SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Jean menghela napas panjang sebelum akhirnya melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Raut wajahnya masih serius, menunjukkan bahwa sesuatu memang sedang mengganggu pikirannya. Nilam menelan ludah, sedikit canggung berdiri di depan meja Jean sambil menunggu pria itu berbicara. "Polisi bekerja terlalu lambat," gumam Jean akhirnya, nada suaranya penuh ketidakpuasan. "Sudah berhari-hari, dan mereka masih belum bisa menemukan siapa yang menyerang kamu di vila." Mata Nilam sedikit melembut. Ia tahu Jean masih menyimpan amarah karena kejadian itu. Wajar saja, pria itu hampir kehilangan kendali saat pertama kali tahu seseorang menyerangnya. Nilam melangkah mendekat dan berdiri di sisi meja, menatap Jean dengan penuh pengertian. "Pak Jean," katanya lembut, "aku tau kamu marah dan khawatir. Tapi percaya deh, polisi pasti berusaha yang terbaik. Emang butuh waktu untuk menemukan pelaku untuk menemukan pelakunya kan? Apalagi gak ada saksi di sana?"Jean mengusap wajahnya dengan
"Aku ingin mencium kamu." Nilam membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat.Jean tersenyum semakin lebar melihat ekspresi gadis itu. Tangannya masih bertumpu di dagu Nilam, sementara wajahnya tetap dekat, menunggu respons dari gadis yang kini jelas-jelas sedang panik. "Lalu?" lanjutnya pelan, suaranya seperti bisikan berbahaya. "Aku boleh kan meminta ciuman darimu?" Nilam membuka mulutnya, ingin menjawab— Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jean sudah lebih dulu menutup jarak, mengecup bibirnya dengan lembut. Dan saat itu juga, dunia seolah berhenti berputar bagi Nilam.Ciuman itu dimulai dengan lembut. Bibir Jean menekan bibir Nilam dengan penuh perasaan, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa gadis ini benar-benar nyata—bahwa ia benar-benar ada di sini bersamanya.Nilam sempat membeku di awal, terlalu terkejut dengan keberanian Jean. Namun, seiring detik berlalu, tubuhnya mulai rileks. Jantungnya berdetak kencang, tetapi bukan karena panik. Melainkan karena sensasi y
Malam menjelang dengan hening. Hujan yang sejak sore menggantung di langit akhirnya turun perlahan, membasahi jendela kamar tidur Jean dan Nilam. Lampu kamar dinyalakan temaram, menyinari ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut.Jean sedang duduk di ranjang, mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang, matanya terpaku pada layar laptop yang diletakkan di pangkuan. Di sampingnya, Nilam menemani sambil nyemil snack yang tadi dia beli sepulang kerja.“Kamu belum selesai?" tanya Nilam yang sudah selesai dengan snacknya dan mulai rebahan di samping suaminya."Tinggal dikit lagi," balas Jean sambil tersenyum ke arah perempuan itu."Kenapa gak dilanjutkan besok aja?""Tanggung sayang, bentar lagi kan selesai."Nilam menganggukkan kepalanya. Susah sih kalau musuhnya si workaholic seperti Jean. "Kamu kenapa gak nulis buku lagi kayak dulu?""Pengennya. Tapi aku gak ada waktu."Nilam menatap suaminya yang masih fokus ke layar laptop. "Emang kamu mau buat cerita apa kalau ada waktu?""Cerita so
“Dikta…” gumam Jean, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya sendiri. Penyidik dan Arman sama-sama menoleh cepat. “Kamu kenal orang ini?” Jean menatap Nilam yang kini terlihat semakin pucat. “Aku gak yakin seratus persen,” katanya pelan. “Tapi dari posturnya, cara berdirinya, bentuk rahangnya… dia mirip banget sama Dikta.” “Apa benar dia? Bukannya dia masih di tahan?” tanya Arman cepat. “Itu dia. Aku juga tidak yakin kalau itu benar-benar dia," jawab Jean. “Tapi kalau itu benar dia, bagaimana mungkin bisa kenal dengan Talita. Dan apa hubungan mereka?" "Itu yang jadi misteri." Arman mengusap dagunya. "Tapi nanti aku akan coba cari info soal Dikta di lapas tempat dia di tahan." "Kalau disambung sama kejadian akhir-akhir ini sedikit masuk akal kalau seandainya itu memang Dikta," ucap Jean pada penyidik. "Sebelum meninggal Talita sempat ingin mengatakan hal penting padaku. Dan jika itu orang lain atau sekedar masalah percintaan biasa, mana mungkin Talita ma
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik. Embun masih menggantung di daun-daun, dan udara masih terasa dingin.Jean terbangun karena silau cahaya matahari. Ia mengerjapkan mata, mengusap wajah perlahan, lalu menoleh ke samping. Kosong. Tidak ada Nilam di sana.Keningnya berkerut. “Sayang?” panggilnya pelan, tapi tak ada jawaban.Ia duduk, menyibakkan selimut, dan melihat ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Kamar mandi juga sepertinya kosong."Nilam sayang kamu di ma..." Ucapan Jean terputus ketika mendengar suara angin lembut mengayun gorden, dan sinar jingga tipis dari arah balkon terlihat menyelinap masuk ke dalam ruangan.Rasa penasaran membuatnya segera bangkit. Ia melangkah pelan, lalu berdiri di ambang pintu balkon. Di sana, berdiri sosok yang sangat ia kenal. Nilam.Tubuhnya dibalut piyama biru lembut yang sama seperti semalam, rambutnya diikat asal dan dibiarkan tergerai ke belakang, wajahnya tenang namun tatapannya kosong mengarah ke langit yang mulai cerah."Sayang..."
Namun ketika Dikta membuka pintu kontrakan dan melangkah keluar menuju teras, langkahnya terhenti seketika.“Dikta?”Suara itu membuat jantungnya mencelos. Ia menoleh cepat. Di sana, berdiri Bu Sinta—ibunya—dengan daster bunga-bumga dan wajah penuh curiga. Rambutnya yang sebagian memutih digulung seadanya, dan mata tuanya menatap ke arah ransel besar yang tersampir di punggung anak satu-satunya itu.“Lho… kamu bawa-bawa tas segede itu, mau ke mana?” tanyanya dengan nada cemas.Dikta menghela napas dalam dan mencoba tersenyum, meski wajahnya masih terlihat tegang. “Aku… mau pergi, Ma. Temen ngajakin kerja di luar kota. Katanya ada lowongan di pabrik, gajinya lumayan…”“Lho! Kok mendadak banget?” Bu Sinta maju beberapa langkah. “Kamu enggak cerita apa-apa sebelumnya.""Kan aku udah bilang kalah ini dadakan, Ma.""Tapi ini udah malem loh Dikta," Bu Sinta mendekati Dikta. Ekspresi cemas tergambar di wajahnya. "Kamu mau kerja di mana?""Ma aku juga belum tau di mana pastinya. Tapi yang jel
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepat di belakang mereka, disusul dengan suara yang familiar, memanggil dengan nada cemas. “Nilam!” Nilam menoleh. Matanya membelalak ketika melihat sosok pria yang berlari kecil menembus kerumunan warga dan garis polisi yang sudah dipadati petugas. Jean. “Sayang...” gumam Nilam pelan sebelum akhirnya tubuhnya larut dalam pelukan suaminya. Seluruh kesedihannya meledak saat itu juga. Ia menangis keras-keras, menggenggam kemeja Jean erat-erat, seolah takut akan kehilangan pegangan hidupnya. Jean langsung memeluknya erat. Tangannya mengelus kepala istrinya yang menangis sesenggukan, dan wajahnya pun sudah basah oleh air mata yang tak sanggup lagi ditahan. “Tenangin diri kamu Nilam sayang!" bisiknya berulang-ulang, mencoba menenangkan sang istri. "Sayang, Mba Talita... Harusnya hari itu kita bisa nemuin dia, tapi—" tangis Nilam pecah, suaranya penuh sesal, penuh luka yang mendalam. "tapi kita malah pergi." Jean tidak menjawab. Ia hanya memeluk
"Gimana kalau—"Suara Rina menggantung di udara karena tiba-tiba Dani, salah satu staf kantor, datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka di kantin. Nafasnya ngos-ngosan, wajahnya pucat, dan tangannya bergetar saat memegang ponselnya. Semua orang yang berada di meja makan langsung menoleh ke arah Dani, yang tampak begitu panik seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.“Nilam… Mba Rina… kalian harus lihat ini!” katanya terbata, matanya membelalak. “Ada berita heboh! Dan ini tuh gila banget.... ini bener-bener gak masuk akal.”Nilam mengernyit, reflek berdiri dari kursinya. “Ada apa sih Dan? Ada berita apa emangnya?"Dani tidak langsung menjawab. Ia hanya menyodorkan ponselnya ke arah Nilam dengan tangan yang masih gemetar. Di layar terpampang foto-foto yang langsung membuat dunia seolah berhenti berputar untuk sesaat.Satu foto menunjukkan rumah kontrakan sederhana yang tidak asing di mata Nilam. Halaman luas dengan banyak daun berguguran. Debu di banyak area dan yang pa
"Hai Mbaaa...""Hai Nilam, akhirnya kamu masuk kerja juga.""Iya nih.""Kita kangen banget sama kamu, Nilam.""Sama Mba, aku juga kangen banget ama Mba Rina."Jean mengangkat sedikit alisnya. Ia agak canggung berada di antara Nilam dan beberapa karyawannya yang hebohnya bukan main. Saat tiba di kantor, Rina dan langsung menyambut Nilam dengan pelukan. Mereka juga saling bertanya kabar sampai lupa kalau ada Jean di belakang Nilam— yang sibuk membawa tiga totebag besar berisi oleh-oleh."Jujur kita kangen banget ama kamu, Nilam," ujar Rina setelah melepaskan pelukannya."Aku juga kangen pengen gibah ama kalian.""Gimana liburannya di Bali? Seru gak?""Wah— seru ba—""Ehem."Mereka langsung menoleh ke sumber suara barusan. Di mana ada Jean yang sudah memasang tampang lelah."Eh, Pak Jean." Rina langsung menatap sungkan ke arah Bos mereka. Nilam juga cuma bisa meringis karena sudah mengabaikan suaminya."Maaf ya Pak, kita gak ngeh kalo ada bapak karena terlalu girang," ucap Rina."Iya Pak
"Aduuuh, tuan putri baru bangun."Nilam baru saja tiba di dapur ketika sama apa penyebutnya dengan kalimat sindiran seperti itu. Moodnya seketika anjlok gara-gara kata-kata Bu Mala barusan."Apa sih Ma? Kan ini masih jam 7," balas Nilam sambil mengerucutkan bibirnya. Ia mendekati sang mama yang sedang sibuk menyiangi sayuran di temani bibi ART."Oh iya juga sih. Biasanya kan kamu bangun jam 8. Apalagi kalo libur, tengah bolong kamu baru bangun," sarkas Bu Mala.Nilam duduk di depan sang Mama dengan wajah cemberut. Ini masih pagi banget loh tapi Bu Mala sudah ngomel-ngomel."Aduh Ma. Sekarang kan hari minggu. Nyantai dikit gak sih Ma?" Nilam mencoba mencoba untuk membujuk sang Mama agar berhenti marah-marah. Tapi bukannya stop ngomel, Bu Mala justru melata kan sayuran yang tadi dia kupas di atas meja, lalu memandang putrinya dengan wajah sangar. "Inget Nilam, kamu ini udah jadi ibu rumah tangga loh. Kamu mau punya tanggung jawab sebagai ibu dan juga seorang istri."Nilam mengatupkan b
Setelah selesai menikmati makan malam yang lezat, Nilam dan Jean kembali ke hotel dengan perut kenyang dan senyum bahagia. Namun, begitu sampai di kamar hotel, Nilam, yang masih mengenakan gaun pendeknya, memilih untuk tidak langsung mengganti baju. Ia memilih untuk melanjutkan momen santai dan kenyamanan dengan berbaring di ranjang. Sorot matanya mencerminkan kepuasan setelah santap malam, dan suasana hangat di kamar mereka menambah kenyamanan."Kamu ga ganti baju dulu, sayang?" tanya Jean. Ia melihat istrinya yang memejamkan mata di kasur. Sementara kakinya dibiarkan menjuntai setengah di lantai."Bentar sayang, aku kekenyangan.""Ya ampun," Jean menggelengkan kepalanya. "Minimal cuci muka sayang. Nanti kalau jerawatan malah aku yang kena omel.""Tapi aku beneran mager. Mau langsung tidur aja," rengek Nilam.Jean mendesah pelan. Ia memilih untuk mengganti bajunya lebih dulu dan membiarkan Nilam bersantai. Jean langsung ke kamar mandi dan cuci muka dan baru keluar setelah gosok gigi