Makasih ya buat kakak-kakak readers yang sudah dukung buku ini sampai ke bab ini. Semoga kakak-kakak selalu sehat dan puas sama ceritanya. Ditunggu krisannya ya kakak... đđ„°
Setelah mampir ke warung sate favorit merekaâJean dan Nilam pun pulang dengan perut kenyang. Perjalanan pulang dimulai dengan celotehan Nilam mengenai rasa bumbu sate yang gak pernah berubah.Namun, kebahagiaan itu mulai diuji ketika mobil mereka berhenti total di jalan utama. Lampu merah? Bukan. Kecelakaan? Nggak juga. Tapi lalu lintas seperti membeku tanpa alasan jelas alias MACET tanpa sebab."Ini kenapa sih? Kenapa gerak sama sekali dari tadi?" keluh Nilam sambil menyandarkan kepala ke jok.Jean melirik kaca spion. âMungkin ada penutupan jalan. Atau ada Presiden yang lewatâŠâ candanya.âNyebelin." Nilam melipat tangannya di dada. "Aku udah capek banget, ini punggung udah gak bisa diajak kompromi. Pengen rebahan," keluh Nilam.Jean tertawa kecil. "Sabar, Sayang... Namanya juga Jakarta."Nilam hanya mendengus, tangan memainkan jendela mobil naik-turun, lalu mengambil ponselnya, scroll sebentar, lalu bosan lagi. âAku tuh benci banget ama kemacetan kayak gini. Buang-buang waktu."Jean
"Aku suapin ya? Ayo aaa..."Jean memundurkan kepalanya. Bukannya mau nolak. Tapi, Nilam sendiri kan belum makan. "Kamu gak makan juga?""Aku makan habis kamu," balas perencanaan itu dengan alis berkerut. Agak dongkol karena Jean gak langsung buka mulut.Jean terkekeh kecil melihat ulah istrinya. âAku berasa kayak bocah."âBukan bocah Pak Jean sayang,â sahut Nilam sambil menyendokkan potongan ayam dan nasi ke arah mulut Jean. "Ini namanya win-win solution. Otak kerja, mulut pun kerja. Ya kan?âMenghela nafas, pria itu pun membalas, "Oke deh. Terserah kamu aja sayangku." Jean membuka mulutnya dengan patuh. âEnak,â komentarnya sambil mengangguk. âAyamnya empuk banget.ââYa iyalah, masak istri hebat kamu pilih makanan sembarangan?â Nilam tersenyum bangga.Di sela-sela suapan dan suara keyboard yang masih sesekali diketik Jean, suasana jadi terasa hangat. Bukan hanya karena makanan, tapi karena kebersamaan itu sendiriâmeski sebentar, tapi penuh makna.âOmong-omong, Qila sekarang lagi apa y
Udara masih sangat sejuk saat keluarga kecil itu bersiap. Matahari baru saja muncul dari balik bukit, menyebarkan cahaya hangat ke halaman rumah Bu Mala. Burung-burung terdengar bersahut-sahutan, seolah ikut menyemangati hari pertama Qila di sekolah barunya.Qila mengenakan seragam barunyaâkemeja putih bersih dan rok kotak-kotak merah yang masih terlihat kaku. Rambutnya dikepang rapi dua sisi dan dihias jepit rambut pink, dan sepasang sepatu barunya berkilau di bawah sinar pagi.Di punggungnya, tas biru muda yang kemarin ia pilih dengan semangat tampak pas melekat, siap menemani petualangan barunya.âDeg-degan nggak, Sayang?â tanya Jean sambil membetulkan kerah baju Qila.âSedikit,â jawab Qila jujur, âTapi aku juga gak sabar pengen cepet-cepet ketemu temen baru!âJean tersenyum, lalu mencium kening putrinya. âItu semangat yang bagus."Mereka berangkat bersama dengan mobil, Bu Mala ikut mengantar. Di sepanjang perjalanan, Qila sibuk membolak-balik jadwal sekolahnya sambil sesekali bert
Jean tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Qila. Ia mengangkat satu jari, seolah menyampaikan aturan penting. âPapa setuju kamu ikut program itu, Qila⊠asalâ kamu pilih salah satu dari dua syarat ini,â ucapnya dengan nada tegas tapi penuh kasih. Qila menatap ayahnya dengan mata membulat penasaran, menanti lanjutannya dengan penuh semangat. âSatu,â Jean mengangkat jari telunjuknya, âkamu harus dijemput dan diantar setiap hari oleh Papa, atau kalau Papa nggak bisa, Pak Surya yang antar." Qila sempat mengangguk kecil, mencoba membayangkan hari-harinya di tempat baru dengan Papa atau Pak Surya menjemputnya. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Jean mengangkat jari kedua. âDua... kalau kamu harus nginep di sana, maka Mama atau Oma akan ikut tinggal nemenin kamu di sana selama program itu berlangsung. Minimal sampai kamu betul-betul nyaman.â Wajah Qila langsung berbinar. âBeneran, Pa?â serunya. "Jadi Papa ngijinin Qila pergi dengan syarat itu?" Jean menganggu
Setelah Qila tertidur lelap, ditemani boneka kelinci pink dan selimut bergambar karakter kartun kesayangannya, Nilam menutup pintu kamar pelan-pelan. Ia berjalan menuju kamar utama, namun tak menemukan Jean di dalam. Lampu tidur menyala temaram, menambah kesan sepi di ruangan itu. Suara angin malam terdengar samar dari arah balkon. Nilam melangkah ke sana, dan benar sajaâJean sedang berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersandar di pagar balkon, menatap langit yang malam itu bertabur bintang. Tanpa berkata-kata, Nilam mendekat lalu memeluk punggung suaminya dengan lembut. Jean sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis dan menyentuh tangan Nilam yang melingkar di perutnya. âNgapain ngelamun di sini?â bisik Nilam, suaranya pelan, nyaris seperti angin. "Udaranya dingin banget loh." Jean diam sebentar sebelum menjawab, âAku kepikiran soal QilaâŠâ Nilam memiringkan wajahnya, menempelkan pipi ke punggung Jean. âMasih soal program pertukaran pelajar itu?â Jean mengangguk pelan. âIy
Sore telah berganti malam ketika Nilam, Jean dan Qila berkumpul di apartemen baru mereka. Apartemen yang terletak di pusat kota itu terasa hangat dengan aroma masakan yang khas: semur ayam, sayur asem, dan sambal goreng kentang yang selalu jadi favorit Nilam sejak kecil.Di ruang makan, Qila sudah duduk manis sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya. Rambutnya di kepang dua dan diberi jepit lucu berbentuk apel. Terdapat boneka kelinci pink yang mengisi kursi kosong di sebelahnya.âQila sayang, kamu mau tambah?" tanya Nilam disertai dengan senyum lembutnya.âEnggak deh Ma. Udah kenyang.""Kamu sayang?" Pandangan Nilam bergulir ke arah Jean yang juga makan dengan begitu lahap di hadapan."Boleh deh. Dikit aja tapi."Dengan segera, Nilam bangkit dari duduknya mengambilkan nasi dan lauk sesuai permintaan sang suami. "Segini cukup?""Cukup sayang. Makasih," balas Jean seraya mengambil alih piring di tangan istrinya.Mereka kembali makan bersama, obrolan ringan mengalir di sela makan malam ya