Malam itu, suasana ruang makan di rumah Bu Mala terasa lebih hangat dari biasanya. Makanan terhidang rapi di atas meja bundar. Jean duduk di sisi kanan Nilam, sementara Elisha duduk berseberangan. Di sampingnya, Qila sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk sendiri.“Makan yang banyak ya, Qila,” ucap Bu Mala sambil menyendokkan ayam bakar ke piring cucunya. “Biar besok sekolahnya semangat lagi.”“Iya, Oma,” jawab Qila ceria.Beberapa saat makan berlangsung dalam obrolan ringan. Namun mendadak, Qila berhenti mengunyah dan menoleh pada Jean.“Pa… tadi Qila ketemu Om dokter loh.”Jean yang tengah memotong daging, langsung mengerutkan kening. “Dokter? Maksudnya siapa?”Nilam refleks melirik Elisha sekilas, sementara Elisha langsung berhenti makan, nyaris tersedak saking paniknya.“Om Dion!” jawab Qila polos. “Dokter Dion!”Jean menatap kosong. “Siapa?”“Dokter di rumah sakit tadi. Yang bantu Mama Nilam sama Mama Elisha. Omnya baik banget! Kasih Qila roti. Terus dia temennya Mama Elisha.”Nil
"Om tadi kayaknya suka sama Mama deh."Elisha nyaris tersedak ludah sendiri saat mendengar kalimat polos namun menohok dari mulut Qila.“A-apa?!” Elisha membelalak, hampir tersedak. “Kamu ngomong apa barusan?”Qila hanya nyengir santai. “Aku bilang… Om dokter tadi kayaknya suka sama Mama.”Elisha langsung menggeleng kuat-kuat, pipinya memerah. “Qila! Jangan ngomong aneh-aneh. Dari mana kamu bisa mikir begitu? Kamu kan masih kecil.”“Ya dari cara dia liat Mama tadi. Kan keliatan banget. Beda. Kayak… hmm, Papa kalau liat Mama Nilam,” jelas Qila polos.Elisha terdiam sejenak, mencoba mengatur napas. “Qila… Om Dion itu cuma teman Mama. Teman lama. Udah gitu aja. Lagian dia dokter.”“Dokter kan keren Ma!"Elisha memutar bola matanya. “Ya Tuhan, anak ini... Udah ya jangan aneh-aneh!"Qila tertawa puas. Ia tahu komentarnya berhasil membuat Mamanya salah tingkah.Namun belum sempat Elisha membalas, langkah kaki terdengar mendekat.“Elisha! Emm... Qila..."Suara lembut yang familiar membuat El
Nilam sudah menunggu di lobby saat ia melihat Elisha keluar dari kursi kemudi sambil tersenyum lebar, dan dari pintu sebelah, muncul sosok remaja perempuan dengan ransel di punggungnya.“Qila?” gumam Nilam, terkejut.Begitu gerbang dibuka, Qila langsung berlari kecil masuk dan memeluk Nilam erat. “Mama Nilam! Surprise!”Nilam tertawa kecil, meski harus menahan nyeri di perutnya. “Ya ampun, kamu beneran bolos? Kirain tadi cuma bercanda?”“Cuma hari ini kok aja kok, Ma,” jawab Qila santai. “Aku udah bilang ke sekolah, katanya bisa diganti tugas. Aku pokoknya mau ikut nemenin Mama hari ini. Titik.”Elisha yang menyusul dari belakang cuma geleng-geleng sambil tersenyum pasrah. “Jangan salahin aku ya, dia yang maksa ikut. Katanya kamu butuh di semangatin.”Nilam mengangguk, matanya menghangat. “Makasih, kalian berdua.”Tak lama kemudian, Elisha membantu Nilam masuk ke dalam mobil. Walaupun sudah bisa jalan, Nilam masih belum boleh banyak bergerak. Makanya dia masih harus memakai kursi roda
Setelah mengantar Bu Sinta pulang bersama petugas rumah tahanan, Jean menyetir sendirian di bawah langit yang masih kelabu. Hujan belum turun, tapi awan menggantung seperti menunggu waktu. Perjalanan ke rumah mertuanya ia tempuh dalam diam. Pikiran masih berat, tapi setidaknya, satu babak kelam dalam hidupnya dan Nilam sudah benar-benar selesai hari ini.Mobil berhenti di depan rumah bergaya modern milik Bu Mala. Jean segera turun dan mengetuk pelan pintu depan. Tak lama, pintu dibuka.“Jean...” Bu Mala langsung menyambutnya. Raut wajahnya cemas. “Gimana, Nak? Gimana di sana?”Di belakangnya, Nilam sudah duduk di sofa ruang tamu, menatap ke arah suaminya dengan sorot mata tak sabar.Jean masuk, melepas jaket dan duduk di samping Nilam. Tangannya menggenggam jemari istrinya, lalu mengangguk pelan ke arah ibu mertuanya.“Benar, Ma. Dikta... bunuh diri. Gantung diri di selnya tadi pagi.”Suasana di dalam rumah langsung hening. Bu Mala menutup mulutnya dengan tangan, terkejut, sementara N
"Kenapa kak? Ada apa sama Dikta?"Jean memasang ekspresi serius sebelum menjawab, “Dia… bunuh diri, Nilam.”Ruangan itu langsung terasa sunyi. Waktu seolah berhenti. Cangkir di tangan Nilam nyaris terlepas, namun Jean dengan cepat menangkapnya dan meletakkannya ke meja. Mata Nilam membelalak, tubuhnya menegang.“A-a… apa?” bisiknya nyaris tak terdengar.Jean mengangguk pelan, masih dengan sorot mata berat. “Dikta… ditemukan tewas gantung diri di selnya tadi pagi."Nilam masih tak bisa berkata-kata. Pikirannya kosong, tubuhnya bergetar halus. Seberapa pun besarnya luka yang pernah ditorehkan Dikta di hidupnya, kabar kematian—apalagi dengan cara seperti itu—tetaplah mengejutkan dan mengguncang.Jean jongkok di hadapan istrinya, menggenggam tangannya. “Aku harus ke rumah tahanan, pastiin semuanya. Aku harus lihat langsung jasadnya, Nilam. Aku gak bisa duduk manis nunggu kabar.”“Aku mau ikut," Suara Nilam pelan, tapi tegas.Jean buru-buru menggeleng. “Gak usah, Sayang. Kamu kan juga baru
"Jujur, ini jauh lebih baik daripada harus kehilangan kamu," ucap Jean dengan wajah sendunya.Mendengar ucapan lirih Jean, Nilam hanya terdiam sejenak. Ia menatap wajah suaminya yang redup diterangi cahaya lampu tidur. Sorot matanya penuh cinta, namun juga menyimpan luka yang dalam—luka karena takut kehilangan.“Aku gak akan ke mana-mana, Kak Jean…” bisik Nilam, mengeratkan genggaman tangannya di dada Jean. “Aku masih di sini. Dan aku akan terus ada buat nemenin kamu."Jean memejamkan mata sesaat. Nafasnya berat, seakan menahan gejolak yang dari tadi ia pendam.“Tapi waktu itu…” suaranya bergetar, “…waktu aku sampai di lokasi kecelakaan, dan ngeliat kamu…”Ia berhenti sejenak. Tangannya menggenggam erat bahu Nilam. “Aku masih inget jelas… tubuh kamu himpit badan mobil yang terbalik, kamu gak gerak, darah di mana-mana. Aku… aku bener-bener ngerasa bakal kehilangan kamu. Aku takut sekali waktu itu.”Nilam menatap Jean dengan mata berkaca. “Kak…”“Rasanya kayak… semua di hidup aku hancur