Elisha melotot kaget saat Dikta menyodorkan tote bag itu untuk dirinya. "Tas mahal ini buatku, Pak?" tanyanya tak percaya.
"Iya. Buat hadiah karena rapat bulan lalu yang cukup suskes." Dikta membalas sambil tersenyum bangga."Tapi Pak, ini harganya mahal banget.""Itu pantas buat kamu Elisha."Elisha sedikit gemetaran saat membuka seharga 3 motor ini. Benda termahal yang pernah Dikta berikan padanya secara cuma-cuma."Ini berlebihan nggak sih Pak?" cicit Elisha dengan ragu. Ia bukannya tidak suka dengan hadiah dari Dikta. Memang wanita mana yang bisa menolak hadiah tas sebagus ini? Hanya saja—"Kenapa? Kamu nggak suka?" Dikta bertanya balik."Bukannya nggak suka Pak. Pegawai di sini kan sudah banyak yang curiga sama hubungan kita. Dan kalau tiba-tiba aku punya barang semahal ini, pasti mereka bakal makin curiga," terang Elisha. Mencoba memberi pengertian agar Dikta tak merasa tersinggung.Dikta bangun dari duduk“Akhirnya aku bebas…” batinnya lirih. Elisha memejamkan mata sejenak, membiarkan angin sepoi membelai wajahnya. Suasana hening yang ia rasakan justru membuat ingatan-ingatan masa lalunya bermunculan satu per satu, menghantam batinnya tanpa ampun. Bayangan tembok-tembok dingin penjara, suara pintu besi yang berderit setiap kali dikunci, tatapan tajam para sipir, dan malam-malam panjang yang ia lewati sendirian di sudut selnya. Setiap hari seolah berjalan lambat, penuh sesal dan kerinduan. Kerinduan pada Qila, pada dunia luar, pada kebebasan yang dulu ia anggap sepele. Ia menghela napas dalam-dalam, menatap langit luas di atas sana. “Akhirnya aku bisa di sini… akhirnya aku bebas…” batinnya. Matanya memanas, bukan karena angin, tapi karena emosi yang sulit ia bendung. Bebas. Satu kata yang dulu begitu ia dambakan, dan kini ada di genggamannya. Dan yang paling membahagiakan—ia bisa memeluk Qila lagi. Bisa mencium rambut anak itu, menyuapinya makan, menatap wajah polosnya tanpa sekat j
Elisha perlahan menyuapkan sesendok kecil sup hangat ke mulut Qila. Bocah itu membuka mulutnya pelan, lalu mengunyah dengan lemah. Meski air matanya masih tersisa di sudut mata, setidaknya kini ia mau makan.“Nah, gitu dong, Sayang…” bisik Elisha lembut, mengusap rambut Qila dengan penuh kasih. “kamu harus makan yang banyak supaya Mama Nilam dan Papa senang…”Beberapa suapan berlalu dalam hening, sebelum akhirnya Elisha bertanya dengan suara hati-hati, penuh kehangatan. “Sayang… boleh Mama nanya sesuatu?”Qila menatap Elisha sejenak, lalu mengangguk kecil.“Gimana sih Mama Nilam ke kamu selama ini?” Elisha mencoba tersenyum, meski hatinya sedikit nyeri mengucap pertanyaan itu. “Mama penasaran… dia baik gak sama kamu?”Wajah Qila perlahan berubah. Tatapannya yang sedih sedikit melembut, mengenang sosok wanita yang selama ini ia anggap ibu. “Mama Nilam… baik banget, Ma. Dia suka bacain aku dongeng sebelum tidur. Kalau aku susah tidur, dia nemenin aku sampai aku bener-bener tidur. Dia ga
Beberapa menit kemudian, seorang perawat mendekat dan memberi isyarat lembut kepada Jean. “Silakan, Pak. Tapi hanya sebentar ya.”Dengan langkah pelan dan hati yang berdegup kencang, Jean mengikuti perawat masuk ke ruang ICU. Aroma khas disinfektan langsung menyeruak. Cahaya lampu putih menyinari ruangan itu dengan terang, memantulkan kilau dingin dari alat-alat medis yang berjejer di sekeliling ranjang.Dan di sanalah Nilam.Terbaring lemah, tubuhnya nyaris tak bergerak. Wajahnya pucat, bibirnya kering, kontras dengan selang oksigen yang menempel di hidungnya. Beberapa helai rambutnya menempel di pelipis karena keringat yang mengering. Di leher dan tangan terpasang infus dan monitor. Dadanya naik turun perlahan, seolah setiap tarikan napas membutuhkan usaha besar.Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, tapi di bawahnya Jean tahu, ada luka, jahitan, dan bekas perjuangan panjang semalam. Lengan kirinya digips. Di sudut perut bagian bawah tampak perban tebal, tanda sisa pendarahan
Di dalam, monitor tiba-tiba berbunyi panjang—bunyi yang paling ditakuti. Bunyi lurus tanpa irama. “Sial! Henti jantung! Cepat, defibrillator!” “Siap, Dok!” Perawat menyiapkan alat dan menempelkan panel di dada Nilam. “Clear!” seru dokter. Tubuh Nilam terangkat sedikit saat arus listrik mengalir di dadanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Monitor masih menunjukkan garis lurus. Waktu terasa berhenti. Semua di dalam ruangan menahan napas. Keringat dingin membasahi kening para tenaga medis yang berjuang menyelamatkan nyawa Nilam. “Sekali lagi! Clear!” Tubuh Nilam kembali tersentak. Beberapa detik yang terasa seperti seabad berlalu—lalu tiba-tiba, bip... bip... bip... Detak jantungnya muncul lagi, pelan, lemah… tapi ada. “Detak jantung kembali, Dok!” seru salah satu perawat dengan suara lega. Dokter utama menghela napas panjang, menatap timnya. “Stabilkan. Pantau terus tekanan darah dan pendarahannya. Kita belum boleh lengah sedikit pun.” Sementara itu, Jean dan Bu Mala hanya bisa
"Terus kamu gimana?"Jean mengusap rambut Qila pelan, lalu menggandeng lengan kecil itu ke arah ibunya.“Aku akan tetap di sini,” katanya lembut, menatap wajah Elisha yang tampak ragu. “Aku nggak mungkin ninggalin Mama dan Nilam dalam kondisi kayak gini.”Elisha memeluk Qila erat. Sementara anaknya itu tampak masih diam dan mungkin sedikit trauma karena kejadian ini.Jean melanjutkan, suaranya rendah namun tegas. “Tolong jagain Qila, Elisha. Qila juga pasti capek banget sama semua kejadian ini.""Iya Mas. Aku bakal jagain Qila."Jean mengangguk."Kamu juga jangan lupa istirahat ya! Salam buat Bu Mala," Elisha bangkit dari tempat duduknya dan melirik sekilas ke arah Bu Mala yang tampak terisak. Jujur dia ingin sekali menyapa wanita itu dan minta maaf atas kejadian di masa lalu, namun situasi saat ini sangat tidak memungkinkan baginya untuk menyapa wanita tersebut.Terlebih kondisi Nilam saat ini sama kritisnya dengan beberapa tahun lalu. Dan itu pasti membuat beliau trauma."Do'akan Ni
"Dokter, bagaimana kondisi anak saya?""Bagaimana kondisi Nilam Dokter?"Dokter melepas masker pelan, lalu mengusap peluh di dahinya. Sorot matanya lesu, wajahnya terlihat kelelahan. Tapi jelas—dia belum selesai.“Pasien mengalami kondisi yang cukup serius,” ucapnya akhirnya.Jean dan Bu Mala saling pandang, lalu secara bersamaan bertanya dengan suara yang terdengar nyaris putus, “Seberapa serius, Dok…? Dia—dia bagaimana keadaannya?”Dokter menghela napas panjang sebelum menjawab, “Ada beberapa luka di tubuhnya akibat pecahan kaca. Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah pendarahan internal di area perut. Kami sudah lakukan tindakan untuk menghentikan pendarahan, tapi kami belum bisa pastikan stabilitasnya sekarang.”Bu Mala menutup mulutnya. Suaranya tercekat. “Ya Allah…”“Selain itu,” lanjut dokter, “tulang panggulnya retak parah karena sempat tertindih bagian samping mobil yang jatuh saat benturan. Ada juga patah pada lengan kiri dan memar berat di rusuk. Syukurnya, tidak ada traum