini hampir kosong karena semua orang sudah pergi makan siang, kecuali Sarah dan Sebastian yang tampak masih sibuk dengan komputernya."Pak Sebastian, apa anda tidak pergi keluar untuk makan siang?" tanya Sarah yang dengan berani tanpa sekalipun merasa canggung. Dia dengan percaya diri berjalan masuk dan mendekat kearah meja Sebastian dan berdiri di hadapan pria itu tak sekalipun peduli dengan sopan santunnya sebagai karyawan baru. "Apa anda sudah makan siang?"Mendengar Sebastian menoleh dengan senyum ramah. "Belum, sebenarnya. Mengapa?"Sarah tersenyum. "Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku baru saja menemukan tempat yang bagus di dekat sini."Sebastian terdiam sejenak, merasa terkejut dengan sikap Sarah yang cukup berani seperti itu, lalu kemudian dia pun mengangguk. "Terima kasih, Sarah atas tawaranmu. Pergilah makan siang sebelum kehabisan waktu, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku."Sarah
"Paman Oliver, apa yang kau lakukan!" jerit Lena panik sekaligus marah. Dengan susah payah ia berusaha mendorong tubuh Oliver menjauh, tapi perbedaan tenaga yang terlalu jauh, membuat Lena kalah.Oliver kembali melumat bibirnya dengan sangat kasar dan menuntut. Berulang kali Lena memukul bahu pria itu keras-keras, sembari terus memalingkan wajahnya untuk menolak ciuman itu, tapi pria itu tak memperdulikan pukulan di bahunya, Oliver tetap tak berkutik. Oliver justru mencengkram kedua tangan Lena dan mengunci pergelangan tangan perempuan itu di atas kepalanya, sehingga ia bisa begitu leluasa memperdalam ciuman itu dan semakin membuat Lena merapat ke dinding.Dengan hilangnya jarak antara dirinya dan Oliver, wanita itu tersadar, bahwa pria yang saat ini sedang mencumbunya mengeluarkan aroma alkohol yang sangat kuat. “Oliver! H-Hentikan!” lirih Lena, masih terus berusaha memalingkan wajahnya demi menolak ciuman dari Oliver. Bukan ini yang Lena inginkan. Ia datang ke kamar hotel ini unt
"Dia bahkan sudah menandatangani kontrak penyerahanmu di kertas ini!"Tak ingin melihat isi kertas, serta tak ingin mendengar bualan dari pria yang telah mengambil kesuciannya itu, Lena pun terdiam. Wanita itu hanya bergegas untuk bisa keluar dari ruangan memuakkan ini secepatnya.Di saat yang sama, kala dirinya sudah berusaha untuk tidak menitikkan air mata, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Sebuah pesan dari Vincent masuk, memintanya untuk segera bertemu.Betapa terkejutnya Lena, saat bertemu dengan pria yang sangat dicintainya, dia justru harus mendengar konfirmasi dari apa yang sudah dia dengar dari Oliver. "Kenapa begitu? Hari ini hari pernikahan kita, Vincent... kau sudah berjanji padaku." Suara Lena tercekat di batang lehernya ketika mengatakan kalimat itu karena dia yang berusaha menahan diri untuk tak menangis.Seumur hidupnya, yang Lena anggap pusat dunianya adalah Vincent, pria yang ia sukai dari sejak mereka masih sama-sama remaja. Lena tak pernah memikirkan hal apapun sel
"Apa yang ingin kau lakukan!?" pekik Lena mengumpat pada Oliver yang menggendongnya masuk ke dalam kamar lalu kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur."Aku? Suamimu ini ingin memberimu pelajaran, karena kamu terus mengutukku, Lena.” Tatapan intensnya yang dipenuhi api gairah itu benar-benar membuat Lena merasa sangat terintimidasi. Dia merasa seperti kelinci yang terpojok dalam terkaman singa.Dalam kepanikan itu, Lena tak tinggal diam. Dia berjingkat bangun dan segera berlari menuju pintu kamar untuk kabur dari terkaman Oliver yang mengerikan. Namun, secepat kilat pula Oliver meraih pinggang Lena dan dengan ringannya pria itu menggendong Lena di bahunya, sementara dirinya mengunci pintu kamar ini rapat-rapat."Lepaskan aku!" pekik Lena seraya terus menerus memberontak dan berulang kali melayangkan pukulan keras pada punggung Oliver.Tubuh Oliver yang mejulang tinggi dengan otot-otot bisep yang terlatih itu terasa begitu keras ketika Lena memukulnya, dan hal itu pula lah